Mataram (ANTARA News) - Perbukitan menjulang seperti Bukit Selong, Pergasingan, dan Anak Dara mengelilingi daerah Sembalun yang berada di lembah kaki Gunung Rinjani (3.726 mdpl) di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Letusan Gunung Samalas yang merupakan bagian dari Gunung Rinjani pada 1257 selain memberi kesuburan yang membuahkan aneka hasil pertanian juga membawa daerah itu ke periode kedua, setelah periode pertama berakhir tanpa sisa karena warganya mengungsi ke daerah-daerah lain.

Kini kecamatan Sembalun meliputi enam desa: Desa Sembalun Bumbung, Desa Sembalun Lawang, Desa Sajang, Desa Bilok Petung, Desa Sembalun, dan Desa Sembalun Timba Gading.

Budaya dan bahasa warga di kecamatan yang berpusat di Sembalun Lawang itu memiliki beberapa kesamaan dengan budaya dan bahasa orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa. Sebagian warganya menyakini nenek moyang mereka berasal dari Jawa.

"Kami percaya leluhur kami itu berasal dari Jawa," kata Mertawi, Ketua Lembaga Adat Sembalun Lawang yang juga Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Timur kepada Antara.

Keyakinan mereka antara lain didasarkan pada kesamaan beberapa kosakata mereka dengan kosakata dalam Bahasa Jawa, seperti "peteng dedet" yang berarti gelap gulita, "kelambi" untuk pakaian, "mangan" untuk makan, dan "tetandur" untuk tanaman.

Kemiripan juga terlihat pada penyebutan beberapa angka seperti "lelu" untuk angka tiga (mirip telu dalam Bahasa Jawa); "nam" untuk angka enam yang hampir sama dengan "nem" dalam Bahasa Jawa; serta "pituk" untuk tujuh (pitu dalam Bahasa Jawa); dan "ahpulu" untuk angka 10 (sepuluh dalam Bahasa Jawa).

Selain itu keserupaan dengan Jawa terlihat dari nama penganan ringan yang sering disajikan warga Sembalun seperti rengginang (semacam kerupuk berbahan beras ketan), kue cucur, serabi, wajik (wajit), gerupuk untuk kerupuk, tekel, gogos, dan godoh.

"Saya pernah diminta untuk menyiapkan 18 makanan ringan khas Sembalun dalam acara salah satu stasiun televisi dahulu. Mereka menyebutkan bahwa hampir 80 persen penganan yang disiapkan itu, sama dengan di Jawa," tutur Mertawi.

Gelar para leluhur orang Sembalun juga ada yang sama dengan gelar bangsawan Jawa, termasuk di antaranya raden.

"Dahulu pernah digunakan gelar Raden, tapi sekarang sudah tidak ada yang menggunakannya lagi," kata Mertawi.

Campuran unsur Jawa dan Bali juga tampak pada kesenian Tari Topeng di Sembalun. Demikian pula pada senjata mereka, tombak dan keris.

"Karena itu, kami meyakini leluhur kami itu berasal dari Jawa," katanya.


Sejarah

Ihwal pengaruh Jawa di Sembalun, menurut cerita turun temurun di daerah itu bermula setelah letusan Gunung Samalas, ketika ada tujuh keluarga yang kembali ke tanah leluhur dan bertemu dengan dua punggawa Kerajaan Majapahit, Raden Arya Pati dan Raden Arya Mangunjaya. Sungai dan bukit petilasan kedua orang itu kemudian dinamai Majapahit.

Sementara menurut Dr Alfons van der Kraan dalam bukunya "Lombok, Penaklukan, Penjajahan, dan Keterbelakangan 1870-1940" meski tidak ada petunjuk meyakinkan bahwa pernah ada kekuasaan Jawa di Lombok, namun Lombok disebut dalam Nagarakretagama sebagai bagian dari Kerajaan Majapahit. Kitab Nagarakretagama karangan Empu Prapanca menyebut kata "Lombok Sasak Mirah Adi".

Kata van der Kraan, Dr R Goris dalam penelitiannya tentang penduduk lembah Sembalun menyatakan bahwa penduduk lembah ini percaya mereka adalah keturunan Jawa-Hindu dan percaya bahwa seorang kerabat, "saudara laki-laki" dari Majapahit, dikubur dekat Desa Sembalun.

"Pengaruh ini ditemukan terutama dalam berbagai bentuk kesenian, seperti musik dan tari dan juga dalam bahasa, terutama nama-nama tokoh-tokoh dalam mitologi dan benda-benda keramat," katanya.

Buku Bunga Rampai Kutipan Naskah Lama dan Aspek Pengetahuannya Museum Negeri Nusa Tenggara Barat menyebutkan bahwa antara abad XI dan XVI ada penaklukan Kerajaan Selaparang dan Dompu oleh Ekspedisi Kerajaan Majapahit pimpinan Empu Nala pada 1357 Masehi.

Setelah Kerajaan Selaparang ditaklukkan, Gajah Mada datang ke Lombok yang saat itu dikenal dengan nama Selapawis.

Kedatangan Patih Gajah Mada tersebut ditulis dalam memori yang disebut Bencangah Punan. Menurut sebuah prasasti tembaga di Desa Menggala, Kecamatan Tanjung, Lombok Utara, Satria Lumendung Sari dari Waringin Sungsang di Majapahit datang bersama Gajah Mada.

Baca juga: Cagar budaya Sembalun di Lombok belum terurus pascagempa