Jakarta (ANTARA News) - Industri perbankan disarankan untuk lebih aktif menggenjot pendapatan berbasis komisi (fee based income) dalam meningkatkan laba perusahaan karena belum mencapai ideal jika sebuah negara berkembang seperti Indonesia selalu bergantung pada dominannya pendapatan bunga, kata ekonom.

"Idealnya, porsi fee based income terhadap total pendapatan bank itu di rentang 30-50 persen untuk ukuran emerging economy seperti Indonesia," kata Kepala Ekonom dan Sekretaris Perusahaan BNI Kiryanto dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (21/11/2018).

Saat ini, lanjut Kiryanto, porsi pendapatan komisi ke total pendapatan bank baru sekitar 25-30 persen. Dengan kata lain, sebanyak 70-75 persennya masih mengandalkan pendapatan dari bunga bersih. Hal itu juga tidak lepas dari korporasi di Indonesia yang masih mengandalkan pendanaan bersumber kredit bank.

"Sumber pendanaan dari dunia usaha itu 81 persen dari bank., sisanya dari pasar modal, asuransi, pembiayaan," ujarnya.

Ke depan, pertumbuhan pasar modal sebagai alternatif sumber pendanaan korporasi akan terus menggeliat. Namun, menurut Kiryanto, perkembangan instrumen di pasar modal itu tidak akan membunuh pertumbuhan kredit bank.

"Banknya takut tidak? Tidak. Justru kalau debitur dapat pinjaman dari pasar modal, berarti dunia usaha bergerak, perusahaan Anda akan bergerak," ujar dia.

Pertumbuhan dunia usaha itu akan mengundang bank untuk memanfaatkan potensi keuntungan dari sumber bisnis lain di dunia usaha selain kredit korporasi, salah satunya pendapatan komisi dari sektor konsumer.

Untuk BNI, kata Kiryanto, peningkatan pendapatan komisi juga untuk mensiasati tertahannya kenaikan suku bunga kredit, mengingat permintaan kredit belum sepenuhnya pulih.

"jika kita mengacu kepada negara yang sudah maju, sumber pendpatannya bukan lagi hanya mengandalkan bunga, tapi juga komisi. Ke depan, kita juga ingin perbanyak yang komisi," ujar dia.

Misalnya untuk suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR), BNI dalam waktu dekat tidak akan menaikkan suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) meskipun suku bunga acuan Bank Indonesia telah naik agresif dalam kurun enam bulan hingga 175 basis poin.

Pasalnya, perseroan belum melihat kenaikan permintaan riil untuk KPR, sehingga memilih untuk tidak agresif mengeruk keuntungan dari pendapatan bunga dan memilih lebih hati-hati.

"Sekarang ini permintaan riil properti masih rendah, apalagi kalo kita naikkan (suku bunga), mana ada yang mau," kata Kiryanto.

Baca juga: Perbankan 2019 hadapi tantangan likuiditas yang semakin ketat