Archandra katakan petrokimia topang masa depan industri ekstraktif
28 November 2018 16:39 WIB
Wakil Menteri ESDM Archandra Tahar memberi pidato dalam forum diskusi bertajuk "Peningkatan Kompetensi Lulusan Pendidikan Vokasi melalui Sertifikasi Kompetensi Bidang Minyak dan Gas Bumi dalam Rangka Link and Match" di Jakarta, Rabu (28/11). (ANTARA/Genta Tenri Mawangi)
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Wamen ESDM) Archandra Tahar mengatakan usaha bidang petrokimia menjadi penopang masa depan industri ekstraktif, khususnya di tengah tren revolusi industri 4.0 yang banyak mendayagunakan energi berkelanjutan (renewable energy).
"Sampai saat ini, sebagian besar produk yang diigunakan dalam kehidupan sehari-hari berbasis pada industri ekstraktif minyak dan gas (migas), khususnya petrokimia. Misalnya, baju yang dipakai, plastik, karpet, apapun, masih menggunakan minyak dan gas dalam produksinya," sebut Archandra usai membuka sesi forum diskusi (FGD) di Jakarta, Rabu.
Ketergantungan banyak usaha dengan minyak dan gas, menurut Archandra, membuat industri ekstraktif masih memiliki masa depan hingga beberapa dekade ke depan di Indonesia.
"Memang saat ini di sisi transportasi ada banyak alternatif energi yang digunakan, tetapi di sektor usaha lain, mereka masih bersandar pada petrokimia," tegas Archandra.
Walau demikian, ia menyebut, saat ini memang ada upaya mengurangi ketergantungan terhadap petrokimia, melalui produksi serat kain dan plastik yang menggunakan serat tanaman.
"Ada sekarang kantong kresek yang dibuat dari serat daun singkong, itu sudah mulai, tetapi belum tahu sampai kapan (akan menjadi arus utama)," terang Archandra.
Dalam sesi FGD bertajuk "Peningkatan Kompetensi Lulusan Pendidikan Vokasi melalui Sertifikasi Kompetensi Bidang Minyak dan Gas Bumi dalam Rangka Link and Match" di Jakarta, Rabu, Archandra menerangkan di negara maju seperti Amerika Serikat, industri ekstraktif tidak menjadi penopang utama perekonomian.
"Sentra perekonomian AS saat ini ditopang oleh perusahaan yang bergerak di bidang otomatisasi, IoT (Internet of Things), robotik, kecerdasan buatan (artificial intelligence), kita lihat perusahaan yang menjadi backbone (penopang) perekonomian AS seperti SpaceX, Tesla, Google, Apple, Facebook," sebut Archandra.
Dengan demikian, ia menyebut problem yang harus dijawab dalam sesi diskusi, diantaranya meliputi, bagaimana lulusan vokasi dan sekolah kejuruan menghadapi perekonomian yang tengah memasuki era revolusi industri 4.0, dan bagaimana para lulusan itu merespon masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) yang akan membuka keran tenaga kerja dari negara kawasan Asia Tenggara.
"Apa yang kita harapkan dari lulusan vokasi, apa kita menginginkan mereka membuat lapangan kerja, atau hanya masuk ke lapangan kerja yang telah diciptakan oleh industri," sebut Archandra bernada retoris.
Sesi FGD yang diadakan Kementerian ESDM itu, turut diisi dengan penandatanganan nota kesepahaman antara perwakilan sekolah vokasi dengan pihak industri.
Baca juga: Perekonomian Indonesia masih didominasi sektor ekstraktif
Baca juga: DPR minta impor produk petrokimia dilakukan selektif
"Sampai saat ini, sebagian besar produk yang diigunakan dalam kehidupan sehari-hari berbasis pada industri ekstraktif minyak dan gas (migas), khususnya petrokimia. Misalnya, baju yang dipakai, plastik, karpet, apapun, masih menggunakan minyak dan gas dalam produksinya," sebut Archandra usai membuka sesi forum diskusi (FGD) di Jakarta, Rabu.
Ketergantungan banyak usaha dengan minyak dan gas, menurut Archandra, membuat industri ekstraktif masih memiliki masa depan hingga beberapa dekade ke depan di Indonesia.
"Memang saat ini di sisi transportasi ada banyak alternatif energi yang digunakan, tetapi di sektor usaha lain, mereka masih bersandar pada petrokimia," tegas Archandra.
Walau demikian, ia menyebut, saat ini memang ada upaya mengurangi ketergantungan terhadap petrokimia, melalui produksi serat kain dan plastik yang menggunakan serat tanaman.
"Ada sekarang kantong kresek yang dibuat dari serat daun singkong, itu sudah mulai, tetapi belum tahu sampai kapan (akan menjadi arus utama)," terang Archandra.
Dalam sesi FGD bertajuk "Peningkatan Kompetensi Lulusan Pendidikan Vokasi melalui Sertifikasi Kompetensi Bidang Minyak dan Gas Bumi dalam Rangka Link and Match" di Jakarta, Rabu, Archandra menerangkan di negara maju seperti Amerika Serikat, industri ekstraktif tidak menjadi penopang utama perekonomian.
"Sentra perekonomian AS saat ini ditopang oleh perusahaan yang bergerak di bidang otomatisasi, IoT (Internet of Things), robotik, kecerdasan buatan (artificial intelligence), kita lihat perusahaan yang menjadi backbone (penopang) perekonomian AS seperti SpaceX, Tesla, Google, Apple, Facebook," sebut Archandra.
Dengan demikian, ia menyebut problem yang harus dijawab dalam sesi diskusi, diantaranya meliputi, bagaimana lulusan vokasi dan sekolah kejuruan menghadapi perekonomian yang tengah memasuki era revolusi industri 4.0, dan bagaimana para lulusan itu merespon masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) yang akan membuka keran tenaga kerja dari negara kawasan Asia Tenggara.
"Apa yang kita harapkan dari lulusan vokasi, apa kita menginginkan mereka membuat lapangan kerja, atau hanya masuk ke lapangan kerja yang telah diciptakan oleh industri," sebut Archandra bernada retoris.
Sesi FGD yang diadakan Kementerian ESDM itu, turut diisi dengan penandatanganan nota kesepahaman antara perwakilan sekolah vokasi dengan pihak industri.
Baca juga: Perekonomian Indonesia masih didominasi sektor ekstraktif
Baca juga: DPR minta impor produk petrokimia dilakukan selektif
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2018
Tags: