Pengamat: gaya komunikasi Jokowi harus diubah
4 Desember 2018 20:21 WIB
Diskusi bertajuk "Carut Marut Komunikasi Kebijakan Jokowi: Konsistensi, Inkonsistensi dan Ambivalensi" di Seknas Prabowo-Sandi, Jakarta Pusat, Selasa (4/12/2018). (ANTARA News/Syaiful Hakim)
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio menilai, gaya komunikasi Presiden Joko Widodo harus diubah agar elektabilitasnya tidak menurun menjelang pelaksanaan Pilpres 2019.
"Jokowi beberapa kali melontarkan ucapan yang cenderung menyerang. Kalau ini terus dilakukan, maka elektabilitas Jokowi vs Prabowo akan sama pada Februari 2019, yakni 50:50," kata Hendri saat menjadi pembicara dalam Topic Of The Week "Selasa-an" yang bertajuk "Carut Marut Komunikasi Kebijakan Jokowi: Konsistensi, Inkonsistensi dan Ambivalensi" di Seknas Prabowo-Sandi, Jalan Cokroaminoto, Jakarta Pusat, Selasa.
Menurut dia, para calon presiden, khususnya Jokowi harus memanfaatkan juru bicara (jubir) untuk mengurangi blunder.
"Harusnya Jokowi menggunakan juru bicara, jadi kalau-kalau salah bisa di-counter. Tapi enggak, pak Jokowi senang ngomong sendiri," kata pakar komunikasi ini.
Menurut Hendri, para capres menanggapi suatu peristiwa di akhir, sedangkan para jubir menanggapi di awal. Dengan demikian maka akan mengurangi kesalahan.
"Lebih baik fungsi jubir digunakan, jadi kalau ada salah bisa diperbaiki," ujarnya.
Hendri menilai, capres harus lebih hati-hati dalam menyampaikan pendapat. "Sekarang harus hati-hati, nanti blunder lagi. Sekarang Pak Prabowo tone jadi lebih tenang, jadi bagaimana tim medianya," katanya.
Sementara Jokowi, kata dia, tidak harus semua pertanyaan wartawan dijawab. "Kalau belum ada jawabannya enggak dijawab enggak apa-apa," ujarnya.
Menurut dia, pertarungan Pilpres 2019 berbeda dengan 2014. Dia mencontohkan pada 2014 Jokowi memiliki banyak relawan. Namun di Pilpres 2019, para relawannya itu sudah banyak menjadi komisaris.
"2014 Pak Jokowi memiliki relawan yang sedemikian banyak yang bisa diandalkan untuk meraih suara, nah kalau 2019 ini kan relawannya banyak yang sudah menjadi komisisaris, jadi memang beliau sulit juga mengharapkan relawan itu. Makanya kasian juga Pak Jokowi," kata Hendri.
Faktor kedua adalah sosok Jusuf Kalla yang sudah tidak menjadi cawapresnya. Hendri mengatakan, Jusuf Kalla dipandang sebagai teknokrat yang secara tidak langsung bisa memberi nasihat kepada Jokowi.
Sementara itu, kemampuan Ma'ruf Amin untuk menyampaikan isu masih diragukan. Dia menilai Jokowi seperti bertarung sendiri mempertahankan prestasinya.
Selain Hendri Satrio diskusi yang digelar secara rutin setiap minggu itu juga menghadirkan pembicara lainnya, yakni Anggota DPR RI Herman Khaeron, Direktur Sumber Daya dan Sumber Daya Hukum, Satya Zulfanitra dan pakar semiotika ITB Acep Iwan Sandi.
Baca juga: Polisi antisipasi Papua dalam Pemilu 2019
Baca juga: Cucu pendiri NU deklarasikan dukung Prabowo-Sandi
Baca juga: Cucu-Cicit Jenderal Soedirman deklarasi dukung Prabowo-Sandiaga
Baca juga: TKN Jokowi-Ma'ruf konsolidasi dengan relawan di Perth
"Jokowi beberapa kali melontarkan ucapan yang cenderung menyerang. Kalau ini terus dilakukan, maka elektabilitas Jokowi vs Prabowo akan sama pada Februari 2019, yakni 50:50," kata Hendri saat menjadi pembicara dalam Topic Of The Week "Selasa-an" yang bertajuk "Carut Marut Komunikasi Kebijakan Jokowi: Konsistensi, Inkonsistensi dan Ambivalensi" di Seknas Prabowo-Sandi, Jalan Cokroaminoto, Jakarta Pusat, Selasa.
Menurut dia, para calon presiden, khususnya Jokowi harus memanfaatkan juru bicara (jubir) untuk mengurangi blunder.
"Harusnya Jokowi menggunakan juru bicara, jadi kalau-kalau salah bisa di-counter. Tapi enggak, pak Jokowi senang ngomong sendiri," kata pakar komunikasi ini.
Menurut Hendri, para capres menanggapi suatu peristiwa di akhir, sedangkan para jubir menanggapi di awal. Dengan demikian maka akan mengurangi kesalahan.
"Lebih baik fungsi jubir digunakan, jadi kalau ada salah bisa diperbaiki," ujarnya.
Hendri menilai, capres harus lebih hati-hati dalam menyampaikan pendapat. "Sekarang harus hati-hati, nanti blunder lagi. Sekarang Pak Prabowo tone jadi lebih tenang, jadi bagaimana tim medianya," katanya.
Sementara Jokowi, kata dia, tidak harus semua pertanyaan wartawan dijawab. "Kalau belum ada jawabannya enggak dijawab enggak apa-apa," ujarnya.
Menurut dia, pertarungan Pilpres 2019 berbeda dengan 2014. Dia mencontohkan pada 2014 Jokowi memiliki banyak relawan. Namun di Pilpres 2019, para relawannya itu sudah banyak menjadi komisaris.
"2014 Pak Jokowi memiliki relawan yang sedemikian banyak yang bisa diandalkan untuk meraih suara, nah kalau 2019 ini kan relawannya banyak yang sudah menjadi komisisaris, jadi memang beliau sulit juga mengharapkan relawan itu. Makanya kasian juga Pak Jokowi," kata Hendri.
Faktor kedua adalah sosok Jusuf Kalla yang sudah tidak menjadi cawapresnya. Hendri mengatakan, Jusuf Kalla dipandang sebagai teknokrat yang secara tidak langsung bisa memberi nasihat kepada Jokowi.
Sementara itu, kemampuan Ma'ruf Amin untuk menyampaikan isu masih diragukan. Dia menilai Jokowi seperti bertarung sendiri mempertahankan prestasinya.
Selain Hendri Satrio diskusi yang digelar secara rutin setiap minggu itu juga menghadirkan pembicara lainnya, yakni Anggota DPR RI Herman Khaeron, Direktur Sumber Daya dan Sumber Daya Hukum, Satya Zulfanitra dan pakar semiotika ITB Acep Iwan Sandi.
Baca juga: Polisi antisipasi Papua dalam Pemilu 2019
Baca juga: Cucu pendiri NU deklarasikan dukung Prabowo-Sandi
Baca juga: Cucu-Cicit Jenderal Soedirman deklarasi dukung Prabowo-Sandiaga
Baca juga: TKN Jokowi-Ma'ruf konsolidasi dengan relawan di Perth
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018
Tags: