Pengamat ini menilai kampanye pilpres terlalu mengumbar kata-kata
13 November 2018 11:55 WIB
Calon Presiden Joko Widodo (kanan) dan Prabowo Subianto (kiri) menunjukkan nomor urut Pemilu Presiden 2019 di Jakarta, Jumat (21/9/2018). Pasangan calon Presiden dan Wapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin mendapatkan nomor urut 01 dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapat nomor urut 02. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/kye
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik dari Universitas Paramadina Yandi Hermawandi mengatakan kampanye pemilihan presiden terlalu banyak mengumbar kata-kata yang tidak perlu.
Hal itu justru menjauhkan dari esensi demokrasi serta tidak produktif bagi pemilih.
Menurut Yandi di Jakarta, Selasa, pernyataan seperti politikus sontoloyo, politik genderuwo atau tampang Boyolali menjadi permainan yang terus direproduksi, sementara did alamnya tidak ada informasi yang dibutuhkan masyarakat dalam menentukan pilihan.
"Politik sontoloyo dan genderuwo vs muka Boyolali tidak akan berefek pada target elektabilitas. Kampanye politik dengan instrumen semantik (word war/debat diksi) seperti ini hanya berefek pada perhatian pemilih (atensi) tapi tidak berefek pada pilihan (preferensi)," katanya.
Ia mengatakan, pemilih rasional, terutama dari kalangan milenial, masih menunggu perbedaan dari program-program unggulan pasangan Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo Sandi.
"Kampanye politik seharusnya menjadi momentum untuk semakin mempertajam tawaran diferensiasi dari program-program unggulan para kandidat ke pada masyarakat," katanya.
Selain itu, menurut Yandi, pernyataan para capres dan cawapres tersebut berpotensi menjadi Hoax karena ada kesalahan berpikir. Padahal publik saat ini sedang giat menghindari berita bohong atau hoaks.
Menurut dia, pernyataan politikus sontoloyo, politik genderuwo, tampang boyolali, masuk dalam kategori kesalahan berpikir (intelektual cul-de-sac) karena tidak ditopang oleh argumentasi yang kuat.
"Dalam logika komunikasi politik ini biasa disebut 'fallacy of hasty generalization', kekeliruan berpikir karena membuat suatu generalisasi yang terbaru-buru," katanya.
Baca juga: KIPP: Persepsi unsur-unsur Gakkumdu harus disamakan
Baca juga: Bawaslu sosialisasikan pengawasan kampanye Pemilu 2019
Hal itu justru menjauhkan dari esensi demokrasi serta tidak produktif bagi pemilih.
Menurut Yandi di Jakarta, Selasa, pernyataan seperti politikus sontoloyo, politik genderuwo atau tampang Boyolali menjadi permainan yang terus direproduksi, sementara did alamnya tidak ada informasi yang dibutuhkan masyarakat dalam menentukan pilihan.
"Politik sontoloyo dan genderuwo vs muka Boyolali tidak akan berefek pada target elektabilitas. Kampanye politik dengan instrumen semantik (word war/debat diksi) seperti ini hanya berefek pada perhatian pemilih (atensi) tapi tidak berefek pada pilihan (preferensi)," katanya.
Ia mengatakan, pemilih rasional, terutama dari kalangan milenial, masih menunggu perbedaan dari program-program unggulan pasangan Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo Sandi.
"Kampanye politik seharusnya menjadi momentum untuk semakin mempertajam tawaran diferensiasi dari program-program unggulan para kandidat ke pada masyarakat," katanya.
Selain itu, menurut Yandi, pernyataan para capres dan cawapres tersebut berpotensi menjadi Hoax karena ada kesalahan berpikir. Padahal publik saat ini sedang giat menghindari berita bohong atau hoaks.
Menurut dia, pernyataan politikus sontoloyo, politik genderuwo, tampang boyolali, masuk dalam kategori kesalahan berpikir (intelektual cul-de-sac) karena tidak ditopang oleh argumentasi yang kuat.
"Dalam logika komunikasi politik ini biasa disebut 'fallacy of hasty generalization', kekeliruan berpikir karena membuat suatu generalisasi yang terbaru-buru," katanya.
Baca juga: KIPP: Persepsi unsur-unsur Gakkumdu harus disamakan
Baca juga: Bawaslu sosialisasikan pengawasan kampanye Pemilu 2019
Pewarta: M Arief Iskandar
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018
Tags: