Catatan Akhir Tahun
Menakar representasi caleg perempuan Sulsel
4 Desember 2018 08:31 WIB
Para caleg perempuan dari berbagai partai politik melakukan deklarasi bersama di Bundaran Hotel Indonesia, Minggu, untuk mewujudkan pemilu damai dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat jika terpilih menjadi wakil rakyat. (ANTARA/Budi Santoso)
Makassar (ANTARA News) - Kran demokrasi yang mulai terbuka ketika awal reformasi 1998, turut menjadi angin segar bagi dunia perpolitikan di Indonesia, termasuk peran dan posisi perempuan di panggung politik.
Kendati berjalan terseok-seok memperjuangkan hak-hak politik perempuan, namun akhirnya menghasilkan produk hukum setelah 10 tahun dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 yang memuat kebijakan yang mengharuskan Partai Politik (Parpol) menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat.
Marwah dari lahirnya kebijakan tersebut untuk menghindari dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan publik.
Kendari sudah ada payung hukum yang membuka kesempatan bagi perempuan berkiprah di dunia politik, namun bila dibandingkan dengan rata-rata dunia, proporsi perempuan dalam parlemen di Indonesia masih jauh dari rata-rata proporsi dunia yakni 23,6 persen, karena rata-rata proporsi perempuan dalam parlemen di negara Asia dan ASEAN masing-masing sebesar 19,7 persen dan 18,2 persen.
Terlepas dari angka-angka itu, representasi politik perempuan di Indonesia sudah menjadi salah satu tolok ukur dari proses demokrasi di negara ini. Fakta itu dapat diamati di parlemen saat ini baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Representasi politik perempuan sejak tiga kali Pemilihan Umum (Pemilu) yakni pada 2004, 2009 dan 2014 secara kuantitatif menunjukkan peningkatan.
Hal ini berdasarkan data PUSKAPOL UI menunjukkan bahwa secara nasional naiknya representasi jumlah calon legislatif terus mengalami peningkatan mulai dari 32,2 persen pada Pemilu 2004 menjadi 34,7 persen pada Pemilu 2009.
Dampak meningkatnya jumlah caleg itu menghasilkan 102 anggota legislatif perempuan (18 persen) dari 560 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen nasional ini, juga diikuti di Propinsi Sulawesi Selatan (Sulsel).
Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) di Makassar melansir bahwa perjalanan keterwakilan perempuan dari Pemilu 2004, 2009 ke Pemilu 2014 di DPRD Provinsi Sulsel secara berturut-turut 7 persen pada Pemilu 2004 menjadi 16 persen pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 meningkat menjadi 19 persen.
Menurut Project Officer LSKP Salma Tadjang, setidaknya faktor yang berpengaruh pada peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen yakni kebijakan tentang "affirmative action" yang mengatur kuota 30 persen perempuan dalam pencalonan dan kepengurusan partai politik dan sistem Pemilu dari proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka dengan sistem konversi kursi kuota di sini.
Pertanyaan pun kemudian muncul, akankah peningkatan representasi perempuan pada tiga masa Pemilu itu juga diikuti dengan kesuksesan pada Pemilu 2019?
Bagaimana nasib keterwakilan perempuan pada Pemilu 2019? Apakah memperlihatkan peningkatan, tetap atau justru menurun? Fenomena dari jawaban pertanyaan-pertanyaan itu sedikit banyaknya akan terpengaruh oleh Undang-Undang Pemilu yang mengalami banyak perubahan.
Banyaknya perubahan dalam aturan Pemilu 2019 ini mengharuskan caleg perempuan mempersiapkan diri sedini mungkin. Bukan sekedar memenuhi syarat kuota 30 persen keterwakilan perempuan dari kepengurusan partai pengusungnya.
Bangun Sinergitas
Menghadapi berbagai tantangan pada Pemilu 2019, Caleg perempuan harus mampu membangun sinergitas dan komunikasi politik di lapangan.
Hal itu mengingat fenomena bahwa dari 1.197 orang caleg dari 16 partai politik yang akan bertarung pada Pemilu 2019, setidaknya ada 64 orang caleg dari 453 caleg perempuan yang bersaing di Sulsel.
Mencermati kondisi itu, LSKP bekerja sama dengan International Republican Institute (IRI) telah menggelar dialog dengan caleg perempuan Sulsel untuk membantu memetakan kekuatan politik perempuan di daerah ini.
Kegiatan ini, ungkap Project Officer LSKP Salma Tadjang untuk memberikan masukan ataupun pemetaan politik bagi caleg perempuan di Sulsel.
Karena itu, pada medio November 2019 sedikitnya 120 peserta caleg perempuan di Sulsel dan juga melibatkan unsur lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta media berkumpul untuk berbagi pengalaman dan strategi untuk memasuki dunia politik.
Pada Dialog Caleg Perempuan Sulsel itu, Salma menegaskan bahwa tantangan internal dan eksternal dalam memasuki dunia politik bagi perempuan harus menjadi fokus perhatian perempuan dalam mempersiapkan diri menjadi wakil rakyat.
Sementara itu, Program Manager IRI Delima Saragih menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya untuk perempuan Sulsel yang telah mendidikasikan dirinya untuk menjadi Caleg legistaif 2019.
Dia mengatakan, persoalan kuota 30 persen, Undang-Undang dan PKPU semua itu tidak ada artinya, kalau tidak ada perempuan yang mendaftarkan diri menjadi caleg.
Berkaitan dengan hal itu, lanjut dia, yang dihadapi caleg perempuan untuk bertarung di lapangan adalah memanfaatkan masa kampanye yang tersisa sekitar lima bulan lagi.
Delima pun meminta agar caleg perempuan Sulsel dapat bersinergi dengan semua pemangku kepentingan (stakeholder), utamanya LSM dan media untuk memberikan dukungan kegiatan di lapangan dengan menampilkan kualitas program, bukan karena mendompleng nama besar atau popularitas orang di sekitarnya.
Sementara itu, Caleg dari Partai Demokrat untuk pemilihan Caleg DPRD Kota Makassar Mismaya Al Khaerat mengungkapkan ketertarikannya untuk masuk ke ranah politik, karena banyak persoalan yang melibatkan perempuan di lapangan membutuhkan dukungan materil dan nonmateril.
Untuk mengatasinya persoalan tersebut, kata Mismaya yang juga aktivis SAR ini, tentu membutuhkan figur caleg perempuan yang memiliki keberpihakan untuk memperjuangkan sejumlah persoalan di lapangan.
Kini, tinggal menunggu hasil jerih payah para caleg perempuan Sulsel dalam meraih simpati pemilih perempuan yang berjumlah 3.086.779 (52 persen) dan pemilih laki-laki sebanyak 2.898.073 (48 persen) berdasarkan data Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dilansir Komisi Pemilihan Umum Daerah Sulsel.
Baca juga: Wujudkan keselamatan pariwisata melalui "Tri Pakarti Musna"
Baca juga: Sulawesi Selatan gencarkan destinasi wisata baru
Kendati berjalan terseok-seok memperjuangkan hak-hak politik perempuan, namun akhirnya menghasilkan produk hukum setelah 10 tahun dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 yang memuat kebijakan yang mengharuskan Partai Politik (Parpol) menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat.
Marwah dari lahirnya kebijakan tersebut untuk menghindari dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan publik.
Kendari sudah ada payung hukum yang membuka kesempatan bagi perempuan berkiprah di dunia politik, namun bila dibandingkan dengan rata-rata dunia, proporsi perempuan dalam parlemen di Indonesia masih jauh dari rata-rata proporsi dunia yakni 23,6 persen, karena rata-rata proporsi perempuan dalam parlemen di negara Asia dan ASEAN masing-masing sebesar 19,7 persen dan 18,2 persen.
Terlepas dari angka-angka itu, representasi politik perempuan di Indonesia sudah menjadi salah satu tolok ukur dari proses demokrasi di negara ini. Fakta itu dapat diamati di parlemen saat ini baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Representasi politik perempuan sejak tiga kali Pemilihan Umum (Pemilu) yakni pada 2004, 2009 dan 2014 secara kuantitatif menunjukkan peningkatan.
Hal ini berdasarkan data PUSKAPOL UI menunjukkan bahwa secara nasional naiknya representasi jumlah calon legislatif terus mengalami peningkatan mulai dari 32,2 persen pada Pemilu 2004 menjadi 34,7 persen pada Pemilu 2009.
Dampak meningkatnya jumlah caleg itu menghasilkan 102 anggota legislatif perempuan (18 persen) dari 560 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen nasional ini, juga diikuti di Propinsi Sulawesi Selatan (Sulsel).
Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) di Makassar melansir bahwa perjalanan keterwakilan perempuan dari Pemilu 2004, 2009 ke Pemilu 2014 di DPRD Provinsi Sulsel secara berturut-turut 7 persen pada Pemilu 2004 menjadi 16 persen pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 meningkat menjadi 19 persen.
Menurut Project Officer LSKP Salma Tadjang, setidaknya faktor yang berpengaruh pada peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen yakni kebijakan tentang "affirmative action" yang mengatur kuota 30 persen perempuan dalam pencalonan dan kepengurusan partai politik dan sistem Pemilu dari proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka dengan sistem konversi kursi kuota di sini.
Pertanyaan pun kemudian muncul, akankah peningkatan representasi perempuan pada tiga masa Pemilu itu juga diikuti dengan kesuksesan pada Pemilu 2019?
Bagaimana nasib keterwakilan perempuan pada Pemilu 2019? Apakah memperlihatkan peningkatan, tetap atau justru menurun? Fenomena dari jawaban pertanyaan-pertanyaan itu sedikit banyaknya akan terpengaruh oleh Undang-Undang Pemilu yang mengalami banyak perubahan.
Banyaknya perubahan dalam aturan Pemilu 2019 ini mengharuskan caleg perempuan mempersiapkan diri sedini mungkin. Bukan sekedar memenuhi syarat kuota 30 persen keterwakilan perempuan dari kepengurusan partai pengusungnya.
Bangun Sinergitas
Menghadapi berbagai tantangan pada Pemilu 2019, Caleg perempuan harus mampu membangun sinergitas dan komunikasi politik di lapangan.
Hal itu mengingat fenomena bahwa dari 1.197 orang caleg dari 16 partai politik yang akan bertarung pada Pemilu 2019, setidaknya ada 64 orang caleg dari 453 caleg perempuan yang bersaing di Sulsel.
Mencermati kondisi itu, LSKP bekerja sama dengan International Republican Institute (IRI) telah menggelar dialog dengan caleg perempuan Sulsel untuk membantu memetakan kekuatan politik perempuan di daerah ini.
Kegiatan ini, ungkap Project Officer LSKP Salma Tadjang untuk memberikan masukan ataupun pemetaan politik bagi caleg perempuan di Sulsel.
Karena itu, pada medio November 2019 sedikitnya 120 peserta caleg perempuan di Sulsel dan juga melibatkan unsur lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta media berkumpul untuk berbagi pengalaman dan strategi untuk memasuki dunia politik.
Pada Dialog Caleg Perempuan Sulsel itu, Salma menegaskan bahwa tantangan internal dan eksternal dalam memasuki dunia politik bagi perempuan harus menjadi fokus perhatian perempuan dalam mempersiapkan diri menjadi wakil rakyat.
Sementara itu, Program Manager IRI Delima Saragih menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya untuk perempuan Sulsel yang telah mendidikasikan dirinya untuk menjadi Caleg legistaif 2019.
Dia mengatakan, persoalan kuota 30 persen, Undang-Undang dan PKPU semua itu tidak ada artinya, kalau tidak ada perempuan yang mendaftarkan diri menjadi caleg.
Berkaitan dengan hal itu, lanjut dia, yang dihadapi caleg perempuan untuk bertarung di lapangan adalah memanfaatkan masa kampanye yang tersisa sekitar lima bulan lagi.
Delima pun meminta agar caleg perempuan Sulsel dapat bersinergi dengan semua pemangku kepentingan (stakeholder), utamanya LSM dan media untuk memberikan dukungan kegiatan di lapangan dengan menampilkan kualitas program, bukan karena mendompleng nama besar atau popularitas orang di sekitarnya.
Sementara itu, Caleg dari Partai Demokrat untuk pemilihan Caleg DPRD Kota Makassar Mismaya Al Khaerat mengungkapkan ketertarikannya untuk masuk ke ranah politik, karena banyak persoalan yang melibatkan perempuan di lapangan membutuhkan dukungan materil dan nonmateril.
Untuk mengatasinya persoalan tersebut, kata Mismaya yang juga aktivis SAR ini, tentu membutuhkan figur caleg perempuan yang memiliki keberpihakan untuk memperjuangkan sejumlah persoalan di lapangan.
Kini, tinggal menunggu hasil jerih payah para caleg perempuan Sulsel dalam meraih simpati pemilih perempuan yang berjumlah 3.086.779 (52 persen) dan pemilih laki-laki sebanyak 2.898.073 (48 persen) berdasarkan data Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dilansir Komisi Pemilihan Umum Daerah Sulsel.
Baca juga: Wujudkan keselamatan pariwisata melalui "Tri Pakarti Musna"
Baca juga: Sulawesi Selatan gencarkan destinasi wisata baru
Pewarta: Suriani Mappong
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018
Tags: