Fraksi Gerindra kritisi relaksasi DNI
27 November 2018 20:11 WIB
Tolak Perpanjangan Kontrak Karya Freeport Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika (kanan) bersama perwakilan kelompok fraksi (poksi) Komisi VII melakukan konferensi pers mengenai PT Freeport Indonesia di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta (27/10). Komisi VII DPR RI menolak perpanjangan kontrak karya PT Freeport dan meminta pemerintah mencabut surat persetujuan perpanjangan kontrak tersebut. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Jakarta (ANTARA News) - Fraksi Partai Gerindra di DPR RI mengkritisi paket Kebijakan Ekonomi ke-16 yang dikeluarkan pemerintah dan mengatur tentang relaksasi daftar nilai investasi (DNI) dinilai sebagai bentuk keberpihakan kepada pihak asing.
"Kebijakan yang termaktub dalam Paket Kebijakan Ekonomi XVI itu tidak sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang mengamatkan pemerintah untuk menjaga segala kekayaan alam seluas-luasnya untuk kepentingan rakyat," kata anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Kardaya Warnika dalam diskusi bertajuk "Menyoal Kebijakan Relaksasi Daftar Negatif Investasi" di Sekretariat Nasional Prabowo-Sandi, Jl. HOS Cokroaminoto 93, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa.
Anggota Komisi VII DPR ini menegaskan, harusnya DNI merupakan upaya negara untuk menjaga keberpihakan terhadap kepentingan nasional bukan asing.
"Itu sudah digagas dari dulu peraturan dikeluarkan agar bisa menjadi maju dan berkembang dan sebagainya," kata Kardaya.
Menuru dia, kebijakan relaksasi DNI itu hanyalah untuk mengecilkan rakyat Indonesia sendiri.
"Menurut saya, kita wajib rakyat Indonesia nangis atas pencabutan itu. Karena apa? Tidak ada sama sekali menguntungkan bagi negara dan kesejahteraan rakyat. Jadi, relaksasi ini, itu tidak sesuai dengan jiwa konstitusi," tutur Kardaya.
Di tempat yang sama, peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, menambahkan, kebijakan nasional yang telah dibuat itu tidak memiliki satu dasar kepentingan nasional yang jelas.
"Tapi lebih memfasilitasi kepentingan negara tertentu atau orang tertentu untuk negara tertentu. Ini kebijakan pesanan, bukan dari analisis. DNI itu bukan insentif," katanya.
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan, relaksasi daftar negatif investasi (DNI) tidak akan mengancam keberadaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam negeri dengan adanya investasi asing.
"Tidak, tidak akan mengancam. Itu hanya salah komunikasi saja, sebetulnya maksudnya tidak demikian. Saya belum tahu salah sangka itu, karena itu dibicarakan di koordinasi di Kemenko Perekonomian," kata Wapres Jusuf Kalla kepada wartawan di Kantor Wapres Jakarta, Selasa.
Wapres mengatakan dengan memperkecil bidang usaha dalam DNI, tidak berarti semua investasi asing langsung dapat masuk dalam bidang usaha dalam negeri, khususnya UMKM Indonesia.
Pemerintah memperkecil daftar bidang usaha asing dalam DNI, atau dikenal dengan relaksasi DNI, dengan tujuan untuk mempermudah perizinan investasi masuk ke dalam negeri.
Dari 54 bidang usaha, 25 di antaranya telah dikeluarkan dari DNI sehingga kepemilikannya oleh modal asing bisa meningkat hingga 100 persen. Ke-25 bidang usaha tersebut antara lain terkait jasa konstruksi migas, jasa pengeboran migas di laut, jasa internet dan telepon, industri farmasi dan jasa jajak pendapat atau survei.
Baca juga: Wapres katakan relaksasi DNI tidak ancam usaha kecil
Baca juga: Kadin akan godok usulan anggota terkait DNI
"Kebijakan yang termaktub dalam Paket Kebijakan Ekonomi XVI itu tidak sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang mengamatkan pemerintah untuk menjaga segala kekayaan alam seluas-luasnya untuk kepentingan rakyat," kata anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Kardaya Warnika dalam diskusi bertajuk "Menyoal Kebijakan Relaksasi Daftar Negatif Investasi" di Sekretariat Nasional Prabowo-Sandi, Jl. HOS Cokroaminoto 93, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa.
Anggota Komisi VII DPR ini menegaskan, harusnya DNI merupakan upaya negara untuk menjaga keberpihakan terhadap kepentingan nasional bukan asing.
"Itu sudah digagas dari dulu peraturan dikeluarkan agar bisa menjadi maju dan berkembang dan sebagainya," kata Kardaya.
Menuru dia, kebijakan relaksasi DNI itu hanyalah untuk mengecilkan rakyat Indonesia sendiri.
"Menurut saya, kita wajib rakyat Indonesia nangis atas pencabutan itu. Karena apa? Tidak ada sama sekali menguntungkan bagi negara dan kesejahteraan rakyat. Jadi, relaksasi ini, itu tidak sesuai dengan jiwa konstitusi," tutur Kardaya.
Di tempat yang sama, peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, menambahkan, kebijakan nasional yang telah dibuat itu tidak memiliki satu dasar kepentingan nasional yang jelas.
"Tapi lebih memfasilitasi kepentingan negara tertentu atau orang tertentu untuk negara tertentu. Ini kebijakan pesanan, bukan dari analisis. DNI itu bukan insentif," katanya.
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan, relaksasi daftar negatif investasi (DNI) tidak akan mengancam keberadaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam negeri dengan adanya investasi asing.
"Tidak, tidak akan mengancam. Itu hanya salah komunikasi saja, sebetulnya maksudnya tidak demikian. Saya belum tahu salah sangka itu, karena itu dibicarakan di koordinasi di Kemenko Perekonomian," kata Wapres Jusuf Kalla kepada wartawan di Kantor Wapres Jakarta, Selasa.
Wapres mengatakan dengan memperkecil bidang usaha dalam DNI, tidak berarti semua investasi asing langsung dapat masuk dalam bidang usaha dalam negeri, khususnya UMKM Indonesia.
Pemerintah memperkecil daftar bidang usaha asing dalam DNI, atau dikenal dengan relaksasi DNI, dengan tujuan untuk mempermudah perizinan investasi masuk ke dalam negeri.
Dari 54 bidang usaha, 25 di antaranya telah dikeluarkan dari DNI sehingga kepemilikannya oleh modal asing bisa meningkat hingga 100 persen. Ke-25 bidang usaha tersebut antara lain terkait jasa konstruksi migas, jasa pengeboran migas di laut, jasa internet dan telepon, industri farmasi dan jasa jajak pendapat atau survei.
Baca juga: Wapres katakan relaksasi DNI tidak ancam usaha kecil
Baca juga: Kadin akan godok usulan anggota terkait DNI
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2018
Tags: