Artikel
Mudarat perang kata-kata di kampanye pilpres
17 November 2018 21:25 WIB
Capres nomor urut 1 Joko Widodo dan Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto berjalan bersama usai Mendeklarasikan Kampanye Damai dan Berintegritas di kawasan Monas, Jakarta, Minggu (23/9/2018). (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/pras.)
Jakarta (ANTARA News) - Kampanye untuk Pemilihan Presiden 2019 telah berjalan hampir dua bulan sejak dimulai pada 23 September 2018 lalu.
Deklarasi tim-tim relawan, safari politik, menjadi sajian rutin dari dua pasangan calon. Pasangan nomor urut 1, Joko Widodo dan Ma'ruf Amin dan pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Berita kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden juga menghiasi media massa setiap hari. Wajah keduanyapun berseliweran di televisi.
Namun sayangnya, masyarakat lebih banyak disajikan perang kata-kata yang dipertontonkan oleh kedua belah pihak.
Kata-kata yang terlontar seringkali menjadi santapan kedua belah pihak untuk dikomentari, dikecam, dan dijadikan bahan pemberitaan. Polemik diperluas, dan dibesarkan.
Selama dua bulan, hampir tidak ada wacana program, namun yang diingat publik adalah politik genderuwo, politikus sontoloyo, tempe setipis ATM, tampang Boyolali dan lain sebagainya.
Wakil Presiden M Jusuf Kalla menyebut fenomena ini sebagai kampanye negatif. Kampanye negatif berbeda dengan kampanye hitam.
Kampanye hitam merupakan kampanye dengan menyebarkan fitnah, berita bohong. Sementara kampanye negatif mengarah pada pernyataan-pernyataan negatif terhadap lawan, utamanya mengungkapkan kesalahan-keasalahan lawan.
Kampanye negatif merupakan hal yang biasa terjadi dalam kampanye di negara-negara demokrasi liberal seperti Amerika Serikat mislanya.
Tujuan utamanya adalah menjatuhkan kredibilitas kompetitornya di mata masyarakat. Sayangnya, kampanye ini tidak produktif dalam merawat demokrasi, alih-alih seringkali justru menimbulkan perpecahan.
Meski kadangkala, kampanye ini dibutuhkan untuk mengetahui profil dari para peserta pemilihan presiden. Misalnya membuka permasalahan hukum yang pernah membelit kandidat.
Dalam dua bulan kampanye, masyarakat Indonesia disuguhi dengan kampanye jenis ini. Kampanye negatif ini bahkan tidak jelas kegunaannya bagi masyarakat. Untuk mengetahui profil kandidatpun tidak.
Para pengamat politik menilai kondisi kampanye negatif ini menghalangi masyarakat untuk mendapatkan informasi penting terkait dengan program-program, visi, misi yang diusung kedua kandidat.
Kampanye negatif yang dangkal dan tidak substantif, kata Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago.
Tidak Produktif
Perang kata-kata yang disajikan dalam kompetisi Pilpres kali ini tidak produktif baik bagi kandidat yang bertarung maupun bagi masyarakat pemilih.
Menurut Pengamat politik dari Universitas Paramadina Yandi Hermawandi, kampanye dengan instrumen semantik (word war/ debat diksi) tersebut tidak akan memberikan efek pada target elektabilitas.
Kampanye seperti ini hanya berefek pada perhatian pemilih (atensi) tapi tidak berefek pada pilihan (preferensi).
Selain itu, pernyataan para capres dan cawaprespun berpotensi menjadi hoaks karena ada kesalahan berpikir (intelektual cul-de-sac) yang disebabkan tiadanya argumentasi yang kuat. Padahal, publik saat ini sedang giat menghindari hoaks.
Dalam logika komunikasi politik ini biasa disebut fallacy of hasty generalization, kekeliruan berpikir karena membuat suatu generalisasi yang terburu-buru, katanya.
Sementara itu, perang kata-kata juga tidak akan bisa menggaet pemilih rasional utamanya dari kalangan milenial.
Kalangan milenial diperkirakan sekitar lebih dari 50 persen dari pemilih. Kalangan milennial merupakan pemilih pemula yang berusai 17-41 tahun, yang memiliki kedekatan dalam penggunaan ponsel dan teknologi digital.
Bagi pemilih rasional, terutama dari kalangan milenial yang dibutuhkan adalah perbedaan (diferensiasi) program dari kedua kandidat. Sebab, di sinilah masyarakat ingin mengetahui apa yang akan dilakukan oleh para kandidat bila terpilih kelak.
Semua pihak tentunya menyatakan akan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Hampir tidak ada capres maupun cawapres yang menyatakan akan meningkatkan kemiskinan dan menurunkan kesejahteraan.
Yang menjadi pembeda antar calon presiden adalah bagaimana caranya mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan tersebut. Inilah yang kini tengah ditunggu-tunggu kalangan millennial, kata Yandi.
Untuk itu, keberadaan perang kata-kata saat ini justru membuat mereka kehilangan momen mendapatkan informasi terkait program-program yang ditawarkan.
Demokrasi tanpa substansi
Perang kata-kata saat ini juga meneguhkan demokrasi prosedural tanpa isi. Prosedur-prosedur demokrasi memang dilaksanakan. Namun, substansi demokrasi yang menjadikan kandidat bertarung gagasan, meneguhkan nilai-nilai dihilangkan ataupun tertutupi.
Akibatnya, masyarakat yang seharusnya mendapatkan pendidikan politik dengan memilih kandidat secara rasional berdasarkan program kerja, visi dan misi, kini beralih rupa mendasarkan pilihan karena sentimen, suka dan tidak suka.
Seperti diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago. Strategi politk melalui perang kata-kata hanya akan memperkuat sentimen dan perasaan suka atau tidak suka terhadap kandidat, katanya.
Sehingga pada akhirnya, pilihan ditentukan oleh sentimen dibandingkan program kerja, visi dan misi para kandidat, karena publik tidak mendapatkan informasi yang cukup untuk menentukan pilihan secara rasional.
Hal senada diungkapkan oleh Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Heryanto. Gun Gun menilai, kondisi ini hanya meneguhkan para fans kedua kubu. Mereka yang terafiliasi ataupun pendukung beratnya.
Sementara bagi massa mengambang yang rasional, hal ini justru merugikan, karena tidak mendapatkan informasi berharga dalam menentukan pilihan dalam pemilu terkait program-program kerja.
Kondisi ini tidak menguntungkan dalam mendorong partsisiapasi politik. Sebab, jika hal ini terus berlangsung dipastikan justru akan mengurangi minat massa mengambang maupun pemilih rasional untuk ikut serta dalam pemilu.
Untuk itu, perubahan dalam kampanye perlu dilakukan. Informasi program kerja perlu ditonjolkan, utamanya perbedaan antar dua kandidat, sehingga rakyat punya pilihan, katanya.*
Baca juga: Pedagang sayur minta Sandiaga wujudkan harga stabil
Baca juga: Erick Thohir hadiri Deklarasi Perempuan Indonesia Jokowi-Ma`ruf
Deklarasi tim-tim relawan, safari politik, menjadi sajian rutin dari dua pasangan calon. Pasangan nomor urut 1, Joko Widodo dan Ma'ruf Amin dan pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Berita kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden juga menghiasi media massa setiap hari. Wajah keduanyapun berseliweran di televisi.
Namun sayangnya, masyarakat lebih banyak disajikan perang kata-kata yang dipertontonkan oleh kedua belah pihak.
Kata-kata yang terlontar seringkali menjadi santapan kedua belah pihak untuk dikomentari, dikecam, dan dijadikan bahan pemberitaan. Polemik diperluas, dan dibesarkan.
Selama dua bulan, hampir tidak ada wacana program, namun yang diingat publik adalah politik genderuwo, politikus sontoloyo, tempe setipis ATM, tampang Boyolali dan lain sebagainya.
Wakil Presiden M Jusuf Kalla menyebut fenomena ini sebagai kampanye negatif. Kampanye negatif berbeda dengan kampanye hitam.
Kampanye hitam merupakan kampanye dengan menyebarkan fitnah, berita bohong. Sementara kampanye negatif mengarah pada pernyataan-pernyataan negatif terhadap lawan, utamanya mengungkapkan kesalahan-keasalahan lawan.
Kampanye negatif merupakan hal yang biasa terjadi dalam kampanye di negara-negara demokrasi liberal seperti Amerika Serikat mislanya.
Tujuan utamanya adalah menjatuhkan kredibilitas kompetitornya di mata masyarakat. Sayangnya, kampanye ini tidak produktif dalam merawat demokrasi, alih-alih seringkali justru menimbulkan perpecahan.
Meski kadangkala, kampanye ini dibutuhkan untuk mengetahui profil dari para peserta pemilihan presiden. Misalnya membuka permasalahan hukum yang pernah membelit kandidat.
Dalam dua bulan kampanye, masyarakat Indonesia disuguhi dengan kampanye jenis ini. Kampanye negatif ini bahkan tidak jelas kegunaannya bagi masyarakat. Untuk mengetahui profil kandidatpun tidak.
Para pengamat politik menilai kondisi kampanye negatif ini menghalangi masyarakat untuk mendapatkan informasi penting terkait dengan program-program, visi, misi yang diusung kedua kandidat.
Kampanye negatif yang dangkal dan tidak substantif, kata Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago.
Tidak Produktif
Perang kata-kata yang disajikan dalam kompetisi Pilpres kali ini tidak produktif baik bagi kandidat yang bertarung maupun bagi masyarakat pemilih.
Menurut Pengamat politik dari Universitas Paramadina Yandi Hermawandi, kampanye dengan instrumen semantik (word war/ debat diksi) tersebut tidak akan memberikan efek pada target elektabilitas.
Kampanye seperti ini hanya berefek pada perhatian pemilih (atensi) tapi tidak berefek pada pilihan (preferensi).
Selain itu, pernyataan para capres dan cawaprespun berpotensi menjadi hoaks karena ada kesalahan berpikir (intelektual cul-de-sac) yang disebabkan tiadanya argumentasi yang kuat. Padahal, publik saat ini sedang giat menghindari hoaks.
Dalam logika komunikasi politik ini biasa disebut fallacy of hasty generalization, kekeliruan berpikir karena membuat suatu generalisasi yang terburu-buru, katanya.
Sementara itu, perang kata-kata juga tidak akan bisa menggaet pemilih rasional utamanya dari kalangan milenial.
Kalangan milenial diperkirakan sekitar lebih dari 50 persen dari pemilih. Kalangan milennial merupakan pemilih pemula yang berusai 17-41 tahun, yang memiliki kedekatan dalam penggunaan ponsel dan teknologi digital.
Bagi pemilih rasional, terutama dari kalangan milenial yang dibutuhkan adalah perbedaan (diferensiasi) program dari kedua kandidat. Sebab, di sinilah masyarakat ingin mengetahui apa yang akan dilakukan oleh para kandidat bila terpilih kelak.
Semua pihak tentunya menyatakan akan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Hampir tidak ada capres maupun cawapres yang menyatakan akan meningkatkan kemiskinan dan menurunkan kesejahteraan.
Yang menjadi pembeda antar calon presiden adalah bagaimana caranya mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan tersebut. Inilah yang kini tengah ditunggu-tunggu kalangan millennial, kata Yandi.
Untuk itu, keberadaan perang kata-kata saat ini justru membuat mereka kehilangan momen mendapatkan informasi terkait program-program yang ditawarkan.
Demokrasi tanpa substansi
Perang kata-kata saat ini juga meneguhkan demokrasi prosedural tanpa isi. Prosedur-prosedur demokrasi memang dilaksanakan. Namun, substansi demokrasi yang menjadikan kandidat bertarung gagasan, meneguhkan nilai-nilai dihilangkan ataupun tertutupi.
Akibatnya, masyarakat yang seharusnya mendapatkan pendidikan politik dengan memilih kandidat secara rasional berdasarkan program kerja, visi dan misi, kini beralih rupa mendasarkan pilihan karena sentimen, suka dan tidak suka.
Seperti diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago. Strategi politk melalui perang kata-kata hanya akan memperkuat sentimen dan perasaan suka atau tidak suka terhadap kandidat, katanya.
Sehingga pada akhirnya, pilihan ditentukan oleh sentimen dibandingkan program kerja, visi dan misi para kandidat, karena publik tidak mendapatkan informasi yang cukup untuk menentukan pilihan secara rasional.
Hal senada diungkapkan oleh Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Heryanto. Gun Gun menilai, kondisi ini hanya meneguhkan para fans kedua kubu. Mereka yang terafiliasi ataupun pendukung beratnya.
Sementara bagi massa mengambang yang rasional, hal ini justru merugikan, karena tidak mendapatkan informasi berharga dalam menentukan pilihan dalam pemilu terkait program-program kerja.
Kondisi ini tidak menguntungkan dalam mendorong partsisiapasi politik. Sebab, jika hal ini terus berlangsung dipastikan justru akan mengurangi minat massa mengambang maupun pemilih rasional untuk ikut serta dalam pemilu.
Untuk itu, perubahan dalam kampanye perlu dilakukan. Informasi program kerja perlu ditonjolkan, utamanya perbedaan antar dua kandidat, sehingga rakyat punya pilihan, katanya.*
Baca juga: Pedagang sayur minta Sandiaga wujudkan harga stabil
Baca juga: Erick Thohir hadiri Deklarasi Perempuan Indonesia Jokowi-Ma`ruf
Pewarta: M Arief Iskandar
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018
Tags: