Oleh Berlian Helmy *)
Masalah radikalisme saat ini memang sudah marak terjadi di mana-mana, termasuk di Indonesia sendiri.
Pengaruh radikalisme yang merupakan suatu pemahaman baru yang dibuat-buat oleh pihak tertentu mengenai suatu hal, seperti agama, sosial, dan politik, seakan menjadi semakin rumit karena berbaur dengan tindakan yang cenderung melibatkan kekerasan.
Berbagai tindakan teror yang tak jarang memakan korban jiwa seakan menjadi cara dan senjata utama bagi para pelaku paham radikal dalam menyampaikan pemahaman mereka dalam upaya untuk mencapai suatu perubahan.
Berbagai propaganda paham radikal masih terlihat di beberapa tempat, seperti perguruan tinggi, masjid, organisasi masyarakat, dan bahkan dalam lingkup pemerintah pun sekarang sudah memasuki wilayahnya.
Hal ini menjadi perhatian kita, seperti baru-baru ini yang terjadi sebanyak 50 penceramah serta pengelola di 41 masjid di beberapa kementerian, dan lembaga hingga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terindikasi terpapar radikalisme.
Tak hanya itu, terdapat tujuh perguruan tinggi negeri di Indonesia yang terindikasi terpapar radikalisme.
BIN membenarkan adanya perguruan tinggi negeri di Indonesia yang terpapar radikalisme. Ada tujuh PTN dan 39 persen mahasiswa yang tertarik akan paham ini.
Sebenarnya penganut paham radikal di Indonesia jumlahnya sangat sedikit. Selain itu, paham khilafah juga tak laku di Indonesia. Akan tetapi, pertumbuhan paham ini sudah menjadi sangat luas penyebarannya, dalam hal ini pula pemerintah tidak boleh sama sekali lengah karena paham-paham radikal atau paham khilafah yang ada akan semakin meluas di Indonesia.
Adapun jumlah masjid yang terindikasi telah terpapar radikalisme itu, lantaran BIN bersama BNPT, gencar memantau dan melakukan tindakan persuasif terhadap khatib yang kerap menyebarkan ceramah radikal dan intoleransi.
Kalau masjidnya sendiri tidak ada yang radikal, jadi penceramahnya yang terbilang radikal. Pastinya kita tidak ingin ada intoleransi kemudian ujaran kebencian, takfiri, mengafirkan orang lain, kemudian membawa semangat radikal dan juga terkait dengan masalah yang berhubungan dengan ideologi Pancasila.
Ada beberapa faktor, faktor luar itu yang luar biasa banyak dan sangat dinamis. Sekarang ini akan sangat sulit sebetulnya karena mahasiswa itu tidak sepenuhnya ada di kampus.
Mereka sekarang lebih sering berinteraksi dengan berbagai kelompok masyarakat, dunia digital, dunia internet, organisasi-organisasi ekstra universitas.
Faktor dari dalam terkadang lebih terlihat di lingkungan pertemanan yang banyak kita jumpai membawa pengaruh melalui doktrin-doktrin.
Ada tiga kategori radikal, yakni rendah, sedang, dan tinggi. Kalau yang rendah masih dalam kategori yang masih ditolerir nilainya. Kalau sedang sudah mulai mengarah ke kuning, kuning itu perlu disikapi lebih. Tapi yang merah artinya sudah cukup parah, maka ini perlu lebih tajam lagi untuk bagaimana menetralisir keadaan.
Dalam hal ini menerangkan kategori tinggi atau merah itu di antaranya menunjukkan sikap simpati kepada ISIS atau kelompok Abu Sayyaf di Marawi, Filipina.
Mereka juga memengaruhi sikap publik. (Merah) sudah mendorong ke arah gerakan yang lebih seperti simpati ke ISIS dan Marawi, membawa aroma konflik di Timur Tengah ke sini. Jadi mengutip ayat-ayat perang, misalnya, sehingga menimbulkan pengaruh ke emosi, sikap, tingkah laku, opini, dan motivasi publik.
Paham radikal dan paham khilafah menjadi sangat bermasalah di Indonesia karena berusaha memaksakan kehendak kepada semua orang untuk mendirikan negara atas dasar agama tertentu. Padahal, masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai macam agama dan suku yang sangat majemuk.
Pemaksaan kehendak itu tidak sejalan dengan semangat ideologi bangsa yang mengayomi semua identitas di Indonesia. Dengan kondisi masyarakat yang seperti ini, akan lebih baik bila setiap elemen bangsa menerima adanya perbedaan identitas kemudian bisa saling bertoleransi.
Hal itu akan menjadi kekuatan yang signifikan bagi bangsa dan negara Indonesia. Perbedaan bukanlah aspek yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik. Apalagi untuk mereka yang secara terang-terangan mengaku berseberangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam hal ini, tentunya bukan hanya kalangan pemerintah yang harusnya mengambil bagian untuk mencegah dan mengatasinya, namun seluruh rakyat harusnya juga ikut terlibat dalam usaha tersebut, terutama kaum pemudi-pemuda.
Hal ini dikarenakan kaum pemudalah yang nantinya merupakan generasi penerus bangsa ini, sekaligus menjadi ujung tombak untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan akan kedua masalah tersebut, yaitu radikalisme agar tidak menjadi penyebab terjadinya tindakan penyalahgunaan kewenangan.
Hal yang paling mencolok untuk dapat mengambil peran dalam mengatasi masalah ini ialah generasi muda, seperti halnya mahasiswa, yang merupakan agen perubahan bangsa ini.
Di samping itu juga anak-anak yang masih dalam tahap pembentukan pribadinya sehingga memerlukan bimbingan khusus dari orang tua tentunya agar nantinya tidak terseret dalam paham radikalisme. Karena paham-paham yang radikal seperti terkadang berada di lingkungan terdekat kita yang sering kita jumpai.
Jadi kewaspadaan ini juga menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia, agar masyarakat Indonesia dapat terbebas dari paham-paham yang sangat memengaruhi ini.
Baca juga: Individualisme dalam kampus jadi jalan masuk radikalisme
Baca juga: Psikolog: Radikalisme telah memapar generasi milenial
Baca juga: Peneliti: Media sosial berperan dalam penyebaran paham intoleran
Artikel
Bahaya radikalisme terhadap keutuhan NKRI
6 Desember 2018 12:29 WIB
Personel Korps Brimob Mabes Polri mengikuti apel gelar pasukan Operasi Kepolisian Terpusat Ketupat 2018 di Monas, Jakarta, Rabu (6/6/2018). (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Pewarta: -
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018
Tags: