"Sama seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Cina yang juga banyak melakukan investasi fasilitas EBT. Pada akhirnya ini tidak hanya untuk alasan perubahan iklim saja," kata Kristeensen dalam diskusi panel di Jakarta, Kamis.
Diskusi bertema Vsi dan Pengalaman Transisi Energi Menuju Sistem Energi Rendah Karbon di Forum Dialog Transisi Energi Indonesia 2018 yang digelar Institute for Essential Services Reform (IESR).
Menurut dia, Denmark mulai melakukan transisi energi bersih di era 1970-an saat 90 persen masih menggunakan minyak bumi sementara harganya melonjak tajam. Saat itu diputuskan untuk mengurangi impor.
"Jadi kasusnya sama dengan Indonesia, awalnya tidak hanya soal hijau saja," katanya.
Alasan selanjutnya, karena perubahan iklim. Tidak hanya berupaya mengalihkan ke energi terbarukan tetapi juga berupaya menurunkan konsumsi energi.
Hal yang berat dalam transisi ke energi bersih, menurut dia, sama dengan apa yang disebutkan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, yakni pembangunan fasilitas EBT yang mahal. Namun, sekarang justru energi bersih yang termurah, contohnya energi bayu.
Denmark melakukan transisi dari energi kotor ke bersih dalam kurun waktu 20 tahun. Dan dirinya membenarkan proyeksi yang diungkapkan IESR soal harga EBT yang menjadi semakin murah di masa depan.
Isu teknologi dan dimensi lainnya memang juga menjadi pembahasan di Denmark. Tapi secara politik, 20 tahun terakhir komitmen tetap sama yakni menggunakan energi bersih, kata Kristeensen.
"Coal or fosil face-out sudah jelas dilakukan, itu arah kebijakan yang kami ambil sesuai dengan kesepakatan energi. Insentif di awal transisi diberikan dan sekarang pasarnya sudah mature sehingga industri sudah bergerak dengan sendirinya," katanya.
Sementara itu, Direktur IESR Fabby Tumiwa mengatakan EBT sudah menjadi mainstream di banyak negara.
Penyebabnya tidak lain adalah harga teknologi energi terbarukan yang semakin murah dan kompetitif terhadap teknologi pembangkit fosil, peralatan listrik yang lebih hemat penggunaan energinya, serta upaya global untuk mencapai target Paris Agreement, yaitu membatasi kenaikan temperatur global dibawah 2?C.
Daya disrupsi dari teknologi energi terbarukan, seperti solar PV (photovoltaic) dan turbin angin akan sulit dibendung di masa depan karena harga teknologi yang turun dengan drastis dan efisiensi yang meningkat.
Pada periode 2009-2015, harga solar PV telah mengalami penurunan 80 persen, dan International Renewable Energy Agency (IRENA) memperkirakan harga solar PV akan turun lebih jauh sebesar 60 persen hingga 2025 mendatang.
Sedangkan harga turbin angin telah turun rata-rata 38 persen sejak 2009. Di sejumlah negara hal ini membuat harga listrik dari energi terbarukan lebih murah daripada listrik dari pembangkit thermal.*
Baca juga: Ancaman buat PLN, harga listrik tenaga surya bakal lebih murah dari listrik jaringan
Baca juga: Sultra-Korsel kembangkan energi terbarukan