Perkawinan anak berdampak buruk terhadap SDG's
16 November 2018 16:25 WIB
Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosalin dalam lokakarya "Rumusan Strategi Model Pencegahan Perkawinan Anak di Daerah" di Jakarta, Jumat (16/11/2018). (ANTARA/Dewanto Samodro)
Jakarta (ANTARA News) - Perkawinan anak berdampak buruk bagi pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG's) kata Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosalin.
"Perkawinan anak bisa berdampak pada pencapaian pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Ujungnya berdampak pada Indeks Pembangunan Manusia," kata Lenny dalam lokakarya "Rumusan Strategi Model Pencegahan Perkawinan Anak di Daerah" di Jakarta, Jumat.
Lenny mengatakan anak perempuan yang dikawinkan memiliki risiko terhadap kesehatan reproduksinya yang bisa berujung pada peningkatan angka kematian ibu.
Anak yang dikandung oleh anak perempuan yang dikawinkan juga berisiko kekurangan gizi karena harus berebut dengan ibunya yang juga masih dalam usia pertumbuhan.
"Risikonya adalah kematian bayi, bayi berat lahir rendah, bayi gizi rendah dan kurang, 'stunting' dan lain-lain," jelasnya.
Anak yang kawin juga terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan atau putus sekolah. Menurut Lenny, tidak lebih dari dua persen anak yang kawin bisa kembali melanjutkan sekolah.
"Jelas perkawinan anak mengancam program wajib belajar 12 tahun, bahkan sembilan tahun," tuturnya.
Anak-anak yang kawin juga harus bertanggung jawab untuk menghidupi keluarganya. Karena itu, dia harus bekerja. Lenny mengatakan anak-anak yang bekerja tersebut juga menimbulkan banyak permasalahan.
Selain masalah pekerja anak, anak-anak yang kawin dan putus sekolah berarti memiliki pendidikan dan kemampuan yang rendah sehingga tidak bisa mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang baik.
"Akibatnya, berujung pada kemiskinan karena mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang baik," katanya.
Lenny mengatakan perkawinan anak harus segera dicegah karena melanggar hak anak, dan melanggar hak asasi manusia.
"Kita harus bekerja keroyokan untuk mencegah perkawinan anak," ujarnya.
Rata-rata nasional perkawinan anak meningkat dari 23 persen pada 2015 menjadi 25,71 persen pada 2017. Dengan rata-rata tersebut, Indonesia menempati peringkat ketujuh dunia dan kedua di Asia Tenggara.
Baca juga: Lima kabupaten menjadi contoh pecegahan perkawinan anak
Baca juga: Menteri PPPA dorong penaikan batas usia kawin
"Perkawinan anak bisa berdampak pada pencapaian pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Ujungnya berdampak pada Indeks Pembangunan Manusia," kata Lenny dalam lokakarya "Rumusan Strategi Model Pencegahan Perkawinan Anak di Daerah" di Jakarta, Jumat.
Lenny mengatakan anak perempuan yang dikawinkan memiliki risiko terhadap kesehatan reproduksinya yang bisa berujung pada peningkatan angka kematian ibu.
Anak yang dikandung oleh anak perempuan yang dikawinkan juga berisiko kekurangan gizi karena harus berebut dengan ibunya yang juga masih dalam usia pertumbuhan.
"Risikonya adalah kematian bayi, bayi berat lahir rendah, bayi gizi rendah dan kurang, 'stunting' dan lain-lain," jelasnya.
Anak yang kawin juga terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan atau putus sekolah. Menurut Lenny, tidak lebih dari dua persen anak yang kawin bisa kembali melanjutkan sekolah.
"Jelas perkawinan anak mengancam program wajib belajar 12 tahun, bahkan sembilan tahun," tuturnya.
Anak-anak yang kawin juga harus bertanggung jawab untuk menghidupi keluarganya. Karena itu, dia harus bekerja. Lenny mengatakan anak-anak yang bekerja tersebut juga menimbulkan banyak permasalahan.
Selain masalah pekerja anak, anak-anak yang kawin dan putus sekolah berarti memiliki pendidikan dan kemampuan yang rendah sehingga tidak bisa mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang baik.
"Akibatnya, berujung pada kemiskinan karena mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang baik," katanya.
Lenny mengatakan perkawinan anak harus segera dicegah karena melanggar hak anak, dan melanggar hak asasi manusia.
"Kita harus bekerja keroyokan untuk mencegah perkawinan anak," ujarnya.
Rata-rata nasional perkawinan anak meningkat dari 23 persen pada 2015 menjadi 25,71 persen pada 2017. Dengan rata-rata tersebut, Indonesia menempati peringkat ketujuh dunia dan kedua di Asia Tenggara.
Baca juga: Lima kabupaten menjadi contoh pecegahan perkawinan anak
Baca juga: Menteri PPPA dorong penaikan batas usia kawin
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2018
Tags: