Telaah
Merumuskan ulang keindonesiaan
24 November 2018 14:26 WIB
Mufakat Budaya Indonesia Temui DPD Ketua DPD Irman Gusman (kanan) berbincang dengan Budayawan Radhar Panca Dahana (tengah) dan Franz Magnis Suseno (kiri) saat menerima kunjungan Mufakat Budaya Indonesia di gedung Nusantara, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (22/1). Pertemuan yang dihadiri tokoh agama, seniman dan budayawan tersebut meminta kepada DPD untuk memperjuangkan aspirasi, salah satunya agar dalam pembuatan UU tetap berpedoman dengan kebudayaan asli Indonesia. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/foc/16.
Dinamika sosial politik ekonomi di tataran domestik dan global yang berlangsung secara progresif memaksa setiap bangsa dan negara di dunia ini melakukan adaptasi yang tak henti-hentinya dan ketika dinamika itu kian tinggi intensitasnya, perumusan ulang akan identitas kebangsaan pun tak bisa dielakkan.
Kekuatan-kekuatan sosial politik baru yang sedikit banyak berhasil mendekonstruksi kekuatan lama, dalam konteks Indonesia ditandai dengan hegemoni parpol dan bukan lagi penguasa tiranik sejak Reformasi Mei 1998, berhasil mengubah esensi ketatanegaraan lewat amendemen Konstitusi alias Undang Undang Dasar 1945.
Setelah dua dekade pengubahan esensi ketatanegaraan itu, kini muncul gagasan dari kalangan cendekiawan yang juga budayawan Radhar Panca Dahana tentang perlunya merumuskan kembali identitas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia atau dalam frasa yang lebih ringkas disebut keindonesiaan.
Bagi kalangan di luar pemikir kebudayaan, katakanlah para politikus pada umumnya, gagasan Radhar itu tentu akan cenderung dipandang sebelah mata karena terlalu riskan untuk mengubah esensi identitas keindonesiaan yang sudah final dengan patokan filosofis yang terkandung dalam dasar negara Pancasila.
Politikus pragmatis yang boleh dibilang hanya berpikir tentang kekuasaan untuk kelompok kepentingannya pun tak berminat melakukan reformulasi identitas keindonesiaan. Kenapa? Karena ikhtiar mewujudkan gagasan sang budayawan itu akan dipandang dengan penuh curiga.
Kaum politikus pragmatis ini hanya mau mewujudkan ide-ide yang konkret dampak positifnya bagi kepentingan kelompoknya, lebih sempit lagi kepentingan personalnya. Itu sebabnya sangat bisa dimengerti bila tak sedikit politikus yang, dalam ukuran akal awam pun, bermanuver bukannya memajukan keadaban bernegara tapi mengarah ke titik yang kontra dengan upaya pemajuan keutamaan publik.
Ini contohnya paling gamblang: ketika hampir semua kekuatan sipil prodemokrasi dan aktivis antikorupsi berupaya memperkuat peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga bisa semakin maksimal menyeret koruptor ke meja hijau, sejumlah politikus di parlemen berupaya melakukan pelemahan sistematis terhadap peran KPK.
Pelemahan yang dilakukan secara sistematis itu antara lain dengan terus-menerus mewacanakan perlunya izin dari pengadilan sebelum KPK melakukan penyadapan terhadap siapa pun yang disinyalir akan melakukan korupsi.
Gagasan yang dilontarkan sang budayawan tentang perlunya reformulasi identitas keindonesiaan tentu bisa direalisasikan hanya jika para pengambil keputusan di pemerintahan maupun di lembaga legislatif menyambutnya dan mewujudkan dalam pengubahan konstitusi atau undang-undang dasar. Tentu masalah ini cukup krusial sekaligus kontroversial. Selama ini memang muncul polemik tentang perlunya amendemen kelima atau malah kembali ke konstitusi dasar yang asli, yakni Undang Undang Dasar 1945.
Pilihan jalan tengah dalam menanggapi gagasan Radar adalah tetap menjadikan Pancasila sebagai jangkar berbangsa dan bernegara seraya melakukan telaah kritis terhadap perundangan yang justru menghambat laju kencang dinamika sosial politik ekonomi.
Dengan kata lain, yang dibutuhkan untuk merealisasikan gagasan sang budayawan adalah lahirnya para pemimpin dan wakil-wakil publik yang duduk di parlemen pusat maupun daerah yang berwawasan keindonesiaan di era milenial ini.
Saat ini pertarungan yang paling sengit terjadi justru di ranah lembaga legislatif, terutama di daerah-daerah, yang semakin gencar menggulirkan peraturan-peraturan berbasis sektarian.
Jika semakin banyak politikus berwawasan sektarian memenangi pertarungan meloloskan peraturan daerah yang menyokong terjadinya segmentasi identitas sosial di masyarakat, cita-cita tentang keindonesiaan yang kian solid dan inklusif justru semakin menjauh.
Pada titik inilah gagasan Radhar justru mendapatkan momentum dan relevansi. Tampaknya, siapa pun, kelompok ideologis apa pun yang sedang berkuasa di Tanah Air, akan dibuat sangat kewalahan menghadapi problem-problem pragmatis instan yang susul-menyusul dan semua itu membutuhkan penyelesaian selekasnya pada tataran operasional alih-alih konseptual.
Terjadinya anomali-anomali dalam proses hukum, setidaknya di mata publik yang menggunakan logika sederhana berbasis rasa keadilan dan dalil hukum elementer, masih terus berlangsung dan hal ini menyedot energi tersendiri bagi penyelenggara kekuasaan eksekutif.
Untuk menyebut satu kasus yang lagi viral, anomali itu terjadi pada kasus Baiq Nuril, seorang guru honorer yang perkaranya menang di tingkat pengadilan negeri, namun terkalahkan di tingkat kasasi, namun simpati meluas dari publik berhasil membuat pengadilan menahan diri untuk mengeksekusi keputusan Mahkamah Agung.
Identitas keindonesiaan agaknya sedang terumuskan dengan sendirinya lewat aksi-aksi patriotik, peraihan prestasi-prestasi berkelas internasional di beragam ranah profesionalitas, untuk aspek positifnya, yang kadang juga diwarnai oleh realitas suram berupa pergolakan sektarian secara sporadis di sejumlah wilayah.
Yang diperlukan tentu bukan menafikkan aspek negatif itu tapi memperkuat kesanggupan berbagai anasir sosial politik yang ada untuk menyelesaikannya dalam persepktif keadaban nilai-nilai yang dihayati dan diejawantahkan selama ini.
Tantangannya, sebagaimana proyeksi para pemikir masa depan, tentu semakin besar. Semakin terbatasnya sumber daya alam, semakin kuatnya tekanan ekonomi global, dan kian mengeraskan pengaruh ideologi sektarian, serta kian rapuhnya kesintasan lingkungan hidup akan memengaruhi bentuk identitas keindonesiaan itu.
Dalam kondisi demikian, sekalipun kesanggupan untuk menemukan jawaban atas persoalan itu tak secara otomatis tersaji, sedikitnya para pemimpin perlu menggaungkan optimisme atau pengharapan dalam menapaki masa depan.
Baca juga: Pembedaan Karya Akan Mengerdilkan Kesusastraan Indonesia
Baca juga: Budayawan: perilaku Senator DPD lebih baik
Kekuatan-kekuatan sosial politik baru yang sedikit banyak berhasil mendekonstruksi kekuatan lama, dalam konteks Indonesia ditandai dengan hegemoni parpol dan bukan lagi penguasa tiranik sejak Reformasi Mei 1998, berhasil mengubah esensi ketatanegaraan lewat amendemen Konstitusi alias Undang Undang Dasar 1945.
Setelah dua dekade pengubahan esensi ketatanegaraan itu, kini muncul gagasan dari kalangan cendekiawan yang juga budayawan Radhar Panca Dahana tentang perlunya merumuskan kembali identitas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia atau dalam frasa yang lebih ringkas disebut keindonesiaan.
Bagi kalangan di luar pemikir kebudayaan, katakanlah para politikus pada umumnya, gagasan Radhar itu tentu akan cenderung dipandang sebelah mata karena terlalu riskan untuk mengubah esensi identitas keindonesiaan yang sudah final dengan patokan filosofis yang terkandung dalam dasar negara Pancasila.
Politikus pragmatis yang boleh dibilang hanya berpikir tentang kekuasaan untuk kelompok kepentingannya pun tak berminat melakukan reformulasi identitas keindonesiaan. Kenapa? Karena ikhtiar mewujudkan gagasan sang budayawan itu akan dipandang dengan penuh curiga.
Kaum politikus pragmatis ini hanya mau mewujudkan ide-ide yang konkret dampak positifnya bagi kepentingan kelompoknya, lebih sempit lagi kepentingan personalnya. Itu sebabnya sangat bisa dimengerti bila tak sedikit politikus yang, dalam ukuran akal awam pun, bermanuver bukannya memajukan keadaban bernegara tapi mengarah ke titik yang kontra dengan upaya pemajuan keutamaan publik.
Ini contohnya paling gamblang: ketika hampir semua kekuatan sipil prodemokrasi dan aktivis antikorupsi berupaya memperkuat peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga bisa semakin maksimal menyeret koruptor ke meja hijau, sejumlah politikus di parlemen berupaya melakukan pelemahan sistematis terhadap peran KPK.
Pelemahan yang dilakukan secara sistematis itu antara lain dengan terus-menerus mewacanakan perlunya izin dari pengadilan sebelum KPK melakukan penyadapan terhadap siapa pun yang disinyalir akan melakukan korupsi.
Gagasan yang dilontarkan sang budayawan tentang perlunya reformulasi identitas keindonesiaan tentu bisa direalisasikan hanya jika para pengambil keputusan di pemerintahan maupun di lembaga legislatif menyambutnya dan mewujudkan dalam pengubahan konstitusi atau undang-undang dasar. Tentu masalah ini cukup krusial sekaligus kontroversial. Selama ini memang muncul polemik tentang perlunya amendemen kelima atau malah kembali ke konstitusi dasar yang asli, yakni Undang Undang Dasar 1945.
Pilihan jalan tengah dalam menanggapi gagasan Radar adalah tetap menjadikan Pancasila sebagai jangkar berbangsa dan bernegara seraya melakukan telaah kritis terhadap perundangan yang justru menghambat laju kencang dinamika sosial politik ekonomi.
Dengan kata lain, yang dibutuhkan untuk merealisasikan gagasan sang budayawan adalah lahirnya para pemimpin dan wakil-wakil publik yang duduk di parlemen pusat maupun daerah yang berwawasan keindonesiaan di era milenial ini.
Saat ini pertarungan yang paling sengit terjadi justru di ranah lembaga legislatif, terutama di daerah-daerah, yang semakin gencar menggulirkan peraturan-peraturan berbasis sektarian.
Jika semakin banyak politikus berwawasan sektarian memenangi pertarungan meloloskan peraturan daerah yang menyokong terjadinya segmentasi identitas sosial di masyarakat, cita-cita tentang keindonesiaan yang kian solid dan inklusif justru semakin menjauh.
Pada titik inilah gagasan Radhar justru mendapatkan momentum dan relevansi. Tampaknya, siapa pun, kelompok ideologis apa pun yang sedang berkuasa di Tanah Air, akan dibuat sangat kewalahan menghadapi problem-problem pragmatis instan yang susul-menyusul dan semua itu membutuhkan penyelesaian selekasnya pada tataran operasional alih-alih konseptual.
Terjadinya anomali-anomali dalam proses hukum, setidaknya di mata publik yang menggunakan logika sederhana berbasis rasa keadilan dan dalil hukum elementer, masih terus berlangsung dan hal ini menyedot energi tersendiri bagi penyelenggara kekuasaan eksekutif.
Untuk menyebut satu kasus yang lagi viral, anomali itu terjadi pada kasus Baiq Nuril, seorang guru honorer yang perkaranya menang di tingkat pengadilan negeri, namun terkalahkan di tingkat kasasi, namun simpati meluas dari publik berhasil membuat pengadilan menahan diri untuk mengeksekusi keputusan Mahkamah Agung.
Identitas keindonesiaan agaknya sedang terumuskan dengan sendirinya lewat aksi-aksi patriotik, peraihan prestasi-prestasi berkelas internasional di beragam ranah profesionalitas, untuk aspek positifnya, yang kadang juga diwarnai oleh realitas suram berupa pergolakan sektarian secara sporadis di sejumlah wilayah.
Yang diperlukan tentu bukan menafikkan aspek negatif itu tapi memperkuat kesanggupan berbagai anasir sosial politik yang ada untuk menyelesaikannya dalam persepktif keadaban nilai-nilai yang dihayati dan diejawantahkan selama ini.
Tantangannya, sebagaimana proyeksi para pemikir masa depan, tentu semakin besar. Semakin terbatasnya sumber daya alam, semakin kuatnya tekanan ekonomi global, dan kian mengeraskan pengaruh ideologi sektarian, serta kian rapuhnya kesintasan lingkungan hidup akan memengaruhi bentuk identitas keindonesiaan itu.
Dalam kondisi demikian, sekalipun kesanggupan untuk menemukan jawaban atas persoalan itu tak secara otomatis tersaji, sedikitnya para pemimpin perlu menggaungkan optimisme atau pengharapan dalam menapaki masa depan.
Baca juga: Pembedaan Karya Akan Mengerdilkan Kesusastraan Indonesia
Baca juga: Budayawan: perilaku Senator DPD lebih baik
Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018
Tags: