Industri-Pemerintah harus kerja sama hadapi Revolusi Industri 4.0
21 November 2018 20:07 WIB
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menjadi pembicara pada acara yang bertema Meningkatkan Daya Saing Indonesia dengan Revolusi Industri 4.0 di Jakarta. (ANTARA News/ Biro Humas Kementerian Perindustrian)
Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah dan dunia industri di Indonesia harus bekerja sama dalam mengantisipasi Revolusi Industri 4.0 yang memberi banyak tantangan pada transformasi ketenagakerjaan, kata Sekretaris Jenderal Kemnaker, Khairul Anwar.
Anwar mengatakan tantangan transformasi ketenagakerjaan mencakup pada tantangan transformasi keterampilan, tantangan transformasi pekerjaan dan tantangan transformasi masyarakat.
“Akses peningkatan kompetensi yang massif serta kehadiran negara melalui jaminan sosial yang mampu melindungi pekerjaan dan pendapatan warga negaranya menjadi sangat krusial dalam menghadapi revolusi industri 4.0 saat ini,” katanya saat membuka Kongres Nasional Indonesia Kompeten, di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, pekerjaan yang berubah menuntut keterampilan yang berubah juga, selain itu, bekerja tidak lagi terbatas oleh ruang dan waktu dan membuat orang bisa memiliki lebih dari satu mata pencaharian atau yang dia sebut sebagai Part Time Job 4.0.
"Misalnya, seorang karyawan kantor bisa bekerja di kantornya pada siang harinya dan menjajakan properti di malam harinya melalui situs daring," kata Khairul.
Teknologi juga menyebabkan batasan ruang lingkup kerja semakin samar dan pekerja-pekerja kontrak bebas tumbuh pesat.
Baca juga: Ini jurus Jasindo sambut revolusi industri 4.0
Selain itu, dengan tuntutan pekerjaan yang semakin tinggi dan semakin banyaknya pekerjaan-pekerjaan repetitif yang bisa digantikan mesin atau robot, pekerjaan yang tersisa kedepannya hanyalah pekerjaan dengan keterampilan sangat tinggi atau rendah saja.
"Tantangan ketiga adalah tantangan transformasi masyarakat. Dampaknya terhadap masyarakat, ketimpangan kompetensi dan pendapatan antara individu yang memiliki akses komputer dan internet akan semakin terasa di era Revolusi Industri 4.0 ini," kata dia.
Untuk menjawab ketiga tantangan ini salah satu solusinya adalah kebijakan pasar tenaga kerja inklusif (inclusive labor market policy).
Menurut dia, pendidikan dan pelatihan perlu dilakukan untuk meningkatkan tingkat kompetensi serta mewujudkan redistribusi pendapatan dan aset.
“Kalau begitu, berarti lebih banyak jaminan sosial untuk individu yang lemah dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi faktor penting,” kata Khairul.
Kementerian Ketenagakerjaan juga telah menggelar program-program pelatihan dan sertifikasi APBN di Balai Latihan Kerja (BLK) dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).
Pada 2018, Kemnaker memiliki target untuk melatih sebanyak 159.064 orang dan menyertifikasi sebanyak 260.024 orang tenaga kerja.
Di 2019, APBN akan melatih sebanyak 526.344 orang, termasuk di dalamnya program pemagangan dan menyertifikasi sebanyak 526.189 orang tenaga kerja.
“Ini bukti nyata bahwa pemerintah serius untuk menangani masalah kompetensi tenaga kerja nasional. Diharapkan jumlah ini terus meningkat hingga kita dapat melatih hingga 1,4 juta orang tenaga kerja yang berkualitas per tahun melalui triple skills, yaitu skilling, re-skilling, dan up-skilling. Hal ini penting untuk mengejar ketertinggalan tantangan bonus demografi kita,” kata Khairul.
Selain itu Kemnaker juga berkomitmen untuk mendorong program GNIK (Gerakan Nasional Indonesia Kompeten) yang distimulasi oleh gerakan sertifikasi 4.000 praktisi HR dan meluluskan 400.000 peserta pemagangan bersertifikat di seluruh Indonesia.
“Gerakan ini hanya permulaan, karena tantangan SDM kita ke depan jauh lebih besar dari sekedar pelatihan PBK, Program Pemagangan dan sertifikasi,” kata dia.
Baca juga: Pekerja terampil dibutuhkan hadapi Revolusi Industri 4.0
Baca juga: Tiga prioritas Indonesia untuk masuki Revolusi Industri 4.0
Anwar mengatakan tantangan transformasi ketenagakerjaan mencakup pada tantangan transformasi keterampilan, tantangan transformasi pekerjaan dan tantangan transformasi masyarakat.
“Akses peningkatan kompetensi yang massif serta kehadiran negara melalui jaminan sosial yang mampu melindungi pekerjaan dan pendapatan warga negaranya menjadi sangat krusial dalam menghadapi revolusi industri 4.0 saat ini,” katanya saat membuka Kongres Nasional Indonesia Kompeten, di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, pekerjaan yang berubah menuntut keterampilan yang berubah juga, selain itu, bekerja tidak lagi terbatas oleh ruang dan waktu dan membuat orang bisa memiliki lebih dari satu mata pencaharian atau yang dia sebut sebagai Part Time Job 4.0.
"Misalnya, seorang karyawan kantor bisa bekerja di kantornya pada siang harinya dan menjajakan properti di malam harinya melalui situs daring," kata Khairul.
Teknologi juga menyebabkan batasan ruang lingkup kerja semakin samar dan pekerja-pekerja kontrak bebas tumbuh pesat.
Baca juga: Ini jurus Jasindo sambut revolusi industri 4.0
Selain itu, dengan tuntutan pekerjaan yang semakin tinggi dan semakin banyaknya pekerjaan-pekerjaan repetitif yang bisa digantikan mesin atau robot, pekerjaan yang tersisa kedepannya hanyalah pekerjaan dengan keterampilan sangat tinggi atau rendah saja.
"Tantangan ketiga adalah tantangan transformasi masyarakat. Dampaknya terhadap masyarakat, ketimpangan kompetensi dan pendapatan antara individu yang memiliki akses komputer dan internet akan semakin terasa di era Revolusi Industri 4.0 ini," kata dia.
Untuk menjawab ketiga tantangan ini salah satu solusinya adalah kebijakan pasar tenaga kerja inklusif (inclusive labor market policy).
Menurut dia, pendidikan dan pelatihan perlu dilakukan untuk meningkatkan tingkat kompetensi serta mewujudkan redistribusi pendapatan dan aset.
“Kalau begitu, berarti lebih banyak jaminan sosial untuk individu yang lemah dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi faktor penting,” kata Khairul.
Kementerian Ketenagakerjaan juga telah menggelar program-program pelatihan dan sertifikasi APBN di Balai Latihan Kerja (BLK) dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).
Pada 2018, Kemnaker memiliki target untuk melatih sebanyak 159.064 orang dan menyertifikasi sebanyak 260.024 orang tenaga kerja.
Di 2019, APBN akan melatih sebanyak 526.344 orang, termasuk di dalamnya program pemagangan dan menyertifikasi sebanyak 526.189 orang tenaga kerja.
“Ini bukti nyata bahwa pemerintah serius untuk menangani masalah kompetensi tenaga kerja nasional. Diharapkan jumlah ini terus meningkat hingga kita dapat melatih hingga 1,4 juta orang tenaga kerja yang berkualitas per tahun melalui triple skills, yaitu skilling, re-skilling, dan up-skilling. Hal ini penting untuk mengejar ketertinggalan tantangan bonus demografi kita,” kata Khairul.
Selain itu Kemnaker juga berkomitmen untuk mendorong program GNIK (Gerakan Nasional Indonesia Kompeten) yang distimulasi oleh gerakan sertifikasi 4.000 praktisi HR dan meluluskan 400.000 peserta pemagangan bersertifikat di seluruh Indonesia.
“Gerakan ini hanya permulaan, karena tantangan SDM kita ke depan jauh lebih besar dari sekedar pelatihan PBK, Program Pemagangan dan sertifikasi,” kata dia.
Baca juga: Pekerja terampil dibutuhkan hadapi Revolusi Industri 4.0
Baca juga: Tiga prioritas Indonesia untuk masuki Revolusi Industri 4.0
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2018
Tags: