KBRI: Menambah wisatawan Jepang ke Indonesia jadi tantangan
4 Desember 2018 22:30 WIB
Minister Counsellor KBRI Indonesia di Tokyo Eko Junor saat berbincang dengan awak media di Tokyo, Jepang (3/12/2018). (ANTARA/Benardy Ferdiansyah)
Jakarta (ANTARA News) - Minister Counsellor KBRI Indonesia di Tokyo Eko Junor menyatakan tantangan yang dihadapinya saat ini adalah menambah jumlah wisawatan dari Jepang ke Indonesia.
"Karena wisawatan Jepang itu melulu hanya bolak balik ke Bali kenapa? Karena Bali itu jelas, mereka familiar ini menjadi pembelajaran," kata Eko di Tokyo, Jepang, Senin (3/12/2018).
Hal tersebut dikatakannya di sela acara program "Jenesys 2018" yang diadakan Japan International Cooperation Center (JICE) yang diikuti oleh enam perwakilan media massa dari Indonesia.
Eko mengatakan bahwa hal itu menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mempromosikan tempat-tempat wisata lainnya seperti di Danau Toba dan Pulau Komodo.
"Kalau mau mempromosikan entah itu Danau Toba, Komodo harus ada iklan dan promosi dalam bahasa Jepang, itu saja," ucap Eko.
Oleh karena itu, kata dia, jumlah wisatawan Jepang yang berkunjung ke Indonesia itu tidak naik-naik, namun cenderung stabil.
"Karena, dia bolak balik ke situ (Bali) lagi, padahal sebenarnya kan kalau dia mau belok dikit ada Lombok, belok dikit ada Jawa Timur, ada Prambanan, Borobudur, Komodo tantangan buat kita itu," ungkap Eko.
Sedangkan, kata dia, jumlah wisatawan Indonesia yang berkunjung Jepang itu pertumbuhannya setiap tahun sebesar 30 persen.
"Sebuah angka yang fantastis juga karena banyaknya penerbangan-penerbangan murah terus adanya visa gratis untuk yang memakai e-paspor," kata dia.
Sementara soal kunjungan media massa ke Jepang itu, Eko menyatakan bahwa media bisa menerjemahkan kepada masyarakat Indonesia bahwa untuk bisa mengambil pelajaran dari Jepang.
"Yang harus diingat dari Jepang itu semua orang Indonesia yang ke Jepang itu mengambil pelajaran, kenapa lebih bersih, rapi, tertib. Jadi, tantangan buat media adalah menerjemahkan. Sampah itu rapi, tetapi jangan salah 30 tahun yang lalu sampahnya (di Jepang) kaya kita berantakan di mana-mana," ujarnya.
Kemudian, lanjut Eko, Jepang menerapkan sistem untuk mengambil ketegasan soal sampah tersebut.
"Baru ada sistem diterapkan, seseorang turun tangan mengambil ketegasan 'ok, kita harus melakukan ini'. Akhirnya, yang lain ikut, itu adalah kemudahan bagi Jepang," kata Eko.
Sedangkan di Indonesia, katanya, mengharapkan semua orang bergerak untuk melakukan sesuatu itu susah.
"Memang, kita lagi euforia demokrasi kali ya, jadi masing-masing orang bangga punya pendapatnya sendiri. Tetapi, kadang-kadang untuk keperluan bersama misalnya membuang sampah, kelancaran lalu lintas, kebersihan udara, itu kan memerlukan kita semua tidak peduli kita golongan ini golongan itu," ujarnya.
Namun, kata dia, Indonesia jangan berkecil hati, karena Jepang saja memerlukan proses selama sekian dasawarsa untuk memperbaiki soal penanganan sampah dan lain-lain.
"Peluang untuk menyebarkan visi itu ada di media, kalian bisa menunjukkan seandainya kita kompak kita bisa melakukan ini," ujar Eko.
Baca juga: Wisatawan Jepang ke Bali naik 7,65 persen
"Karena wisawatan Jepang itu melulu hanya bolak balik ke Bali kenapa? Karena Bali itu jelas, mereka familiar ini menjadi pembelajaran," kata Eko di Tokyo, Jepang, Senin (3/12/2018).
Hal tersebut dikatakannya di sela acara program "Jenesys 2018" yang diadakan Japan International Cooperation Center (JICE) yang diikuti oleh enam perwakilan media massa dari Indonesia.
Eko mengatakan bahwa hal itu menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mempromosikan tempat-tempat wisata lainnya seperti di Danau Toba dan Pulau Komodo.
"Kalau mau mempromosikan entah itu Danau Toba, Komodo harus ada iklan dan promosi dalam bahasa Jepang, itu saja," ucap Eko.
Oleh karena itu, kata dia, jumlah wisatawan Jepang yang berkunjung ke Indonesia itu tidak naik-naik, namun cenderung stabil.
"Karena, dia bolak balik ke situ (Bali) lagi, padahal sebenarnya kan kalau dia mau belok dikit ada Lombok, belok dikit ada Jawa Timur, ada Prambanan, Borobudur, Komodo tantangan buat kita itu," ungkap Eko.
Sedangkan, kata dia, jumlah wisatawan Indonesia yang berkunjung Jepang itu pertumbuhannya setiap tahun sebesar 30 persen.
"Sebuah angka yang fantastis juga karena banyaknya penerbangan-penerbangan murah terus adanya visa gratis untuk yang memakai e-paspor," kata dia.
Sementara soal kunjungan media massa ke Jepang itu, Eko menyatakan bahwa media bisa menerjemahkan kepada masyarakat Indonesia bahwa untuk bisa mengambil pelajaran dari Jepang.
"Yang harus diingat dari Jepang itu semua orang Indonesia yang ke Jepang itu mengambil pelajaran, kenapa lebih bersih, rapi, tertib. Jadi, tantangan buat media adalah menerjemahkan. Sampah itu rapi, tetapi jangan salah 30 tahun yang lalu sampahnya (di Jepang) kaya kita berantakan di mana-mana," ujarnya.
Kemudian, lanjut Eko, Jepang menerapkan sistem untuk mengambil ketegasan soal sampah tersebut.
"Baru ada sistem diterapkan, seseorang turun tangan mengambil ketegasan 'ok, kita harus melakukan ini'. Akhirnya, yang lain ikut, itu adalah kemudahan bagi Jepang," kata Eko.
Sedangkan di Indonesia, katanya, mengharapkan semua orang bergerak untuk melakukan sesuatu itu susah.
"Memang, kita lagi euforia demokrasi kali ya, jadi masing-masing orang bangga punya pendapatnya sendiri. Tetapi, kadang-kadang untuk keperluan bersama misalnya membuang sampah, kelancaran lalu lintas, kebersihan udara, itu kan memerlukan kita semua tidak peduli kita golongan ini golongan itu," ujarnya.
Namun, kata dia, Indonesia jangan berkecil hati, karena Jepang saja memerlukan proses selama sekian dasawarsa untuk memperbaiki soal penanganan sampah dan lain-lain.
"Peluang untuk menyebarkan visi itu ada di media, kalian bisa menunjukkan seandainya kita kompak kita bisa melakukan ini," ujar Eko.
Baca juga: Wisatawan Jepang ke Bali naik 7,65 persen
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2018
Tags: