Artikel
Menyalakan pelita ekonomi warga terpencil melalui elektrifikasi
30 November 2018 14:54 WIB
Ilustrasi - SUPLAI AIR DENGAN PANEL SURYA Sejumlah relawan Greenpeace Indonesia memeriksa penampungan air yang disedot dengan tenaga panel surya di Desa Lero, Donggala, Sulawesi Tengah, Rabu (7/11/2018). Panel surya menjadi pilihan sumber energi menyuplai air bersih untuk mengatasi kesulitan tenaga listrik bagi warga yang terdampak gempa dan tsunami di wilayah itu sekaligus edukasi tentang energi terbarukan. (ANTARA FOTO/BASRI MARZUKI)
Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah terus berupaya menekan angka kemiskinan nasional melalui sejumlah cara yang dinilai efektif dan memberikan manfaat sebesar mungkin.
Salah satunya ialah dengan menumbuhkan angka elektrifikasi atau jumlah penduduk yang menikmati aliran listrik.
Berdasarkan data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan RI (TNP2K), tingkat elektrifikasi nasional sudah mencapai 97 persen dan ditargetkan bisa mencapai 98 persen pada akhir tahun ini.
Elektrifikasi berkaitan dengan peningkatan kemampuan masyarakat dalam berekonomi yang akan berdampak terhadap penurunan angka kemiskinan.
Menurut Kepala Unit Komunikasi dan Pengelolaan Pengetahuan TNP2K Rudi Gobel, kurangnya tingkat elektrifikasi turut berperan dalam angka kemiskinan di Indonesia.
Paling tidak ada tiga penyebab kemiskinan di dalam negeri, yaitu kurangnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Listrik menjadi salah satu bagian dalam ranah infrastruktur dasar selain sanitasi dan air bersih.
Berdasarkan pengamatan TNP2K di sejumlah lokasi di Nusantara, daerah-daerah dengan tingkat infrastruktur yang rendah justru tingkat kemiskinannya terbilang tinggi.
Oleh sebab itu, elektrifikasi menjadi salah satu fokus pemerintah untuk digenjot guna menurunkan angka kemiskinan.
Berdasarkan pemaparan yang ia berikan, di Indonesia masih ada sekitar empat juta rumah tangga yang belum menikmati listrik.
Jika asumsinya satu rumah tangga berisi lima anggota keluarga, maka ada sekitar 20 juta orang di Indonesia yang miskin akibat listrik, jumlah yang setara dengan penduduk Australia.
Angka itu termasuk juga 1,6 juta rumah tangga yang sama sekali belum memiliki akses terhadap listrik dan penerangan.
Menyikapi hal ini, pemerintah membuka pintu kerja sama bagi pihak swasta untuk turut membangun dan memajukan bangsa, dengan tidak lupa melibatkan instansi terkait dan pemerintah daerah untuk pelaksanaannya di lapangan.
Ketersediaan
Demi mencapai sasaran tersebut, pemerintah juga bekerja sama dengan pihak swasta serta melibatkan pemerintah daerah untuk mewujudkan ketersediaan listrik dan penerangan.
Salah satu pihak yang ikut membantu pemerintah dalam masalah ini, ialah Signify, perusahaan global yang memproduksi perangkat penerangan Philips.
Melalui program Kampung Terang Hemat Energi (KTHE) telah menciptakan 2.850 titik penerangan dan elektrifikasi di 20 desa terpencil di Indonesia pada 2017-2018.
Program tersebut telah berhasil menaikkan derajat kesejahteraan bagi sekitar 15.000 warga di Provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Bali, dan Maluku.
Melihat hasil positif tersebut, Rami Hajjar selaku Kepala Bisnis Signify Indonesia menyatakan komitmennya untuk melanjutkan program KTHE di lokasi-lokasi lain yang lebih terpencil.
Sementara itu, Kopernik, sebuah yayasan yang mengawasi program tersebut pun mengapresiasi terobosan tersebut.
Direktur Program Kopernik Nonie Kaban menilai pengadaan elektrifikasi di daerah-daerah terpencil secara signifikan mampu meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan.
Saat ditemui dalam sebuah kesempatan di Jakarta, Nonie memaparkan hasil elektrifikasi dalam program KTHE.
Salah satu desa di Kalimantan Tengah, warganya mengaku menghemat sekitar Rp200 ribu per bulan untuk membeli solar dan minyak tanah.
Selain itu, dengan adanya penerangan kegiatan pada malam hari juga meningkat 76 persen lebih lama.
Desa yang terletak di tepi sungai pedalaman Kalimantan itu, sebelumnya tidak teraliri listrik, sedangkan warganya membatasi aktivitas pada malam hari karena tidak ada penerangan.
Untuk kebutuhan penerangan pada malam hari, warga pun bergantung pada genset atau lampu minyak.
Selain itu, salah satu desa di Maluku Utara juga mengalami perubahan positif usai mendapat bantuan perangkat penerangan.
Risiko kebakaran bisa ditekan mengingat hunian di daerah tersebut mayoritas masih memakai atap sagu.
"Dengan lampu listrik maka risiko kebakaran bisa dihindari," katanya.
Selain itu, potensi penyakit pernafasan atau gangguan kesehatan lain akibat asap dari lampu minyak pun tidak lagi ada usai menggunakan lampu listrik.
Dengan adanya listrik dan penerangan, diharapkan kohesi sosial pun ikut meningkat.
Melalui interaksi dan kegiatan sosial yang semakin padat, maka risiko konflik pun dapat diredam karena warga bisa bertukar pikiran atau berdiskusi tanpa harus terhenti saat malam tiba.
Semakin Sulit
Meski elektrifikasi mengalami peningkatan, TNP2K justru menganggap usaha pemenuhan rasio elektrifikasi hingga 100 persen semakin sulit.
Semakin sedikit persentase masyarakat yang membutuhkan elektrifikasi maka semakin sulit pula cara menjangkaunya.
Angka sekitar dua persen sisa elektrifikasi nasional merupakan lapisan masyarakat yang jauh lebih terpencil dan minim infrastruktur.
Oleh sebab itu, Rudi menilai tindakan terberat dalam upaya elektrifikasi bukan membuat sumber listrik, namun pendistribusian.
Ia mencontohkan saat Signify dan Kopernik berusaha memasang perangkat penerangan dan sumber listrik surya di Maluku Utara, mereka harus melalui jalur darat dan laut selama tiga jam.
Pembangkit tenaga surya merupakan pilihan yang tepat bagi lokasi seperti itu, mengingat belum ada jaringan listrik yang terpasang secara permanen.
Melihat potensi dari elektrifikasi dengan melibatkan pihak swasta tersebut, TNP2K juga punya standar untuk menentukan lokasi yang layak menerima bantuan semacam itu.
Pertama, lokasi yang akan didatangi memiliki tingkat kemiskinan daerah di atas rata-rata nasional sembilan persen.
Dengan pemberian perangkat listrik ke wilayah dengan kategori itu, diharapkan mampu mendongkrak perekonomian dan kesejahteraan penduduk.
Kedua, lokasi yang dituju masuk dalam kawasan off grade PLN, yaitu lokasi yang tidak masuk dalam perencanaan pembangunan jaringan listrik dalam 4-5 tahun ke depan.
Ketiga, memperhatikan tingkat kesejahteraan rumah tangga untuk mengetahui dampak jangka panjang dari instalasi listrik dan penerangan tersebut.
Harapannya, tingkat elektrifikasi yang ditargetkan pemerintah mencapai 99 persen pada akhir 2019 bisa terwujud dan meningkatkan kesejahteraan nasional.*
Baca juga: Elektrifikasi tingkatkan kesejahteraan warga terpencil
Baca juga: Ketersediaan listrik dinilai penting untuk penanggulangan kemiskinan
Baca juga: Elektrifikasi 2019 ditargetkan 99,9 persen
Salah satunya ialah dengan menumbuhkan angka elektrifikasi atau jumlah penduduk yang menikmati aliran listrik.
Berdasarkan data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan RI (TNP2K), tingkat elektrifikasi nasional sudah mencapai 97 persen dan ditargetkan bisa mencapai 98 persen pada akhir tahun ini.
Elektrifikasi berkaitan dengan peningkatan kemampuan masyarakat dalam berekonomi yang akan berdampak terhadap penurunan angka kemiskinan.
Menurut Kepala Unit Komunikasi dan Pengelolaan Pengetahuan TNP2K Rudi Gobel, kurangnya tingkat elektrifikasi turut berperan dalam angka kemiskinan di Indonesia.
Paling tidak ada tiga penyebab kemiskinan di dalam negeri, yaitu kurangnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Listrik menjadi salah satu bagian dalam ranah infrastruktur dasar selain sanitasi dan air bersih.
Berdasarkan pengamatan TNP2K di sejumlah lokasi di Nusantara, daerah-daerah dengan tingkat infrastruktur yang rendah justru tingkat kemiskinannya terbilang tinggi.
Oleh sebab itu, elektrifikasi menjadi salah satu fokus pemerintah untuk digenjot guna menurunkan angka kemiskinan.
Berdasarkan pemaparan yang ia berikan, di Indonesia masih ada sekitar empat juta rumah tangga yang belum menikmati listrik.
Jika asumsinya satu rumah tangga berisi lima anggota keluarga, maka ada sekitar 20 juta orang di Indonesia yang miskin akibat listrik, jumlah yang setara dengan penduduk Australia.
Angka itu termasuk juga 1,6 juta rumah tangga yang sama sekali belum memiliki akses terhadap listrik dan penerangan.
Menyikapi hal ini, pemerintah membuka pintu kerja sama bagi pihak swasta untuk turut membangun dan memajukan bangsa, dengan tidak lupa melibatkan instansi terkait dan pemerintah daerah untuk pelaksanaannya di lapangan.
Ketersediaan
Demi mencapai sasaran tersebut, pemerintah juga bekerja sama dengan pihak swasta serta melibatkan pemerintah daerah untuk mewujudkan ketersediaan listrik dan penerangan.
Salah satu pihak yang ikut membantu pemerintah dalam masalah ini, ialah Signify, perusahaan global yang memproduksi perangkat penerangan Philips.
Melalui program Kampung Terang Hemat Energi (KTHE) telah menciptakan 2.850 titik penerangan dan elektrifikasi di 20 desa terpencil di Indonesia pada 2017-2018.
Program tersebut telah berhasil menaikkan derajat kesejahteraan bagi sekitar 15.000 warga di Provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Bali, dan Maluku.
Melihat hasil positif tersebut, Rami Hajjar selaku Kepala Bisnis Signify Indonesia menyatakan komitmennya untuk melanjutkan program KTHE di lokasi-lokasi lain yang lebih terpencil.
Sementara itu, Kopernik, sebuah yayasan yang mengawasi program tersebut pun mengapresiasi terobosan tersebut.
Direktur Program Kopernik Nonie Kaban menilai pengadaan elektrifikasi di daerah-daerah terpencil secara signifikan mampu meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan.
Saat ditemui dalam sebuah kesempatan di Jakarta, Nonie memaparkan hasil elektrifikasi dalam program KTHE.
Salah satu desa di Kalimantan Tengah, warganya mengaku menghemat sekitar Rp200 ribu per bulan untuk membeli solar dan minyak tanah.
Selain itu, dengan adanya penerangan kegiatan pada malam hari juga meningkat 76 persen lebih lama.
Desa yang terletak di tepi sungai pedalaman Kalimantan itu, sebelumnya tidak teraliri listrik, sedangkan warganya membatasi aktivitas pada malam hari karena tidak ada penerangan.
Untuk kebutuhan penerangan pada malam hari, warga pun bergantung pada genset atau lampu minyak.
Selain itu, salah satu desa di Maluku Utara juga mengalami perubahan positif usai mendapat bantuan perangkat penerangan.
Risiko kebakaran bisa ditekan mengingat hunian di daerah tersebut mayoritas masih memakai atap sagu.
"Dengan lampu listrik maka risiko kebakaran bisa dihindari," katanya.
Selain itu, potensi penyakit pernafasan atau gangguan kesehatan lain akibat asap dari lampu minyak pun tidak lagi ada usai menggunakan lampu listrik.
Dengan adanya listrik dan penerangan, diharapkan kohesi sosial pun ikut meningkat.
Melalui interaksi dan kegiatan sosial yang semakin padat, maka risiko konflik pun dapat diredam karena warga bisa bertukar pikiran atau berdiskusi tanpa harus terhenti saat malam tiba.
Semakin Sulit
Meski elektrifikasi mengalami peningkatan, TNP2K justru menganggap usaha pemenuhan rasio elektrifikasi hingga 100 persen semakin sulit.
Semakin sedikit persentase masyarakat yang membutuhkan elektrifikasi maka semakin sulit pula cara menjangkaunya.
Angka sekitar dua persen sisa elektrifikasi nasional merupakan lapisan masyarakat yang jauh lebih terpencil dan minim infrastruktur.
Oleh sebab itu, Rudi menilai tindakan terberat dalam upaya elektrifikasi bukan membuat sumber listrik, namun pendistribusian.
Ia mencontohkan saat Signify dan Kopernik berusaha memasang perangkat penerangan dan sumber listrik surya di Maluku Utara, mereka harus melalui jalur darat dan laut selama tiga jam.
Pembangkit tenaga surya merupakan pilihan yang tepat bagi lokasi seperti itu, mengingat belum ada jaringan listrik yang terpasang secara permanen.
Melihat potensi dari elektrifikasi dengan melibatkan pihak swasta tersebut, TNP2K juga punya standar untuk menentukan lokasi yang layak menerima bantuan semacam itu.
Pertama, lokasi yang akan didatangi memiliki tingkat kemiskinan daerah di atas rata-rata nasional sembilan persen.
Dengan pemberian perangkat listrik ke wilayah dengan kategori itu, diharapkan mampu mendongkrak perekonomian dan kesejahteraan penduduk.
Kedua, lokasi yang dituju masuk dalam kawasan off grade PLN, yaitu lokasi yang tidak masuk dalam perencanaan pembangunan jaringan listrik dalam 4-5 tahun ke depan.
Ketiga, memperhatikan tingkat kesejahteraan rumah tangga untuk mengetahui dampak jangka panjang dari instalasi listrik dan penerangan tersebut.
Harapannya, tingkat elektrifikasi yang ditargetkan pemerintah mencapai 99 persen pada akhir 2019 bisa terwujud dan meningkatkan kesejahteraan nasional.*
Baca juga: Elektrifikasi tingkatkan kesejahteraan warga terpencil
Baca juga: Ketersediaan listrik dinilai penting untuk penanggulangan kemiskinan
Baca juga: Elektrifikasi 2019 ditargetkan 99,9 persen
Pewarta: Roy Rosa Bachtiar
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018
Tags: