Ekonom katakan kenaikan bunga acuan tekan pertumbuhan ekonomi
28 November 2018 14:32 WIB
Kepala Ekonom PT. CIMB Niaga Tbk Adrian Panggabean memaparkan proyeksi ekonomi pada 2019 di Jakarta, Rabu. (ANTARA/Indra Arief Pribadi)
Jakarta (ANTARA News) - Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia yang diperkirakan berlanjut agresif akan menekan pertumbuhan ekonomi di 2019 menjadi 4,9 persen (tahun ke tahun/yoy) atau melambat dibanding prognosa 2018 yang 5,1 persen, kata Ekonom Adrian Panggabean.
Namun, menurut Adrian dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu, kenaikan suku bunga acuan itu memang perlu ditempuh otoritas moneter karena masih tingginya gejolak ekonomi eksternal yang dapat mengaburkan modal asing dan juga sebagai upaya menambal lubang defisit transaksi berjalan domestik.
"Volatilitas di pasar finansial sebagai konsekuensi kurangnya likuiditas akibat naiknya suku bunga akan terus berlanjut," kata Kepala Ekonom di PT. Bank CIMB Niaga Tbk itu.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi di 4,9 persen itu lebih rendah dibanding prognosa Bank Indonesia yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2019 di atas 5,1 persen.
Adrian memandang pelaku pasar memahami langkah agresivitas BI dalam menaikkan suku bunga acuan di enam bulan terakhir semata-mata untuk menyelematkan defisit transaksi berjalan dan menarik modal asing ke pundi-pundi aset berdenominasi rupiah. Namun hal itu juga kata dia, tidak bisa dibantah akan turut mengerem laju pertumbuhan ekonomi.
"Defisit transaksi berjalan kita memang memprihatinkan. Jadi BI mau tidak mau menaikkan suku bunga, itu pasti pengaruhnya menurunkan pertumbuhan, tapi itu juga karena kebutuhan untuk menahan impor," ujar dia.
Sepanjang enam bulan terakhir di 2018, BI sudah menaikkan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 1,75 persen ke enam persen, sebuah langkah yang diterjemahkan sebagai sikap otoritas moneter yang antisipatif (preemptive) dan mendahului kurva suku bunga (ahead of the curve).
Dalam tempo tidak lama, kata Adrian, suku bunga instrumen keuangan khususnya berjangka panjang akan ikut naik dan memicu penurunan likuiditas di sistem keuangan domestik.
Meninjau pernyataan BI yang masih mempertahankan sikap "preemptive" dan "ahead of the curve", ekonom ini memerkirakan suku bunga acuan bisa dikatrol kembali hingga 6,5-6,75 persen hingga akhir 2019. Atas dasar itu pula, investor akan mencari zona nyamannya tersendiri dengan melakukan penyesuaian investasi, karena imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun diperkirakan akan mencapai 8,5 persen di akhir 2019.
Di samping posisi kebijakan moneter yang pro-stabilitas, kata Adrian, kebijakan fiskal 2019 juga tidak akan ekspansif karena rasio penerimaan pajak yang rendah.
"Hal ini juga merupakan konsekuensi dari rendahnya rasio pajak yang kemudian diaksentuasi oleh efek kebijakan suku bunga dalam menjaga rupiah namun berdampak pada pelemahan dinamika sektor riil," kata Adrian.
Dengan pertumbuhan eknonomi di 4,9 persen, inflasi 2019 diperkirakan akan di bawah 3,5 persen (yoy).
Sementara nilai rupiah di 2019 diperkirakan bergerak di Rp14.400-Rp15.200. Jika melihat rentang perkiraan kurs tersebut yang berjarak 800 poin, maka volatilitas nilai rupiah diperkirakan tinggi.
Baca juga: Kenaikan bunga acuan BI ampuh topang Rupiah
Sementara itu, Gubernur BI Perry Warjiyo dampak kenaikan suku bunga acuan akan dikompensasi dengan empat amunisi kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
"Ingat satu jamu pahit kenaikan suku bunga, tapi ada empat 'jamu manis', untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Perry, Selasa kemarin.
Baca juga: BI siapkan empat amunisi pendorong pertumbuhan ekonomi
Empat amunisi atau "jamu manis" yang disebut Perry itu diterjemahkan dalam beberapa kebijakan yang akomodatif. Pertama, kebijakan untuk memperdalam pasar keuangan agar meningkatkan instrumen alternatif pendanaan bagi perekonomian. Kedua, kebijakan untuk menjaga likuiditas perbankan yang memadai untuk mendorong perbankan menyalurkan pembiayaan.
Ketiga, BI juga terus mematangkan untuk melonggarkan kebijakan makroprudensial. Terakhir, kebijakan digitalisasi cara pembayaran untuk meningkatkan konsumsi masyarakat, termasuk melibatkan UMKM dan sektor pariwisata.***3***
Namun, menurut Adrian dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu, kenaikan suku bunga acuan itu memang perlu ditempuh otoritas moneter karena masih tingginya gejolak ekonomi eksternal yang dapat mengaburkan modal asing dan juga sebagai upaya menambal lubang defisit transaksi berjalan domestik.
"Volatilitas di pasar finansial sebagai konsekuensi kurangnya likuiditas akibat naiknya suku bunga akan terus berlanjut," kata Kepala Ekonom di PT. Bank CIMB Niaga Tbk itu.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi di 4,9 persen itu lebih rendah dibanding prognosa Bank Indonesia yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2019 di atas 5,1 persen.
Adrian memandang pelaku pasar memahami langkah agresivitas BI dalam menaikkan suku bunga acuan di enam bulan terakhir semata-mata untuk menyelematkan defisit transaksi berjalan dan menarik modal asing ke pundi-pundi aset berdenominasi rupiah. Namun hal itu juga kata dia, tidak bisa dibantah akan turut mengerem laju pertumbuhan ekonomi.
"Defisit transaksi berjalan kita memang memprihatinkan. Jadi BI mau tidak mau menaikkan suku bunga, itu pasti pengaruhnya menurunkan pertumbuhan, tapi itu juga karena kebutuhan untuk menahan impor," ujar dia.
Sepanjang enam bulan terakhir di 2018, BI sudah menaikkan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 1,75 persen ke enam persen, sebuah langkah yang diterjemahkan sebagai sikap otoritas moneter yang antisipatif (preemptive) dan mendahului kurva suku bunga (ahead of the curve).
Dalam tempo tidak lama, kata Adrian, suku bunga instrumen keuangan khususnya berjangka panjang akan ikut naik dan memicu penurunan likuiditas di sistem keuangan domestik.
Meninjau pernyataan BI yang masih mempertahankan sikap "preemptive" dan "ahead of the curve", ekonom ini memerkirakan suku bunga acuan bisa dikatrol kembali hingga 6,5-6,75 persen hingga akhir 2019. Atas dasar itu pula, investor akan mencari zona nyamannya tersendiri dengan melakukan penyesuaian investasi, karena imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun diperkirakan akan mencapai 8,5 persen di akhir 2019.
Di samping posisi kebijakan moneter yang pro-stabilitas, kata Adrian, kebijakan fiskal 2019 juga tidak akan ekspansif karena rasio penerimaan pajak yang rendah.
"Hal ini juga merupakan konsekuensi dari rendahnya rasio pajak yang kemudian diaksentuasi oleh efek kebijakan suku bunga dalam menjaga rupiah namun berdampak pada pelemahan dinamika sektor riil," kata Adrian.
Dengan pertumbuhan eknonomi di 4,9 persen, inflasi 2019 diperkirakan akan di bawah 3,5 persen (yoy).
Sementara nilai rupiah di 2019 diperkirakan bergerak di Rp14.400-Rp15.200. Jika melihat rentang perkiraan kurs tersebut yang berjarak 800 poin, maka volatilitas nilai rupiah diperkirakan tinggi.
Baca juga: Kenaikan bunga acuan BI ampuh topang Rupiah
Sementara itu, Gubernur BI Perry Warjiyo dampak kenaikan suku bunga acuan akan dikompensasi dengan empat amunisi kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
"Ingat satu jamu pahit kenaikan suku bunga, tapi ada empat 'jamu manis', untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Perry, Selasa kemarin.
Baca juga: BI siapkan empat amunisi pendorong pertumbuhan ekonomi
Empat amunisi atau "jamu manis" yang disebut Perry itu diterjemahkan dalam beberapa kebijakan yang akomodatif. Pertama, kebijakan untuk memperdalam pasar keuangan agar meningkatkan instrumen alternatif pendanaan bagi perekonomian. Kedua, kebijakan untuk menjaga likuiditas perbankan yang memadai untuk mendorong perbankan menyalurkan pembiayaan.
Ketiga, BI juga terus mematangkan untuk melonggarkan kebijakan makroprudensial. Terakhir, kebijakan digitalisasi cara pembayaran untuk meningkatkan konsumsi masyarakat, termasuk melibatkan UMKM dan sektor pariwisata.***3***
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2018
Tags: