Dampaknya dari harga teknologi yang semakin terjangkau adalah akan lebih banyak orang yang membeli dan memproduksi sendiri listriknya, ketimbang membeli dari perusahaan penyedia listrik seperti PT PLN di Indonesia.
Disruptif teknologi dan revolusi industri 4.0 benar-benar mengambil peran di sana.
Seperti yang disampaikan Direktur Pusat Pengkajian Industri Manufaktur Telematika dan Elektronika (PPIMTE) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Andhika Prastawa, jika kebijakan di Tanah Air mendukung, mungkin dalam hitungan sewindu jangan terlalu heran jika melihat orang membuka aplikasi di telepon pintar mereka bukan lagi karena ingin dijemput ojeg online, tapi mereka membuka gadget untuk mencari rumah-rumah penduduk yang sedang kelebihan daya listrik di baterai penyimpanannya dan berniat menjualnya.
Aplikasi pada telepon pintar akan memudahkan orang menemukan rumah-rumah yang hendak menjual listriknya sehingga memudahkan setiap orang melakukan fast charging kendaraan listrik mereka.
Pernah terbayang jika Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan Perusahaan Listrik Negara beriklan mencari pelanggan karena masyarakat beralih membeli langsung listrik ke rumah tangga
Teknologi fast charging berkembang pesat dan akan semakin dibutuhkan di masa depan untuk pengisian baterai.
Untuk skala laboratorium sudah bisa membuat baterai yang dalam waktu 10 sampai 15 menit bisa mengisi 50 persen, kata peneliti lithium ion dan kapasitor dari Pusat Penelitian Fisika LIPI Achmad Subhan.
Achmad menambahkan penggunaan karbon aktif yang optimum seperti tempurung kelapa sebagai komponen elektroda baterai lithium, dapat meningkatkan nilai kapasitas dan kemampuan daya baterai yang lebih tinggi.
"Dengan biaya yang lebih rendah dapat menghasilkan produk elektroda yang lebih tinggi performanya," ujar dia.
Sementara mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore dalam pertemuan Cities4Climate: The Future Is Us yang digelar organisasi C40 Cities di San Francisco pertengahan September 2018 mengatakan biaya produksi EBT semakin murah mendekati zero marginal cost.
Kualitas baterai penyimpanan semakin baik, membuat mobil-mobil listrik semakin presisi dan efisien. "Kita ada di tahap awal revolusi keberlanjutan," ujar Al Gore.
Dengan kuasa alat-alat digital, internet hingga artificial intelligence semua memungkinkan terjadi. Salah satu contoh bagaimana Google berhasil mengkonservasi kebun energi di dunia, membuat perusahaan mampu memangkas penggunaan energi dari panel suryanya hingga 56 persen dengan perangkat keras baru.
Peluang energi bersih
Dunia bergerak ke sana, menghasilkan dan mengkonsumsi energi bersih semakin menjadi tren dan kebetulan bumi memang sangat membutuhkannya. Dengan adanya disruptif teknologi ide-ide gila bermunculan untuk menggantikan energi kotor dari fosil atau dari sumber-sumber nabati yang tidak berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Jika Cina menutup perairannya untuk membentangkan solar PV seluas-luasnya, maka India, menurut Andhika, membuat kapling-kapling di atas lahan kritisnya untuk ditawarkan pada siapa saja yang hendak berinvestasi berbisnis listrik dari tenaga surya.
Dengan demikian, semakin banyak yang terlibat dan beban pendanaan pemerintah untuk menciptakan energi bersih berkurang. Dan di sisi lain, bisnis baru tercipta, ekonomi tetap berjalan.
Sedangkan Al Gore mengatakan tidak perlu ada keraguan untuk beralih ke energi bersih guna mengendalikan emisi gas rumah kaca (GRK).
Jika ditanya pekerjaan apa di Amerika Serikat yang tumbuh pesat saat ini, maka pemasang panel tenaga surya berkembang sembilan kali lebih cepat dibandingkan lainnya. Pekerjaan kedua tercepat yang berkembang pesat di Amerika Serikat adalah teknisi turbin angin.
"Bahkan museum batubara di Kentucky juga memasang panel surya," ujar dia.
Jadi jelas kebijakan iklim, kata Al Gore, akan berkontribusi menjadikan kota-kota di dunia menjadi lebih sehat dan sejahtera. Dan riset terkini yang dilakukan C40 Cities bahwa kebijakan iklim urban mampu menciptakan 14 juta pekerjaan dibanding sektor minyak dan gas yang mencapai 1,3 juta pada 2030.
Komitmen kota-kota dunia semakin kuat dalam menekan emisi GRK. Masyarakat dari kota-kota yang tergabung dalam C40 Cities seperti Paris, Tokyo, Los Angles mendeklarasikan jalanan yang sehat, dan hanya bus-bus dengan nol emisi yang nantinya boleh lewat di sana di 2025, sedangkan beberapa kota lainnya di 2030.
Al Gore kembali meyakinkan bahwa sangat mungkin menurunkan emisi dari penggunaan energi karena biaya produksi EBT menjadi semakin murah dari bahan bakar fosil.
Hal senada disampaikan Duta Besar Inggris untuk Indonesia, ASEAN dan Timor Leste Moazzam Malik. Inggris yang melakukan transisi energi fosil ke energi bersih enam tahun terakhir semakin merasakan biaya semakin turun.
Dalam dua tahun terakhir harga pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) off shore turun hingga 50 persen. Selain itu, menurut dia, harga baterai mobil listrik juga turun hingga 70 persen.
"Energi bersih bukan lagi barang mewah. Dan 400.000 pekerjaan tercipta pada waktu waktu bersamaan, ini semua karena ingin mengejar taget Paris Agreement," ujar dia.
Transisi ke energi bersih, lanjutnya, bukan sekedar persoalan teknologi, tapi juga bergantung pada kebijakan dan pendanaan hijau. Selain itu, insentif diberikan bagi proyek-proyek energi bersih skala kecil dan kontrak bagi yang berskala besar.
"Kita garansi, keduanya akan membuat proyek yang lebih murah. Rasanya insentif Rp10 miliar tidak besar buat Indonesia, namun bisa membawa perubahan," lanjutnya.
Moazzam meyakinkan bahwa Indonesia mampu menjadi market maker dalam kaitannya dengan pengembangan EBT ini, sama seperti India dan Cina. Kedutaan Besar Inggris akan siap mendukung Indonesia untuk melakukan perubahan itu.*
Baca juga: Energi bersih, kenapa tidak?
Baca juga: Berganti ke energi bersih munculkan lapangan kerja