Mahyudin nilai pendidikan dan kemiskinan masalah utama Indonesia
15 November 2018 21:52 WIB
Wakil Ketua MPR Mahyudin (kiri) berfoto dengan penulis buku 'Penganti Pesanan' Mya Ye (kanan) dalam acara 'Bicara Buku Bersama Wakil Rakyat' di Gedung Nusantara IV, Kompleks MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta. (Humas pers MPR)
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua MPR RI Mahyudin mengungkapkan bahwa pendidikan dan kemiskinan masih menjadi masalah bagi bangsa dan negara Indonesia, ia juga mengibaratkan keduanya sebagai 'saudara kandung' yang tidak dapat dipisahkan.
"Soal-soal seperti ini memang sangat mengkhawatirkan kita semua. Maka dari itu saya pribadi dan sebagai pimpinan MPR juga Wakil Rakyat sangat mendukung berbagai upaya antara lain karya-karya tulis yang mengangkat masalah nyata terjadi di masyarakat seperti kemiskinan dan terbatasnya rakyat yang menikmati pendidikan berkualitas," kata Wakil Ketua MPR Mahyudin dalam siaran pers yang diterima Antara Jakarta, Kamis.
Pernyataan itu ia sampaikan saat menghadiri sebuah acara diskusi 'Bicara Buku Bersama Wakil Rakyat' yang membahas buku 'Pengantin Pesanan' karya dari Mya Ye di Perpustakaan Setjen MPR RI, Gedung Nusantara IV, Kompleks MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta.
Mahyudin juga mengatakan bahwa bila saja pendidikan dan kemiskinan tidak lagi menjadi masalah masyarakat Indonesia, maka tidak akan terdengar lagi rakyat Indonesia bekerja kasar di negara orang bahkan mendapatkan perlakuan tidak layak serta tidak akan lagi terdengar adanya 'kawin kontrak' atau 'pengantin pesanan' yang dipicu oleh desakan ekonomi.
Ungkapan bahwa pendidikan dan kemiskinan bagai saudara kandung, Mahyudin akui terbersit setelah ia membaca buku karya Mya Ye tersebut yang memaparkan secara jelas dan tersirat tentang potret buram fenomena yang dialami sebagian rakyat Indonesia itu.
"Awalnya saya tidak paham apa yang mau disampaikan buku tersebut. Tetapi setelah membacanya, buku ini sarat akan pesan moral, sosial, kesetaraan gender dan terutama pergumulan moral yang bermula dari isu kemiskinan di tengah masyarakat kita," katanya.
Mahyudin memaparkan bahwa buku tersebut menceritakan seorang perempuan berpindidikan minim dengan berlatar belakang di Singkawang yang melihat satu-satunya jalan keluar dari lingkaran kemiskinan adalah dengan menjadi seorang 'pengantin pesanan'.
Namun, ia menegaskan bahwa fenomena itu bukanlah budaya daerah tersebut melainkan muncul karena kemiskinan dan minimnya pendidikan bahkan terjadi di daerah-daerah serta negara-negara berkembang lainnya, sebab dua masalah tersebut sangat dilematis bagi negara-negara berkembang.
Pada intinya, lanjut Mahyudin, rakyat Indonesia harus bersemangat untuk melakukan sejumlah upaya mencerdaskan bangsa dan terus memperjuangkan keadilan demi memperoleh pendidikan dan pemerintah harus mewujudkan semua itu karena pendidikan baik akan berikan kemampuan berkembang dalam ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan dan menanamkan kesadaran martabat manusia untuk menggapai masa depan.
"Kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat atau daerah harus diminimalkan bahkan dihilangkan dengan mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia," tandasnya.(KR-HSI)
Baca juga: Mahyudin tekankan pentingnya kesiapan masyarakat hadapi pemilu langsung
Baca juga: Wakil Ketua MPR berharap sistem pemilu di evaluasi
"Soal-soal seperti ini memang sangat mengkhawatirkan kita semua. Maka dari itu saya pribadi dan sebagai pimpinan MPR juga Wakil Rakyat sangat mendukung berbagai upaya antara lain karya-karya tulis yang mengangkat masalah nyata terjadi di masyarakat seperti kemiskinan dan terbatasnya rakyat yang menikmati pendidikan berkualitas," kata Wakil Ketua MPR Mahyudin dalam siaran pers yang diterima Antara Jakarta, Kamis.
Pernyataan itu ia sampaikan saat menghadiri sebuah acara diskusi 'Bicara Buku Bersama Wakil Rakyat' yang membahas buku 'Pengantin Pesanan' karya dari Mya Ye di Perpustakaan Setjen MPR RI, Gedung Nusantara IV, Kompleks MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta.
Mahyudin juga mengatakan bahwa bila saja pendidikan dan kemiskinan tidak lagi menjadi masalah masyarakat Indonesia, maka tidak akan terdengar lagi rakyat Indonesia bekerja kasar di negara orang bahkan mendapatkan perlakuan tidak layak serta tidak akan lagi terdengar adanya 'kawin kontrak' atau 'pengantin pesanan' yang dipicu oleh desakan ekonomi.
Ungkapan bahwa pendidikan dan kemiskinan bagai saudara kandung, Mahyudin akui terbersit setelah ia membaca buku karya Mya Ye tersebut yang memaparkan secara jelas dan tersirat tentang potret buram fenomena yang dialami sebagian rakyat Indonesia itu.
"Awalnya saya tidak paham apa yang mau disampaikan buku tersebut. Tetapi setelah membacanya, buku ini sarat akan pesan moral, sosial, kesetaraan gender dan terutama pergumulan moral yang bermula dari isu kemiskinan di tengah masyarakat kita," katanya.
Mahyudin memaparkan bahwa buku tersebut menceritakan seorang perempuan berpindidikan minim dengan berlatar belakang di Singkawang yang melihat satu-satunya jalan keluar dari lingkaran kemiskinan adalah dengan menjadi seorang 'pengantin pesanan'.
Namun, ia menegaskan bahwa fenomena itu bukanlah budaya daerah tersebut melainkan muncul karena kemiskinan dan minimnya pendidikan bahkan terjadi di daerah-daerah serta negara-negara berkembang lainnya, sebab dua masalah tersebut sangat dilematis bagi negara-negara berkembang.
Pada intinya, lanjut Mahyudin, rakyat Indonesia harus bersemangat untuk melakukan sejumlah upaya mencerdaskan bangsa dan terus memperjuangkan keadilan demi memperoleh pendidikan dan pemerintah harus mewujudkan semua itu karena pendidikan baik akan berikan kemampuan berkembang dalam ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan dan menanamkan kesadaran martabat manusia untuk menggapai masa depan.
"Kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat atau daerah harus diminimalkan bahkan dihilangkan dengan mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia," tandasnya.(KR-HSI)
Baca juga: Mahyudin tekankan pentingnya kesiapan masyarakat hadapi pemilu langsung
Baca juga: Wakil Ketua MPR berharap sistem pemilu di evaluasi
Pewarta: Hendri Sukma Indrawan
Editor: Jaka Sugiyanta
Copyright © ANTARA 2018
Tags: