Kabar hangat dari Presiden Joko Widodo saat memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Istana, pekan ini adalah bahwa setelah menitikberatkan pada sektor infrastruktur, pemerintah akan memberikan tekanan pada pembangunan sumber daya manusia secara besar-besaran.

Tampaknya Presiden menyadari bahwa menggelontorkan dana terlalu belebihan di sektor infrastruktur secara terus-menerus tanpa diimbangi oleh penekanan pembangunan pada sektor lain dapat menciptakan ketakseimbangan yang kurang sehat.

Itu sebabnya rencana pemerintah untuk membangun sumber daya manusia secara besar-besaran dapat menjadi angin segar bagi kalangan yang selama ini melontarkan kritik terhadap kebijakan pemerintah dalam membiayai program infrastrukur secara masif.

Di kalangan budayawan atau aktivis seni dan budaya, aksentuasi pada pembangunan infrastruktur yang mengabaikan pembangunan humaniora dinilai kurang pas karena sejarah membuktikan bahwa kesenian dan kebudayaanlah yang memungkinkan warga sanggup menjaga kesintasan dalam berelasi secara harmonis, terutama ketika konflik-konflik yang membahayakan keutuhan bangsa sedang mengancam.

Niat pemerintah untuk menggelontorkan dana yang lebih besar di sektor pembangunan sumber daya manusia boleh jadi tak secara langsung dan eksplisit mencakup pembangunan kebudayaan. Namun, cipratan dana ke sektor budaya dari pembangunan sumber daya manusia bisa dipastikan berkemungkinan besar terjadi dibandingkan dengan peluang ketika dana ini ditumpahkan di sektor infrastruktur.

Ambilah contoh ini: pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan direncanakan membuka kurang lebih 1.000 balai latihan kerja di pondok-pondok pesantren.

Konsep yang ideal dalam melatih para santri untuk terampil mengerjakan tugas-tugas teknis atau berwirausaha mandiri adalah melibatkan bukan cuma instruktur pelatih atau mentor yang berkaitan langsung dengan substansi tugas-tugas teknis, tapi juga memasukkan kurikulum tentang pembentukan watak dan kultur berwirausaha. Di sini jelas membutuhkan orang-orang ahli atau motivator yang sanggup memompakan nilai-nilai kultur perusahaan, kemandirian berwirausaha.

Upaya membuka balai latihan kerja di pesantren bukan hal baru. Berbagai pesantren sudah memberikan keterampilan kerja sejak beberapa dekade silam. Latihan bercocok tanam, beternak unggas, mengelola usaha kecil, pelatihan manajemen dan pemasaran usaha sudah dijalankan di berbagai pesantren.

Namun tak semua pesantren berhasil membangun usaha yang sudah diajarkan kepada para santri. Dari pengalaman yang sudah-sudah, hanya pesantren yang sudah ternama dan memiliki struktur organisasi serta modal yang kuat yang memiliki balai latihan kerja yang melahirkan lulusan yang sanggup berwirausaha secara independen.

Ada beberapa kiat untuk merealisasikan rencana pemerintah membuka 1.000 balai latihan kerja di pondok-pondok pesantren itu. Pertama dengan memberikan bantuan pembangunan balai latihan kerja di lokasi pondok pesantren bersangkutan. Kedua, pemerintah mewajibkan pemilik usaha produksi yang berdekatan dengan pondok pesantren untuk menerima santri magang dalam periode tertentu secara berkelanjutan.

Kiat ketiga adalah mendayagunakan para wirausahawan di sekitar pondok pesantren memberikan pelatihan kepada para santri sehingga terjadi tranfer keterampilan. Pemerintah tentu saja memberikan insentif bagi kemitraan semacam ini.

Dua metode terakhir itu jelas lebih efektif dalam mencetak para santri untuk memiliki keterampilan, namun tidak mudah direalisasikan karena alasan yang alamiah. Artinya, hanya para wirausahawan yang sudah mantap dan mapan yang rela membagikan kiat-kiat usahanya kepada orang lain. Bagi yang belum berkembang dalam tahapan mapan, memberikan keterampilan kepada pendatang baru sama artinya memelihara anak macan atau membiarkan Brutus hidup di sekitar.

Tampaknya, pemerintah tak perlu membatasi jenis vokasi atau pelatihan kejuruan yang hendak diselenggaran di pondok-pondok pesantren. Pelatihan kejuruan yang selama ini diselenggarakan di pesantren sebatas pada keterampilan bertani, beternak, penanganan prosesi kematian, teknik mengelola usaha dan memasarkan produk.

Dengan semakin beragamnya usaha dan kerja kreatif yang didukung kemajuan teknologi digital, pemerintah perlu juga memberikan pelatihan yang berkaitan dengan kerja kreatif. Alangkah afdolnya jika pemerintah sanggup mengadirkan para pionir di dunia desain grafis, desain busana, pengusaha sektor usaha rintisan, pengusaha perbelanjaan dalam jaringan memberikan kiat-kiat keberhasilan mereka di hadapan para santri.

Tentu saja Indonesia bukan cuma dunia pesantren yang harus dibangun sumber daya manusianya. Di kawasan-kawasan yang jauh dari pusat kekuasaan, seperti kawasan wisata Labuan Bajo atau Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur, pemerintah juga perlu memberikan dukungan fasilitas terhadap komunitas-komunitas lokal untuk meningkatkan keterampilan usaha.

Di kalangan perajin cinderamata berupa ukiran komodo di Labuan Bajo, pemerintah perlu memberikan bantuan tenaga seniman ukir yang piawai untuk memberikan pelatihan agar kualitas ukiran komodo di tempat wisata itu semakin estetis dan memukau wisatawan.

Di Pulau Sumba yang alamnya eksotik dan sering dijadikan lokasi pengambilan gambar para sineas terkemuka di Tanah Air, pemerintah juga perlu memfasilitasi semacam pelatihan singkat atau lokakarya buat remaja di sana oleh sineas tentang teknik membuat video/ film dokumenter.

Dengan cara demikian, para warga, terutama kaum muda di Sumba, bukan sekadar menjadi objek pembuatan film selamanya tapi pada akhirnya sanggup menjadi subjek dalam mengekplorasi alam atau kampung halaman mereka menjadi karya kreatif yang bisa dijual di ajang festival internasional.

Tampaknya banyak pekerjaan rumah yang mesti dirampungkan oleh pemerintah dalam merealisasi rencana melakukan pergeseran titik berat pembangunan dari sektor infrastruktur ke sektor sumber daya manusia.*


Baca juga: PGRI siapkan buku pembangunan SDM era milenial

Baca juga: Presiden minta masukan PGRI soal guru honorer, pembangunan SDM