Piala AFF 2018
Bima: Jangan saling menyalahkan terkait kegagalan timnas
26 November 2018 08:56 WIB
Pesepak bola Indonesia Zulfiandi (kiri) berebut bola dengan pesepak bola Filipina Jovin Hervas (kanan) dalam laga lanjutan Piala AFF 2018 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (25/11/2018). (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc)
Jakarta (ANTARA News) - Pelatih tim nasional Indonesia Bima Sakti meminta semua pemangku kepentingan sepak bola nasional untuk tidak saling menyalahkan terkait kegagalan skuatnya lolos dari fase grup Piala AFF 2018.
"Saat ini yang harus dilakukan adalah mencari solusi yang terbaik untuk tim nasional," ujar Bima usai laga terakhir Grup B Piala AFF 2018 kontra Filipina di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (25/11) malam.
Bima menegaskan, dirinya bertanggung jawab penuh untuk performa Indonesia di Piala AFF 2018.
Namun, soal timnas bukanlah soal Piala AFF atau turnamen internasional semata. Yang terpenting dari sebuah timnas, menurut Bima, adalah upaya untuk membentuk sebuah skuat yang kuat dan berkelanjutan. Caranya tak lain tak bukan yaitu dengan membenahi kompetisi sepak bola usia muda.
Bima Sakti pun membandingkan kondisi Indonesia dengan Swedia, negara tempat dia bermain pada musim 1995-1996. Di periode itu, Bima merumput di skuat muda salah satu klub terbesar di Swedia yakni Helsingborg.
"Pada tahun 1995-1996 itu saya menyaksikan bagaimana liga Swedia menjalankan kompetisi usia muda serentak dengan liga tertinggi. Ketika klub Helsingborg bermain di akhir pekan, misalnya, maka tim muda Helsingborg juga turut berkompetisi. Bayangkan, itu tahun 1995-1996," kata dia.
Situasi sebaliknya terjadi di Indonesia yang bahkan baru memiliki liga U-16 mulai tahun 2018 dan liga U-19 mulai tahun 2017. Padahal, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) sudah berdiri sejak tahun 1930.
Bima menambahkan, ketiadaan kompetisi juga yang menjadi alasan mengapa pelatih sebelumnya timnas Indonesia, Luis Milla harus mengajarkan pemain timnas U-23 Indonesia teknik dasar bermain sepak bola seperti tentang posisi badan ketika menerima bola, kapan harus melepaskan umpan silang dan sebagainya.
"Di timnas U-21 Spanyol yang dibawanya juara Piala U-21 Eropa pada tahun 2011, Luis Milla tidak perlu menjelaskan hal-hal seperti itu kepada pemainnya ketika itu seperti Juan Mata, Thiago Alcantara. Anak-anak asuh Luis Milla sudah mendapatkan pelajaran tersebut di kompetisi level klub," tutur dia.
Tidak ada yang instan dalam pembentukan tim nasional, kata Bima Sakti. Semua butuh proses dan tidak boleh berhasrat langsung juara dengan cara-cara instan.
Laga terakhir Grup B Piala AFF 2018 tim nasional sepak bola Indonesia, yang sudah dipastikan tersingkir dari turnamen, versus Filipina di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu, berakhir seri dengan skor 0-0.
Hasil ini membuat Filipina lolos ke semifinal Piala AFF 2018 sebagai peringkat kedua grup. Mereka mendampingi juara Grup B Thailand yang di laga lain menaklukkan Singapura dengan skor 3-0 di Stadion Rajamangala, Bangkok.
Baca juga: Sven-Goran Eriksson: timnas Indonesia bermasa depan cerah
Baca juga: Bima Sakti terharu melihat dukungan suporter
"Saat ini yang harus dilakukan adalah mencari solusi yang terbaik untuk tim nasional," ujar Bima usai laga terakhir Grup B Piala AFF 2018 kontra Filipina di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (25/11) malam.
Bima menegaskan, dirinya bertanggung jawab penuh untuk performa Indonesia di Piala AFF 2018.
Namun, soal timnas bukanlah soal Piala AFF atau turnamen internasional semata. Yang terpenting dari sebuah timnas, menurut Bima, adalah upaya untuk membentuk sebuah skuat yang kuat dan berkelanjutan. Caranya tak lain tak bukan yaitu dengan membenahi kompetisi sepak bola usia muda.
Bima Sakti pun membandingkan kondisi Indonesia dengan Swedia, negara tempat dia bermain pada musim 1995-1996. Di periode itu, Bima merumput di skuat muda salah satu klub terbesar di Swedia yakni Helsingborg.
"Pada tahun 1995-1996 itu saya menyaksikan bagaimana liga Swedia menjalankan kompetisi usia muda serentak dengan liga tertinggi. Ketika klub Helsingborg bermain di akhir pekan, misalnya, maka tim muda Helsingborg juga turut berkompetisi. Bayangkan, itu tahun 1995-1996," kata dia.
Situasi sebaliknya terjadi di Indonesia yang bahkan baru memiliki liga U-16 mulai tahun 2018 dan liga U-19 mulai tahun 2017. Padahal, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) sudah berdiri sejak tahun 1930.
Bima menambahkan, ketiadaan kompetisi juga yang menjadi alasan mengapa pelatih sebelumnya timnas Indonesia, Luis Milla harus mengajarkan pemain timnas U-23 Indonesia teknik dasar bermain sepak bola seperti tentang posisi badan ketika menerima bola, kapan harus melepaskan umpan silang dan sebagainya.
"Di timnas U-21 Spanyol yang dibawanya juara Piala U-21 Eropa pada tahun 2011, Luis Milla tidak perlu menjelaskan hal-hal seperti itu kepada pemainnya ketika itu seperti Juan Mata, Thiago Alcantara. Anak-anak asuh Luis Milla sudah mendapatkan pelajaran tersebut di kompetisi level klub," tutur dia.
Tidak ada yang instan dalam pembentukan tim nasional, kata Bima Sakti. Semua butuh proses dan tidak boleh berhasrat langsung juara dengan cara-cara instan.
Laga terakhir Grup B Piala AFF 2018 tim nasional sepak bola Indonesia, yang sudah dipastikan tersingkir dari turnamen, versus Filipina di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu, berakhir seri dengan skor 0-0.
Hasil ini membuat Filipina lolos ke semifinal Piala AFF 2018 sebagai peringkat kedua grup. Mereka mendampingi juara Grup B Thailand yang di laga lain menaklukkan Singapura dengan skor 3-0 di Stadion Rajamangala, Bangkok.
Baca juga: Sven-Goran Eriksson: timnas Indonesia bermasa depan cerah
Baca juga: Bima Sakti terharu melihat dukungan suporter
Pewarta: Michael Siahaan
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018
Tags: