Artikel
Raih manfaat, bukan terjebak versi globalisasi sesat
18 November 2018 17:02 WIB
Presiden Joko Widodo (kanan kedua) menghadiri KTT Ke-20 ASEAN-Korea Selatan di Singapura, Rabu (14/11). (ASEAN2018)
Jakarta (ANTARA News) - Penulis dan filsuf Amerika Serikat, Deepak Chopra, pernah menyatakan bahwa globalisme dimulai dengan visi sebuah dunia dengan perdagangan bebas, kesejahteraan merata, dan lintas perbatasan yang terbuka.
Kesemua hal itu, menurut Chopra yang berasal dari India itu, merupakan beragam tujuan yang mulia untuk dapat dicapai dan diwujudkan.
Namun pada saat ini, berbagai pihak banyak yang menyatakan ketidaksetujuan dengan pola perdagangan bebas yang kerap dibahas oleh berbagai pemerintahan antarnegara.
Hal tersebut karena perdagangan global dinilai kerap hanya menguntungkan sejumlah atau segelintir pihak, terutama mereka yang memiliki modal besar, sedangkan rakyat kebanyakan kerap terlupakan.
Seperti di Indonesia, Pengamat sektor kelautan dan perikanan Abdul Halim menyatakan bahwa berbagai perjanjian perdagangan pasar bebas di tingkat global saat ini berpotensi negatif terhadap perikanan nasional bila tidak ada pembenahan domestik.
Pasalnya, menurut Abdul Halim, saat ini kondisi perikanan masih cenderung amburadul dan menyulitkan nelayan tradisional berkompetisi di tingkat global,
Abdul Halim yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan itu juga berpendapat bahwa saat ini masih minim proteksi dari hulu ke hilir sektor tersebut.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti, mengingatkan pemerintah agar tidak terlalu ambisius menyelesaikan agenda perjanjian perdagangan bebas dengan berbagai pihak di tingkat internasional.
Sepanjang 2018, lanjutnya, pemerintah berkeinginan menyelesaikan banyak perjanjian perdagangan seperti Indonesia-Australia CEPA, Indonesia-Europe FTA (IEFTA), dan Regional Comprehensive Partnership Agreement (RCEP).
Jangan tunduk
Indonesia jangan sampai tunduk terhadap tekanan dan tuntutan perdagangan yang dikeluarkan oleh sejumlah negara maju tetapi harus bisa menghasilkan perjanjian perdagangan yang menguntungkan secara nasional.
Rachmi mencontohkan, hambatan di dalam proses perjanjian dagang kemitraan komprehensif regional/RCEP terjadi terkait dengan isu permintaan Australia, Jepang dan Korsel yang meminta adanya klausul mengenai review mechanism atau mekanisme pengkajian.
Klausul mekanisme pengkajian yang diminta adalah dalam rangka mendorong adanya upaya untuk memasukkan BUMN sebagai salah satu target pengkajian.
Hal tersebut, dinilai akan mendorong adanya penghilangan pembatasan terhadap perusahaan plat merah tersebut dan perlakuan nondiskriminasi yang diincar.
Dalam hal ini, ASEAN, India, dan China memiliki posisi tetap untuk menolak proposal dari Jepang dan kawan-kawan. Bahkan, posisi ini menjadi harga mati yang tidak dapat ditawar.
Ia mendesak kepada negosiator dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Republik Indonesia, agar dapat tetap tegas dalam mempertahankan posisi tersebut.
Sedangkan terhadap beragam konferensi internasional seperti KTT ASEAN yang telah berlangsung di Singapura, beberapa waktu lalu, seharusnya ke depannya perlu untuk dapat mempersatukan visi perdagangan dan investasi menghadapi tekanan perdagangan global.
Rachmi mengingatkan bahwa yang alot selama ini dalam perundingan perdagangan adalah mekanisme sengketa investasi atau yang dikenal dengan mekanisme ISDS (Investor to State Dispute Settlement). Dalam hal tersebut, memang posisi ASEAN sendiri terbelah posisinya.
Menurut dia, Indonesia, Filipina, Vietnam memiliki posisi yang cukup kuat untuk mendesak agar isu ISDS tidak diterapkan, sehingga tidak ada aturan yg melarang sebuah negara mengubah UU-nya setelah perjanjian ditandatangani.
Namun, lanjutnya, posisi tersebut sangat kuat ditentang oleh Jepang dan Korea, bahkan di ASEAN sendiri, Singapura dinilai memiliki posisi yang sangat berbeda dengan kepentingan negara-negara di kawasan ASEAN lainnya.
Sedangkan terkait kesamaan untuk menyamakan standar produk dan jasa, ia menyatakan bahwa permasalahan itu memang kompleks dan tidak mudah sehingga memerlukan waktu untuk menyamakan level of playing field.
Kaji detil
Untuk itu, Rachmi juga menginginkan baik publik secara luas maupun perwakilan mereka di DPR dapat mengkaji seluruh isi perjanjian perdagangan internasional hingga sedetil-detilnya.
Pihaknya juga mendesak kepada pemerintah untuk transparan terhadap keseluruhan teks draf perjanjian perdagangan yang sedang dibahas.
Hal tersebut, agar cara pandang pemerintah terkait dengan perjanjian perdagangan bebas tidak hanya terfokus kepada akses pasar atau ekspor-impor.
Padahal, Rachmi mengingatkan bahwa isi perjanjian itu sangat luas dan tidak hanya soal ekspor dan impor, namun ada aspek dampak sosial dan hak asasi manusia yang dapat terlanggar akibat perjanjian tersebut.
Ia berpendapat, cara pandang negosiator dinilai masih kental terkait dengan akses pasar, yang dicemaskan ke depannya bisa berpotensi harus mengorbankan kepentingan publik secara luas.
Sebelumnya, Pemerintah siap menyelesaikan proses ratifikasi tujuh perjanjian perdagangan internasional yang selama ini masih tertunda karena harus melalui prosedur pelaporan dengan DPR.
"Keputusan ini diambil mengingat pentingnya penandatanganan perjanjian-perjanjian tersebut," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution seusai memimpin rapat koordinasi penyelesaian ratifikasi perjanjian perdagangan internasional di Jakarta, Rabu (7/11).
Darmin menjelaskan proses ratifikasi ini akan dilakukan sesuai UU Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 terutama pasal yang menyangkut ratifikasi perjanjian perdagangan internasional dan ditetapkan melalui penerbitan Peraturan Presiden.
Pemerintah juga memutuskan untuk mengambil kebijakan ini karena tidak ada kepastian mengenai ratifikasi, setelah tujuh perjanjian internasional ini secara bertahap telah disampaikan kepada DPR, lebih dari 60 hari yang lalu.
Menurut UU Perdagangan Pasal 84 Ayat 4, apabila DPR tidak mengambil keputusan dalam waktu paling lama 60 hari kerja pada masa sidang, maka pemerintah dapat memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan DPR dalam melakukan ratifikasi.
Menko Perekonomian menyatakan bahwa pihaknya akan segera lapor pada Presiden dengan membawa draft Perpres yang sudah siap.
Dorong penyelesaian
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mendorong penyelesaian tiga bab kerangka kerja sama dalam perjanjian dagang RCEP yang belum disepakati oleh para menteri ekonomi ASEAN lainnya.
Mendag mengungkapkan bahwa tiga bab yang belum disepakati yaitu kompetisi, mekanisme dispute settlement serta standar dan kualitas barang.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo menegaskan pentingnya bersikap inklusif dalam era ekonomi digital saat pertemuan dengan Asia-Pacific Economic Cooperation Business Advisory Council (ABAC) dalam rangkaian KTT APEC 2018.
Presiden menyampaikan hal itu dalam pertemuan bertajuk "Inclusion in the Age of Disruption: Charting a Common Future", bersama-sama antara lain dengan Perdana Menteri Australia Scott Morrison dan Perdana Menteri Vietnam Nguyn Xuan Phuc.
Dalam dialog tersebut, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa pembangunan ekonomi yang inklusif dengan menggunakan platform digital adalah prioritas Pemerintah Indonesia sejak tahun 2014 dan Indonesia diperkirakan menjadi ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara tahun 2020.
Tujuan globalisasi salah satunya memang adalah membuat dunia dapat lebih semakin inklusif.
Namun, harus benar- benar dipastikan bahwa inklusivitas itu tercapai dengan peningkatkan kesejahteraan berbagai kalangan masyarakat, dan bukan hanya segelintir dari mereka yang menikmatinya.
Barulah dengan demikian, berbagai negara di dunia termasuk Republik Indonesia, dapat menikmati manfaat dari globalisasi dan bukannya terjebak kepada versi globalisasi yang menyesatkan.*
Baca juga: G20 ingatkan perdagangan internasional sumber pertumbuhan global
Baca juga: Imbas ketegangan perdagangan, IMF pangkas proyeksi pertumbuhan global
Kesemua hal itu, menurut Chopra yang berasal dari India itu, merupakan beragam tujuan yang mulia untuk dapat dicapai dan diwujudkan.
Namun pada saat ini, berbagai pihak banyak yang menyatakan ketidaksetujuan dengan pola perdagangan bebas yang kerap dibahas oleh berbagai pemerintahan antarnegara.
Hal tersebut karena perdagangan global dinilai kerap hanya menguntungkan sejumlah atau segelintir pihak, terutama mereka yang memiliki modal besar, sedangkan rakyat kebanyakan kerap terlupakan.
Seperti di Indonesia, Pengamat sektor kelautan dan perikanan Abdul Halim menyatakan bahwa berbagai perjanjian perdagangan pasar bebas di tingkat global saat ini berpotensi negatif terhadap perikanan nasional bila tidak ada pembenahan domestik.
Pasalnya, menurut Abdul Halim, saat ini kondisi perikanan masih cenderung amburadul dan menyulitkan nelayan tradisional berkompetisi di tingkat global,
Abdul Halim yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan itu juga berpendapat bahwa saat ini masih minim proteksi dari hulu ke hilir sektor tersebut.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti, mengingatkan pemerintah agar tidak terlalu ambisius menyelesaikan agenda perjanjian perdagangan bebas dengan berbagai pihak di tingkat internasional.
Sepanjang 2018, lanjutnya, pemerintah berkeinginan menyelesaikan banyak perjanjian perdagangan seperti Indonesia-Australia CEPA, Indonesia-Europe FTA (IEFTA), dan Regional Comprehensive Partnership Agreement (RCEP).
Jangan tunduk
Indonesia jangan sampai tunduk terhadap tekanan dan tuntutan perdagangan yang dikeluarkan oleh sejumlah negara maju tetapi harus bisa menghasilkan perjanjian perdagangan yang menguntungkan secara nasional.
Rachmi mencontohkan, hambatan di dalam proses perjanjian dagang kemitraan komprehensif regional/RCEP terjadi terkait dengan isu permintaan Australia, Jepang dan Korsel yang meminta adanya klausul mengenai review mechanism atau mekanisme pengkajian.
Klausul mekanisme pengkajian yang diminta adalah dalam rangka mendorong adanya upaya untuk memasukkan BUMN sebagai salah satu target pengkajian.
Hal tersebut, dinilai akan mendorong adanya penghilangan pembatasan terhadap perusahaan plat merah tersebut dan perlakuan nondiskriminasi yang diincar.
Dalam hal ini, ASEAN, India, dan China memiliki posisi tetap untuk menolak proposal dari Jepang dan kawan-kawan. Bahkan, posisi ini menjadi harga mati yang tidak dapat ditawar.
Ia mendesak kepada negosiator dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Republik Indonesia, agar dapat tetap tegas dalam mempertahankan posisi tersebut.
Sedangkan terhadap beragam konferensi internasional seperti KTT ASEAN yang telah berlangsung di Singapura, beberapa waktu lalu, seharusnya ke depannya perlu untuk dapat mempersatukan visi perdagangan dan investasi menghadapi tekanan perdagangan global.
Rachmi mengingatkan bahwa yang alot selama ini dalam perundingan perdagangan adalah mekanisme sengketa investasi atau yang dikenal dengan mekanisme ISDS (Investor to State Dispute Settlement). Dalam hal tersebut, memang posisi ASEAN sendiri terbelah posisinya.
Menurut dia, Indonesia, Filipina, Vietnam memiliki posisi yang cukup kuat untuk mendesak agar isu ISDS tidak diterapkan, sehingga tidak ada aturan yg melarang sebuah negara mengubah UU-nya setelah perjanjian ditandatangani.
Namun, lanjutnya, posisi tersebut sangat kuat ditentang oleh Jepang dan Korea, bahkan di ASEAN sendiri, Singapura dinilai memiliki posisi yang sangat berbeda dengan kepentingan negara-negara di kawasan ASEAN lainnya.
Sedangkan terkait kesamaan untuk menyamakan standar produk dan jasa, ia menyatakan bahwa permasalahan itu memang kompleks dan tidak mudah sehingga memerlukan waktu untuk menyamakan level of playing field.
Kaji detil
Untuk itu, Rachmi juga menginginkan baik publik secara luas maupun perwakilan mereka di DPR dapat mengkaji seluruh isi perjanjian perdagangan internasional hingga sedetil-detilnya.
Pihaknya juga mendesak kepada pemerintah untuk transparan terhadap keseluruhan teks draf perjanjian perdagangan yang sedang dibahas.
Hal tersebut, agar cara pandang pemerintah terkait dengan perjanjian perdagangan bebas tidak hanya terfokus kepada akses pasar atau ekspor-impor.
Padahal, Rachmi mengingatkan bahwa isi perjanjian itu sangat luas dan tidak hanya soal ekspor dan impor, namun ada aspek dampak sosial dan hak asasi manusia yang dapat terlanggar akibat perjanjian tersebut.
Ia berpendapat, cara pandang negosiator dinilai masih kental terkait dengan akses pasar, yang dicemaskan ke depannya bisa berpotensi harus mengorbankan kepentingan publik secara luas.
Sebelumnya, Pemerintah siap menyelesaikan proses ratifikasi tujuh perjanjian perdagangan internasional yang selama ini masih tertunda karena harus melalui prosedur pelaporan dengan DPR.
"Keputusan ini diambil mengingat pentingnya penandatanganan perjanjian-perjanjian tersebut," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution seusai memimpin rapat koordinasi penyelesaian ratifikasi perjanjian perdagangan internasional di Jakarta, Rabu (7/11).
Darmin menjelaskan proses ratifikasi ini akan dilakukan sesuai UU Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 terutama pasal yang menyangkut ratifikasi perjanjian perdagangan internasional dan ditetapkan melalui penerbitan Peraturan Presiden.
Pemerintah juga memutuskan untuk mengambil kebijakan ini karena tidak ada kepastian mengenai ratifikasi, setelah tujuh perjanjian internasional ini secara bertahap telah disampaikan kepada DPR, lebih dari 60 hari yang lalu.
Menurut UU Perdagangan Pasal 84 Ayat 4, apabila DPR tidak mengambil keputusan dalam waktu paling lama 60 hari kerja pada masa sidang, maka pemerintah dapat memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan DPR dalam melakukan ratifikasi.
Menko Perekonomian menyatakan bahwa pihaknya akan segera lapor pada Presiden dengan membawa draft Perpres yang sudah siap.
Dorong penyelesaian
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mendorong penyelesaian tiga bab kerangka kerja sama dalam perjanjian dagang RCEP yang belum disepakati oleh para menteri ekonomi ASEAN lainnya.
Mendag mengungkapkan bahwa tiga bab yang belum disepakati yaitu kompetisi, mekanisme dispute settlement serta standar dan kualitas barang.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo menegaskan pentingnya bersikap inklusif dalam era ekonomi digital saat pertemuan dengan Asia-Pacific Economic Cooperation Business Advisory Council (ABAC) dalam rangkaian KTT APEC 2018.
Presiden menyampaikan hal itu dalam pertemuan bertajuk "Inclusion in the Age of Disruption: Charting a Common Future", bersama-sama antara lain dengan Perdana Menteri Australia Scott Morrison dan Perdana Menteri Vietnam Nguyn Xuan Phuc.
Dalam dialog tersebut, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa pembangunan ekonomi yang inklusif dengan menggunakan platform digital adalah prioritas Pemerintah Indonesia sejak tahun 2014 dan Indonesia diperkirakan menjadi ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara tahun 2020.
Tujuan globalisasi salah satunya memang adalah membuat dunia dapat lebih semakin inklusif.
Namun, harus benar- benar dipastikan bahwa inklusivitas itu tercapai dengan peningkatkan kesejahteraan berbagai kalangan masyarakat, dan bukan hanya segelintir dari mereka yang menikmatinya.
Barulah dengan demikian, berbagai negara di dunia termasuk Republik Indonesia, dapat menikmati manfaat dari globalisasi dan bukannya terjebak kepada versi globalisasi yang menyesatkan.*
Baca juga: G20 ingatkan perdagangan internasional sumber pertumbuhan global
Baca juga: Imbas ketegangan perdagangan, IMF pangkas proyeksi pertumbuhan global
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018
Tags: