Jakarta (ANTARA News) - Arsitek Yu Sing mengatakan arsitektur yang tanggap bencana dapat dilakukan dengan mengadopsi dan memelihara kearifan budaya lokal seperti rumah tradisional yang berbahan kayu yang cocok untuk wilayah rawan gempa.

"Kalau kita mau belajar yang paling banyak yang sudah dilakukan oleh masyarakat kita adalah rumah-rumah tradisional. Sering kali rumah tradisional atau rumah adat itu dia berada pada posisi yang lebih tepat," kata Yu Sing dalam kuliah umum "Arsitektur yang Tanggap Bencana" di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Jumat.

Posisi yang tepat menurut Yu Shing, misalnya rumah itu tidak berdiri di tempat yang memang akan terkena banjir atau karena sering mengalami gempa maka bangunannya harus fleksibel dengan menggunakan material-material alam.

"Kalau pun dia akan terkena banjir dia tahu, maka dia akan membuat tiang yang tinggi atau bangunannya terapung," kata arsitek muda yang lahir di Bandung pada 5 Juli, 36 tahun silam.

Dia mengatakan arsitektur tanggap bencana sangat bergantung pada jenis bencana yang harus disikapi, misalnya ketika terjadi bencana, maka rumah itu akan relatif mampu untuk bertahan atau kalaupun rusak tidak sampai membunuh orang yang tinggal di dalamnya.

Yu Sing menuturkan arsitektur tradisional sesungguhnya mencerminkan bagaimana warga membangun rumah dalam upaya mereka untuk menyikapi dan hidup bersama-sama dengan alam sehingga warga pada awalnya memang sudah beradptasi pada keadaan alam dan bencana.

Namun, saat ini sudah banyak warga yang meninggalkan kearifan lokal dan mulai membangun rumah dengan tembok dan beton tanpa memperhatikan konsep ketahanan terhadap bencana.

Karena keterbatasan biaya, warga membangun rumah tidak layak huni dan tidak sesuai standar untuk menghadapi bencana padahal bencana sering terjadi di Indonesia seperti gempa. "Karena tidak cukup biaya, mereka membuat tembok seadanya, sehingga strukturnya tidak tahan gempa," lanjutnya.

Sebagai contoh, rumah yang dibangun tidak sesuai standar tahan bencana telah menelan banyak korban jiwa seperti yang terjadi di Lombok pada 2018.

Material industri memang dapat digunakan untuk membangun bangunan tanggap bencana, namun menurut dia, biaya yang dibutuhkan akan jauh lebih besar, dan ekonominya akan berputar pada ekonomi pemodal kuat yang memiliki industri-industri itu sehingga mengembangkan sistem ekonomi kapitalisme.

Berangkat dari permasalahan itu, maka kesadaran akan pentingnya arsitektur tanggap bencana dengan memanfaatkan dan mengelola material alam harus dibumikan untuk menghindari banyak korban saat terjadi bencana.

"Kita harus kembali kepada alam, menjadi manusia tropis dan kembali mengelola alam," tutur Yu Sing yang merupakan lulusan S1 Arsitektur Institut Teknologi Bandung.

Untuk pengembangan arsitektur tanggap bencana berbahan material alam seperti kayu, maka hal yang juga harus diperhatikan adalah ketersediaan bahan baku sehingga pengelolaan alam harus dilakukan dengan baik dan berkelanjutan.

Ketika kesadaran akan pentingnya pemanfaatan material alam, maka secara tidak sadar kepedulian terhadap pengelolaan alam akan bertumbuh karena untuk menjamin ketersediaan bahan baku dari alam.

Selain itu, teknologi pemanfaatan potensi alam untuk pembangunan arsitektur tanggap bencana juga harus dikembangkan dari waktu ke waktu. Dia mengatakan di luar negeri, dengan teknologi, bangunan dapat dibuat 70-80 lantai dengan kayu.

Baca juga: Warga Sembalun Lombok terdampak gempa bangun rumah kayu
Baca juga: PUPR: warga kurang minati rumah tahan gempa
Baca juga: Kementarian PUPR akan bangun Rumah Instan di Sulteng