Sri Mulyani minta pengawasan ketat terkait implementasi B20
15 November 2018 23:06 WIB
Dokumentasi pekerja tengah mengisikan Bio Solar ke KM Plumin Satu sebagai rangkaian program implementasi B20 (biodiesel 20 persen) di TBBM Tanjung Uban, Bintan, Kepulauan Riau, Sabtu (15/9/2018). PT Pertamina (Persero) menetapkan TBBM Tanjung Uban menjadi TBBM Utama yang akan menerima Fatty Acid Methyl Eter (FAME) dan menyalurkan B20 ke TBBM di sekitarnya seperti TBBM Kijang, Kabil-Batam dan Natuna yang selanjutnya di suplai ke SPBU, SPBB dan ASDP di wilayah Sumatera Utara, sebagian Kalimantan serta Sulawesi Selatan. (ANTARA FOTO/M N Kanwa)
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan, Sri Mulyani, meminta ada pengawasan lebih ketat dari pelaksanaan program biodiesel (B20) agar pengurangan impor minyak dan gas dapat berjalan lebih efektif.
Ia mengutarakan itu di Jakarta, Kamis, karena sejak kewajiban penggunaan B20 di berbagai industri berlangsung pada awal September belum terlihat adanya pengurangan impor solar secara signifikan.
"Kita melihat pelaksanaan B20 ini dari 1 September-13 November, belum menunjukkan impor solar, baik dari sisi volume dan sisi devisa BUMN kita sendiri," katanya.
Untuk itu, ia mengharapkan pemangku kepentingan terkait seperti Kementerian ESDM maupun Pertamina melakukan perbaikan pengawasan dari implementasi B20.
Data Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan memperlihatkan impor solar dalam periode 1 September-13 November 2018 justru meningkat hingga 1,28 juta kilo liter atau tumbuh 13,8 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.
Importir terbesar solar antara lain PT Pertamina yang melakukan impor 680.000.000 liter atau tumbuh 60,72 persen serta Exxonmobil Lubricants Indonesia sebanyak 60.000.000 liter atau tumbuh 62,18 persen.
PT Pertamina juga yang menyumbang devisa impor solar terbesar dalam periode ini yaitu 392,67 juta dolar AS, meski hal ini lebih banyak dipicu oleh kenaikan harga minyak dunia dan pergerakan kurs.
Meski demikian, berdasarkan segi komposisi volume impor BBM rata-rata harian, impor migas terlihat menurun pada periode 1 September-13 November sebesar 7,5 persen dibandingkan periode 1 Januari-31 Agustus 2018.
Sebelumnya, pemerintah mewajibkan penggunaan B20 untuk mengurangi impor solar, agar defisit neraca transaksi berjalan tidak makin melebar dan berada dalam batas aman dibawah tiga persen terhadap PDB.
Ia mengutarakan itu di Jakarta, Kamis, karena sejak kewajiban penggunaan B20 di berbagai industri berlangsung pada awal September belum terlihat adanya pengurangan impor solar secara signifikan.
"Kita melihat pelaksanaan B20 ini dari 1 September-13 November, belum menunjukkan impor solar, baik dari sisi volume dan sisi devisa BUMN kita sendiri," katanya.
Untuk itu, ia mengharapkan pemangku kepentingan terkait seperti Kementerian ESDM maupun Pertamina melakukan perbaikan pengawasan dari implementasi B20.
Data Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan memperlihatkan impor solar dalam periode 1 September-13 November 2018 justru meningkat hingga 1,28 juta kilo liter atau tumbuh 13,8 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.
Importir terbesar solar antara lain PT Pertamina yang melakukan impor 680.000.000 liter atau tumbuh 60,72 persen serta Exxonmobil Lubricants Indonesia sebanyak 60.000.000 liter atau tumbuh 62,18 persen.
PT Pertamina juga yang menyumbang devisa impor solar terbesar dalam periode ini yaitu 392,67 juta dolar AS, meski hal ini lebih banyak dipicu oleh kenaikan harga minyak dunia dan pergerakan kurs.
Meski demikian, berdasarkan segi komposisi volume impor BBM rata-rata harian, impor migas terlihat menurun pada periode 1 September-13 November sebesar 7,5 persen dibandingkan periode 1 Januari-31 Agustus 2018.
Sebelumnya, pemerintah mewajibkan penggunaan B20 untuk mengurangi impor solar, agar defisit neraca transaksi berjalan tidak makin melebar dan berada dalam batas aman dibawah tiga persen terhadap PDB.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018
Tags: