UEA dukung produksi vaksin halal Indonesia
22 November 2018 20:06 WIB
Pekerja melakukan pengemasan saat memproduksi vaksin di laboratorium milik PT Bio Farma (Persero), Bandung, Jawa Barat, Selasa (28/8/2018). Bio Farma sebagai produsen dan penyedia vaksin di Indonesia menargetkan vaksin pencegah penyakit Measless dan Rubella (MR) dapat diproduksi pada tahun 2024 mendatang. (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Sekretaris untuk Kebijakan Kesehatan Masyarakat dan Perizinan pada Kementerian Kesehatan Uni Emirat Arab (UEA), Amin Hussain Alameeri mendukung gagasan Indonesia untuk memproduksi vaksin dan obat-obatan halal yang sesuai dengan Syariat Islam.
"Produksi vaksin halal sangat bagus dan kami sangat senang bahwa kita semua berada pada jalur yang tepat untuk memenuhi kebutuhan vaksin tersebut," kata Amin Hussain kepada Antara usai penutupan Pertemuan Pertama Kepala Otoritas Regulatori Obat dari Negara Anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), di Jakarta, Kamis.
Vaksin halal merupakan salah satu topik yang dibahas dalam pertemuan para delegasi oKI tersebut, selain upaya menuju kemandirian produksi obat dan vaksin serta pengendalian obat palsu.
Menanggapi polemik tentang status kehalalan vaksin di beberapa negara Muslim, Amin Hussain berpendapat bahwa produk obat-obatan, termasuk vaksin, harus dibuat dengan bahan-bahan yang halal.
Namun, jika suatu produk obat membutuhkan bahan tertentu yang dianggap tidak halal, sedangkan belum ada bahan pengganti yang halal, maka faktor kesehatan dan keselamatan pasien harus lebih diutamakan, jelas dia.
Menurut dia, pemerintah berperan besar dalam menjaga kesehatan masyarakat. "Di negara saya, UEA, pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan melaksanakan program vaksinasi nasional. Ini adalah program yang logis untuk melindungi masyarakat, sehingga masyarakat patuh untuk melakukan vaksinasi," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Rahman Roestan mengatakan vaksinasi di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, salah satunya adalah perbedaan pandangan tentang status kehalalan produk vaksin.
Menurut dia, ada pihak yang berpendapat bahwa vaksin tidak halal karena dibuat dari bahan yang diharamkan dalam Islam.
"Untuk menengahi masalah ini, harus ada koordinasi antara para ilmuan dan ahli fikih yang paham tentang hukum-hukum Islam. Para ilmuan akan membuktikan secara ilmiah bahan-bahan yang digunakan untuk membuat vaksin dan manfaat kesehatannya bagi manusia, sedangkan ahli fikih akan memutuskan halal tidaknya produk tersebut dari sisi agama," jelas Rahman.
Dia berharap kerja sama antara kedua pihak tersebut dapat menghasilkan titik temu tentang permasalahan status halal vaksin.
Pada Agustus 2018, pemerintah melaksanakan imunisasi vaksin measles-rubella (MR) secara serentak di 28 provinsi luar Pulau Jawa. Namun program ini mendapatkan persoalan di sejumlah daerah karena belum ada kejelasan status kehalalannya.
Program imunisasi MR di Indonesia sejak tahun lalu menggunakan produk dari perusahaan vaksin asal India, Serum Institute of India (SII). PT Bio Farma, bertindak sebagai importir yang mendistribusikannya di Indonesia untuk keperluan program imunisasi MR nasional.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung pelaksanaan program imunisasi MR itu apabila tidak ada unsur haram atau najis pada produk vaksin yang digunakan. Namun apabila ada unsur yang tidak halal pada vaksin, penggunaannya tetap diperbolehkan berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi.
Dalam fatwa tersebut dijelaskan imunisasi dengan vaksin non halal diperbolehkan dengan catatan tidak ada alternatif lain, tidak ada vaksin sejenis yang halal atau suci.
Selain itu, ada bahaya yang sangat mendesak dan bisa menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa jika tidak menggunakan vaksin tersebut, dan ada penjelasan dari pihak yang memiliki kompetensi terkait dengan bahaya itu.*
Baca juga: Negara OKI hadapi tantangan sediakan obat-vaksin halal
Baca juga: Ilmuwan minta orang tua pahami pentingnya vaksin
"Produksi vaksin halal sangat bagus dan kami sangat senang bahwa kita semua berada pada jalur yang tepat untuk memenuhi kebutuhan vaksin tersebut," kata Amin Hussain kepada Antara usai penutupan Pertemuan Pertama Kepala Otoritas Regulatori Obat dari Negara Anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), di Jakarta, Kamis.
Vaksin halal merupakan salah satu topik yang dibahas dalam pertemuan para delegasi oKI tersebut, selain upaya menuju kemandirian produksi obat dan vaksin serta pengendalian obat palsu.
Menanggapi polemik tentang status kehalalan vaksin di beberapa negara Muslim, Amin Hussain berpendapat bahwa produk obat-obatan, termasuk vaksin, harus dibuat dengan bahan-bahan yang halal.
Namun, jika suatu produk obat membutuhkan bahan tertentu yang dianggap tidak halal, sedangkan belum ada bahan pengganti yang halal, maka faktor kesehatan dan keselamatan pasien harus lebih diutamakan, jelas dia.
Menurut dia, pemerintah berperan besar dalam menjaga kesehatan masyarakat. "Di negara saya, UEA, pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan melaksanakan program vaksinasi nasional. Ini adalah program yang logis untuk melindungi masyarakat, sehingga masyarakat patuh untuk melakukan vaksinasi," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Rahman Roestan mengatakan vaksinasi di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, salah satunya adalah perbedaan pandangan tentang status kehalalan produk vaksin.
Menurut dia, ada pihak yang berpendapat bahwa vaksin tidak halal karena dibuat dari bahan yang diharamkan dalam Islam.
"Untuk menengahi masalah ini, harus ada koordinasi antara para ilmuan dan ahli fikih yang paham tentang hukum-hukum Islam. Para ilmuan akan membuktikan secara ilmiah bahan-bahan yang digunakan untuk membuat vaksin dan manfaat kesehatannya bagi manusia, sedangkan ahli fikih akan memutuskan halal tidaknya produk tersebut dari sisi agama," jelas Rahman.
Dia berharap kerja sama antara kedua pihak tersebut dapat menghasilkan titik temu tentang permasalahan status halal vaksin.
Pada Agustus 2018, pemerintah melaksanakan imunisasi vaksin measles-rubella (MR) secara serentak di 28 provinsi luar Pulau Jawa. Namun program ini mendapatkan persoalan di sejumlah daerah karena belum ada kejelasan status kehalalannya.
Program imunisasi MR di Indonesia sejak tahun lalu menggunakan produk dari perusahaan vaksin asal India, Serum Institute of India (SII). PT Bio Farma, bertindak sebagai importir yang mendistribusikannya di Indonesia untuk keperluan program imunisasi MR nasional.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung pelaksanaan program imunisasi MR itu apabila tidak ada unsur haram atau najis pada produk vaksin yang digunakan. Namun apabila ada unsur yang tidak halal pada vaksin, penggunaannya tetap diperbolehkan berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi.
Dalam fatwa tersebut dijelaskan imunisasi dengan vaksin non halal diperbolehkan dengan catatan tidak ada alternatif lain, tidak ada vaksin sejenis yang halal atau suci.
Selain itu, ada bahaya yang sangat mendesak dan bisa menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa jika tidak menggunakan vaksin tersebut, dan ada penjelasan dari pihak yang memiliki kompetensi terkait dengan bahaya itu.*
Baca juga: Negara OKI hadapi tantangan sediakan obat-vaksin halal
Baca juga: Ilmuwan minta orang tua pahami pentingnya vaksin
Pewarta: Libertina W. Ambari
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018
Tags: