Gunung Rinjani dari Desa Sembalun Lawang, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, terlihat begitu perkasa mencakar langit biru di atas Pulau Lombok.
Di kakinya untaian perbukitan yang dihiasi rumput sebana bercampur warna cokelat tanah, turut mewarnai landskap alam itu. Punggungan yang kekar itu tidak lepas untuk mencengkeram perut bumi.
Di balik keindahan itu, ternyata Gunung Rinjani pernah menyimpan kenangan lama yang tidak akan dilupakan oleh masyarakat setempat berdasarkan cerita turun temurun dari leluhurnya itu.
Yakni, letusan Gunung Samalas yang merupakan bagian dari Gunung Rinjani pada 1257 sehingga memusnahkan kehidupan di sana dan memaksa penduduknya eksodus menyelamatkan diri ke sejumlah daerah di Pulau Lombok.
Kepedihan akan letusan tanah Lombok itu, terekam juga melalui Babad Lombok yang tertulis dalam daun lontar. Babad Lontar itu menceritakan bagaimana amuk Gunung Samalas yang berlangsung selama tujuh hari.
Babad Lombok itu: Gunung Rinjani loongsor dan Gunung Samalas runtuh, banjir batu gemuruh, menghancurkan Desa Pamatan, rumah-rumah rubuh dan hanyut terbawa lumpu, terapung-apung di lautan, penduduknya banyak yang mati.
Tujuh hari lamanya, gempa dahsyat meruyak bumi, terdampar di leneng (lenek), diseret oleh batu gunung yang hanyut, manusia berlari semua, sebahagian lagi naik ke bukit.
Bersembunyi di Jeringo, semua mengungsi di sisa kerabat raja, berkumpul mereka di situ, ada yang mengungsi ke Samulia, Borok, Bandar, Pepumba dan Pasalun, Serowok, Piling dan Ranggi, Sembalun, Pajang dan Sapit.
Di Nangan dan Palemoran, batu besar dan gelundungan tanah, duri dan batu menyan, batu apung dan pasir, batu sedimen granit, dan batu cangku, jatuh di tengah daratan, mereka mengungsi ke Brang Batun.
Ada ke Pundung, Buak, Bakang, Tana` Bea, Lembuak, Bebidas, sebagian ada mengungsi ke Bumi Kembang, Kekrang, Pengadangan dan Puka hate-hate lungguh, sebagian ada yang sampai datang ke Langko, Pengganggik.
Semua mengungsi dengan ratunya, berlindung mereka di situ. Di Lombok tempatnya diam, genap tujuh hari gempa itu, lalu membangun desa di tempatnya masing-masing.
Ketua Lembaga Adat Sembalun Lawang, Mertawi, menceritakan peristiwa letusan yang begitu dahsyatnya yang diperoleh dari leluhurnya dahulu. "Letusan Gunung Samalas itu kita anggap sebagai Sembalun periode I," katanya.
Saat terjadi letusan itu, sekelompok warga eksodus melalui Hutan Pilin Sambalia (saat ini, Kecamatan Sambalia) menuju Labuan Lombok sampai ke Selaparang. Saat ini, Selaparang nama desa di Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur.
Di tempat itulah, mereka mengungsi dan beranak pinak ratusan tahun lamanya. Mereka trauma akan letusan hebat itu. "Sehingga akhirnya sejumlah penduduk di pengungsian itu, mengajak kembali ke tanah leluhurnya itu," katanya.
Semula banyak yang tidak mau, yang pada akhirnya tujuh kepala keluarga bersedia kembali ke Sembalun. Merekalah menjadi cikal bakal dari Sembalun periode II yang bertahan sampai sekarang. Sayangnya masyarakat Sembalun tidak memiliki catatan mengenai peristiwa bencana alam itu dan hanya mendapatkan infomasi itu melalui cerita turun menurun dari leluhurnya itu.
"Baru diketahui saat Franck Lavigne (ahli gunung api) itu melakukan penelitian mengenal Gunung Samalas dan menyebutkan letusannya terjadi pada 1257. Sehingga saya meyakini waktunya letusan itu seperti dari hasil penelitian," paparnya.
Sejarah terungkap
Melalui tulisan berjudul Source of the great A.D. 1257 mystery eruption unveiled, Samalas volcano, Rinjani Volcanic Complex, Indonesia.
Dalam Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS) tertanggal 15 Oktober 2013 karya 15 ahli gunung api di dunia, yakni Franck Lavigne, Jean-Philippe Degeai, Jean-Christophe Komorowski, S?bastien Guillet, Vincent Robert, Pierre Lahitte, Clive Oppenheimer, Markus Stoffel, dan C'line M. Vidal.
Serta Surono, Indyo Pratomo, Patrick Wassmer, Irka Hajdas, Danang Sri Hadmoko, dan Edouard de Belizal. Franck Lavigne merupakan ahli gunung api kenamaan di dunia dari University Panth on-Sorbonne,
Hasil penelitian itu menyebutkan sumber letusan pada 1257 itu berada di Gunung Samalas bagian dari Kompleks Gunung Rinjani.
Temuan itu sekaligus telah memecahkan teka teki para ahli vulkanologi dan iklim selama lebih dari tiga dekade mengenai letusan yang terjadi pada abad pertengahan itu yang menghentakkan dunia hingga menyebabkan perubahan iklim dunia.
Sebelumnya mereka menduga letusan itu terjadi pada Gunung Okataina (Selandia Baru), El Chichon (Meksiko) dan Quilotoa (Ekuador).
Akibat letusan Gunung Samalas itu yang terjadi pada abad 13, telah menimbulkan perubahan iklim di dunia yang tidak biasanya dari musim dingin yang berubah dan musim panas dengan hujan yang tidak henti-hentinya, sehingga banjir dan hasil panen yang buruk.
Bahkan para arkeologi di Inggris menetapkan tahun 1258, usia dari penemuan ribuan kerangka mayat dalam kuburan massal yang ditemukan di London.
Tulisan tersebut menggunakan catatan dari Babad Lombok yang ditulis dalam daun lontar, yang menggambarkan letusan kaldera di Gunung Samalas yang posisinya berdekatan dengan Gunung Rinjani.
Sumber itu juga menggambarkan serangkaian fenomena vulkanik (yaitu, hujan tebal dan aliran piroklastik) yang akan menghancurkan tanah dan desa di sekitar gunung berapi, serta ibukota Kerajaan, Pamatan, sehingga menewaskan ribuan orang.
Menurut Babad Lombok, peristiwa dahsyat ini terjadi sebelum periode Selaparang (yaitu, sebelum akhir abad ke-13).
Dikatakan dalam tulisan itu, temuan ini mungkin memberikan wawasan mengenai alasan mengapa Raja Jawa Kertanegara, yang? menyerbu Bali pada tahun 1284, tidak menemui perlawanan oleh penduduk setempat.
Seperti diketahui yang dimaksud dari tulisan para ahli gunung api itu, Raja Jawa Kertanegara merupakan raja Kerajaan Singasari yang terkenal dengan Ekspedisi Pamalayu pada 1292 ke daerah Sumatera untuk menahan ekspansi dari pasukan Kaisar Kubilai Khan.
Baca juga: Pakar Indonesia-Prancis teliti Gunung Rinjani Purba
Artikel
Mengingat letusan Gunung Samalas
4 Desember 2018 07:30 WIB
Jalur pendakian Rinjani kembali dibuka bangkitkan pariwisata Lombok. (Istimewa)
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018
Tags: