Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan kontribusi investasi dan konsumsi rumah tangga akan mencegah perlambatan ekonomi pada 2019.

"Dalam kondisi defisit perdagangan yang masih akan sulit dijinakkan, konsumsi rumah tangga dan investasi mau tidak mau menjadi krusial untuk dapat mencegah perlambatan ekonomi tahun depan," ujarnya dalam acara diskusi CORE Economic Outlook 2019 di Jakarta, Rabu.

Secara kumulatif, sampai dengan triwulan ketiga 2018, penanaman modal tetap bruto (PMTB) atau investasi memang masih tumbuh 6,91 persen dan lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 5,75 persen.

Sayangnya, lanjut Faisal, investasi yang dalam beberapa tahun terakhir tumbuh paling tinggi mulai menunjukkan gejala perlambatan khususnya penanaman modal asing (PMA). Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan pertumbuhan PMA pada triwulan kedua dan ketiga tahun ini sudah mengalami kontraksi masing-masing sebesar 13 persen dan 20 persen.

Selain faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, momentum tahun politik di dalam negeri juga cenderung membuat para pelaku usaha melakukan "wait and see mode". Sebagaimana terjadi pada 2009 dan 2014, pertumbuhan investasi umumnya mengalami perlambatan pada tahun-tahun pemilu. Beberapa permasalahan teknis terkait dengan pengurusan perizinan seperti penerapan sistem "online single submission" (OSS) yang belum terselesaikan, juga berpotensi menahan laju investasi tahun depan.

"Walaupun tumbuh lebih lambat, kami meyakini penanaman modal tetap bruto di tahun 2019 masih berpotensi tumbuh di kisaran 5-6 persen," ujar Faisal.

Ia menuturkan, investasi di sektor jasa diprediksi menjadi penopang pertumbuhan investasi di tahun depan, di antaranya investasi yang terkait dengan proyek-proyek infrastruktur. Anggaran belanja infrastruktur yang terkait ekonomi dalam APBN 2019 mencapai Rp420,5 triliun, lebih besar dibandingkan anggaran tahun ini yang mencapai Rp410 triliun.

Investasi oleh BUMN diperkirakan tidak akan terlalu ekspansif mengingat BUMN-BUMN karya yang banyak menjalankan Proyek Strategis Nasional menghadapi kendala dari sisi keuangan. Rata-rata rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity) perusahaan-perusahaan tersebut sudah cukup tinggi sehingga sulit untuk melakukan pembiayaan melalui utang.

"Namun demikian, potensi investasi swasta di sektor ini masih cukup prospektif. Sebagai contoh, komitmen investasi sebesar 13,6 miliar dolar untuk 21 proyek infrastruktur yang ditandatangani dalam pertemuan IMF di Bali pada Oktober tahun ini," ujar Faisal.

Sementara itu, konsumsi rumah tangga sendiri sudah mulai menguat sejak triwulan kedua tahun ini dan diperkirakan relatif stabil hingga tahun depan walaupun ada tekanan pelemahan Rupiah.

"Indikasi menguatnya konsumsi rumah tangga terlihat dari sejumlah indikator diantaranya penjualan riil, penjualan kendaraan bermotor, dan peningkatan proporsi pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi," kata Faisal.

Indeks penjualan riil yang mengalami penurunan tajam sejak semester kedua 2016 telah menunjukkan pemulihan sejak triwulan kedua 2018, walaupun kemudian ada sedikit pelemahan pada triwulan ketiga, secara tahunan (year on year) tetap lebih tinggi dibandingkan triwulan yang sama pada 2017.

Penjualan kendaraan bermotor sepanjang Januari hingga September 2018 tumbuh 6,55 persen (mobil) dan 8,8 persen (sepeda motor), jauh lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya tumbuh 2,68 persen untuk mobil, bahkan kontraksi 0,26 persen untuk sepeda motor.

Sejalan dengan itu, proporsi pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi yang sempat turun hingga 63 persen pada Januari 2017, sejak triwulan kedua 2018 meningkat hingga mencapai 67,7 persen pada Oktober 2018. Sebaliknya proporsi pengeluaran untuk tabungan menurun daarai 22,4 persen pada Maret 2018 menjadi 19,6 persen pada Oktober 2018. Outlook 2019 di Jakarta, Rabu.

Secara kumulatif, sampai dengan triwulan ketiga 2018, penanaman modal tetap bruto (PMTB) atau investasi memang masih tumbuh 6,91 persen dan lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 5,75 persen.

Sayangnya, lanjut Faisal, investasi yang dalam beberapa tahun terakhir tumbuh paling tinggi mulai menunjukkan gejala perlambatan khususnya penanaman modal asing (PMA). Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan pertumbuhan PMA pada triwulan kedua dan ketiga tahun ini sudah mengalami kontraksi masing-masing sebesar 13 persen dan 20 persen.

Selain faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, momentum tahun politik di dalam negeri juga cenderung membuat para pelaku usaha melakukan "wait and see mode". Sebagaimana terjadi pada 2009 dan 2014, pertumbuhan investasi umumnya mengalami perlambatan pada tahun-tahun pemilu. Beberapa permasalahan teknis terkait dengan pengurusan perizinan seperti penerapan sistem "online single submission" (OSS) yang belum terselesaikan, juga berpotensi menahan laju investasi tahun depan.

"Walaupun tumbuh lebih lambat, kami meyakini penanaman modal tetap bruto di tahun 2019 masih berpotensi tumbuh di kisaran 5-6 persen," ujar Faisal.

Ia menuturkan, investasi di sektor jasa diprediksi menjadi penopang pertumbuhan investasi di tahun depan, di antaranya investasi yang terkait dengan proyek-proyek infrastruktur. Anggaran belanja infrastruktur yang terkait ekonomi dalam APBN 2019 mencapai Rp420,5 triliun, lebih besar dibandingkan anggaran tahun ini yang mencapai Rp410 triliun.

Investasi oleh BUMN diperkirakan tidak akan terlalu ekspansif mengingat BUMN-BUMN karya yang banyak menjalankan Proyek Strategis Nasional menghadapi kendala dari sisi keuangan. Rata-rata rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity) perusahaan-perusahaan tersebut sudah cukup tinggi sehingga sulit untuk melakukan pembiayaan melalui utang.

"Namun demikian, potensi investasi swasta di sektor ini masih cukup prospektif. Sebagai contoh, komitmen investasi sebesar 13,6 miliar dolar untuk 21 proyek infrastruktur yang ditandatangani dalam pertemuan IMF di Bali pada Oktober tahun ini," ujar Faisal.

Sementara itu, konsumsi rumah tangga sendiri sudah mulai menguat sejak triwulan kedua tahun ini dan diperkirakan relatif stabil hingga tahun depan walaupun ada tekanan pelemahan Rupiah.

"Indikasi menguatnya konsumsi rumah tangga terlihat dari sejumlah indikator diantaranya penjualan riil, penjualan kendaraan bermotor, dan peningkatan proporsi pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi," kata Faisal.

Indeks penjualan riil yang mengalami penurunan tajam sejak semester kedua 2016 telah menunjukkan pemulihan sejak triwulan kedua 2018, walaupun kemudian ada sedikit pelemahan pada triwulan ketiga, secara tahunan (year on year) tetap lebih tinggi dibandingkan triwulan yang sama pada 2017.

Penjualan kendaraan bermotor sepanjang Januari hingga September 2018 tumbuh 6,55 persen (mobil) dan 8,8 persen (sepeda motor), jauh lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya tumbuh 2,68 persen untuk mobil, bahkan kontraksi 0,26 persen untuk sepeda motor.

Sejalan dengan itu, proporsi pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi yang sempat turun hingga 63 persen pada Januari 2017, sejak triwulan kedua 2018 meningkat hingga mencapai 67,7 persen pada Oktober 2018. Sebaliknya proporsi pengeluaran untuk tabungan menurun dari 22,4 persen pada Maret 2018 menjadi 19,6 persen pada Oktober 2018.

Baca juga: Presiden Jokowi minta terus dilakukan perbaikan bidang investasi