Artikel
Mendalami kehidupan para pendiri bangsa melalui suratnya
13 November 2018 11:12 WIB
Salah satu surat Mohammad Hatta dalam Pameran Surat Pendiri Bangsa di Museum Nasional yang berlangsung pada 10-22 November 2018. (ANTARA/Aubrey Fanani).
Jakarta (ANTARA News) - Mohammad Hatta menuliskan pengalamannya bersama Sjahrir serta tahanan politik lainnya saat diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Tanahmerah, Boven Digoel pada 1935, kemudian ke Banda Neira pada 1936 dalam tulisannya "Kenang-kenangan masa lampau bersama Sjahrir" dalam buku "Mengenang Sjahrir" (1980).
Hatta mengungkapkan dalam pengasingan di Banda Neira, Maluku, Sjahrir lebih merasa kesepian karena dia lebih banyak diam dibandingkan saat Sjahrir diasingkan ke Tanahmerah, Boven Digul, Papua, sebab Sjahrir masih bisa mengobrol dengan sesama tahanan.
Namun jika membaca surat Sjahrir yang ditulis dalam Bahasa Belanda kepada istrinya Maria Duchateau pada 30 Mei 1935 di Amsterdam, Belanda, kita dapat mengetahui bahwa selama di Tanahmerah, Sjahrir juga merasakan kesepian yang dalam.
"Kadang-kadang aku merasa bahwa sesama buangan, sampai sahabat yang paling dekat pun, tidak bisa menyelami perasaanku. Di sini aku merasa lebih banyak kesepian dan sendiri, melebihi kesendirian di dalam sel penjara itu sendiri," tulis Sjahrir.
Dalam pengasingannya di Boven Digul, surat-surat dari Maria yang disapanya dengan panggilan sayang, Mieske, menjadi satu-satunya obat dari rasa sepi tersebut.
Dalam suratnya, Sjahrir menceritakan banyak hal kepada istrinya, mulai dari perjuangannya, keadaan di tempat tahanan, teman-temannya, hingga hal-hal yang lebih serius seperti kondisi situasi politik internasional.
Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan dengan adanya surat tersebut maka kita dapat melihat gambaran sejarah yang utuh dari pengalaman hidup para pendiri bangsa.
"Berdasarkan keterangan Hatta, Sjahrir lebih kesepian di Banda Neira daripada di Boven Digul. Namun dari surat Sjahrir kita dapat mengetahui ternyata dia juga merasa kesepian yang sama. Inilah pentingnya melihat sejarah dari dua sisi yang berbeda," kata dia.
Beberapa surat dari Sjahrir kepada Mieske saat ini tengah dipamerkan di Museum Nasional bersama sejumlah surat dari para tokoh bangsa lainnya dalam pameran "Surat Pendiri Bangsa" yang diseleggarakan oleh Kementerian Pendidian dan Kebudyaan RI bersama Historia.id pada 10 hingga 22 November.
Bonnie Triayana dan Aryono, sebagai kurator pameran memilih 25 dari 35 surat yang mereka kumpulkan untuk kemudian ditampilkan dalam pameran tersebut, menurut Bonnie surat-surat yang ditampilkan menonjolkan otentitas pada tokoh pendiri bangsa.
Selain Sjahrir, tokoh bangsa lain yang dipamerkan suratnya juga adalah Sukarno, Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Kartini, Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka dan John Lie.
Surat-surat yang ditampilkan kebanyakan ditulis tangan, meski ada pula yang diketik dengan mesin tik. Sebagian besar isinya memuat hal-hal yang lebih personal yang dikirimkan kepada anak, istri atau kerabat terdekat saat mereka berada jauh dari "rumah", baik ketika sedang di pengasingan, atau tengah berjuang melawan keterasingan.
Sifat-sifat humanis para pahwalawan yang mungkin tak dapat kita temukan di buku-buku sejarah sekolah dapat kita temui dalam surat-surat mereka.
Tak banyak yang tahu kalau sosok yang terkesan serius layaknya Wakil Presiden pertama Republik Indonesia Mohammad Hatta ternyata bisa juga berkelakar atau Presiden Sukarno yang juga pernah diserang rasa malas.
Jamaknya, surat-surat yang ditampilkan adalah surat asli dan ditulis dalam Bahasa Belanda meski ada beberapa surat yang ditulis dalam Bahasa Indonesia, seperti surat Mohammad Hatta kepada anaknya Gemala Hatta yang sedang sekolah di Sydney, Australia.
Hatta sepintas terlihat sebagai tokoh yang kaku dan serius bahkan dia bertekad tak menikah sebelum Indonesia Merdeka. Namun sikapnya yang kaku seakan luntur saat kita membaca suratnya kepada Gemala.
Dalam dua surat untuk Gemala yang dipamerkan tersebut, Hatta selalu mengawali surat dengan menuliskan "Gemala yang manis" dan mengakhiri pesan dengan kata "Peluk-cium dari ayah", tak lupa dia selalu berpesan kepada Gemala untuk rajin belajar agar tujuannya di Australia berhasil dengan baik.
Dia juga berkelakar kepada Gemala, pada surat yang ditulis di Jakarta 24 Juni 1974, dia bercerita bahwa Eddie (suami Meutia Hatta) mengatakan dirinya dan Gemala saat di Sydney makan di restoran Padang.
"Ayah tak mengira di Sydney juga ada restoran Padang. Menurut Eddie malahan ada 3. Mungkin hanya di bulan yang belum ada restoran Padang." tulis Hatta.
Sementara Sukarno, sempat meminta maaf kepada sekretaris Java-Instituut Samuel Koperberg karena dalam waktu setengah tahun hanya bisa menyelesaikan 25 halaman tentang riwayat mentor politiknya, HOS Tjokroaminoto yang diminta Sam. Untuk diketahui, Java Insitituut secara berkala menerbitkan majalah Djawa.
"Saya merasa malu karena untuk 25 hal yang kecil ini, saya lewatkan setengah tahun karena... malas. Kalau kamu mau memarahi saya, saya ikhlas menerima itu," kata Soekarno dalam surat yang ditulis di pengasingan Ende pada 28 November 1936 itu
Baca juga: Ada koleksi surat Soekarno di Museum Pasifika Badung Bali
Kisah-kisah lain mengenai para tokoh bangsa ini pun tersaji dengan baik bukan hanya karena surat-surat itu ditulis oleh sumber pertama sejarahnya lengkap dengan sisi lainnya tetapi juga karena tata letak pameran yang membuat isi dari surat-surat tersebut semakin mudah dipahami.
Surat-surat itu dipajang di atas meja sekaligus bingkai berkaki satu serupa podium yang dibentuk menjadi sebuah lingkaran. Selain itu, disertakan pula terjemahan dari beberapa surat yang berbahasa Belanda dan profil dari penerima surat tersebut.
Belum lagi gambar para tokoh yang dipasang memutar di langit-langit ruang pameran lengkap dengan latar belakang peristiwa yang menyelubungi kisah dalam surat dan kutipan menarik dari surat-surat tersebut.
Menurut Bonnie, surat-surat ini dia kumpulkan lewat beberapa sumber seperti Arsip Nasional Republik Indonesia Jakarta, Museum Taman Siswa Yogyakarta, Museum Pernakan Tionghoa Serpong, Nationaal Archief Den Haag, dan International Insitituut voor Sociale Geschiedenis Amsterdam.
Beberapa surat juga dia dapatkan dari keluarga seperti surat Hatta untuk Gemala Hatta, surat Tan Malaka dari sejarawan Harry Poeze yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari tahu tentang Bung Tan, atau surat Sjahrir yang diperoleh dari guru besar sastra dan peradaban Belanda di Universitas Sorbone, Perancis, Kees Snoek.
"Semoga pameran surat Pendiri Bangsa ini menjadi cara menarik belajar sejarah bagi generasi muda Indonesia," kata Bonnie.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud RI Hilmar Farid menyebut surat pribadi adalah salah satu arsip primer yang sangat penting untuk mengenali pemikiran dan mendapatkan kisah tentang pengalaman para pendiri bangsa langsung dari tangan pertama.
Dia pun berharap lewat pameran yang disiapkan dengan riset menyeluruh ini bisa menjadi budaya masyarakat ke depannya.
"Kebiasaan membaca serta memeriksa sumber informasi secara kritis seyogianya bisa menjadi budaya masyarakat. Karena belajar sejarah bisa jadi alternatif untuk meningkatkan minat generasi muda membaca, tentu dengan penyajian yang menarik dan mudah dipahami," kata dia.
Baca juga: Sejarawan ungkap efek kolonialisme-feodalisme di Nusantara
Baca juga: Sejarawan: Indonesia miliki 173 pahlawan nasional
Hatta mengungkapkan dalam pengasingan di Banda Neira, Maluku, Sjahrir lebih merasa kesepian karena dia lebih banyak diam dibandingkan saat Sjahrir diasingkan ke Tanahmerah, Boven Digul, Papua, sebab Sjahrir masih bisa mengobrol dengan sesama tahanan.
Namun jika membaca surat Sjahrir yang ditulis dalam Bahasa Belanda kepada istrinya Maria Duchateau pada 30 Mei 1935 di Amsterdam, Belanda, kita dapat mengetahui bahwa selama di Tanahmerah, Sjahrir juga merasakan kesepian yang dalam.
"Kadang-kadang aku merasa bahwa sesama buangan, sampai sahabat yang paling dekat pun, tidak bisa menyelami perasaanku. Di sini aku merasa lebih banyak kesepian dan sendiri, melebihi kesendirian di dalam sel penjara itu sendiri," tulis Sjahrir.
Dalam pengasingannya di Boven Digul, surat-surat dari Maria yang disapanya dengan panggilan sayang, Mieske, menjadi satu-satunya obat dari rasa sepi tersebut.
Dalam suratnya, Sjahrir menceritakan banyak hal kepada istrinya, mulai dari perjuangannya, keadaan di tempat tahanan, teman-temannya, hingga hal-hal yang lebih serius seperti kondisi situasi politik internasional.
Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan dengan adanya surat tersebut maka kita dapat melihat gambaran sejarah yang utuh dari pengalaman hidup para pendiri bangsa.
"Berdasarkan keterangan Hatta, Sjahrir lebih kesepian di Banda Neira daripada di Boven Digul. Namun dari surat Sjahrir kita dapat mengetahui ternyata dia juga merasa kesepian yang sama. Inilah pentingnya melihat sejarah dari dua sisi yang berbeda," kata dia.
Beberapa surat dari Sjahrir kepada Mieske saat ini tengah dipamerkan di Museum Nasional bersama sejumlah surat dari para tokoh bangsa lainnya dalam pameran "Surat Pendiri Bangsa" yang diseleggarakan oleh Kementerian Pendidian dan Kebudyaan RI bersama Historia.id pada 10 hingga 22 November.
Bonnie Triayana dan Aryono, sebagai kurator pameran memilih 25 dari 35 surat yang mereka kumpulkan untuk kemudian ditampilkan dalam pameran tersebut, menurut Bonnie surat-surat yang ditampilkan menonjolkan otentitas pada tokoh pendiri bangsa.
Selain Sjahrir, tokoh bangsa lain yang dipamerkan suratnya juga adalah Sukarno, Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Kartini, Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka dan John Lie.
Surat-surat yang ditampilkan kebanyakan ditulis tangan, meski ada pula yang diketik dengan mesin tik. Sebagian besar isinya memuat hal-hal yang lebih personal yang dikirimkan kepada anak, istri atau kerabat terdekat saat mereka berada jauh dari "rumah", baik ketika sedang di pengasingan, atau tengah berjuang melawan keterasingan.
Sifat-sifat humanis para pahwalawan yang mungkin tak dapat kita temukan di buku-buku sejarah sekolah dapat kita temui dalam surat-surat mereka.
Tak banyak yang tahu kalau sosok yang terkesan serius layaknya Wakil Presiden pertama Republik Indonesia Mohammad Hatta ternyata bisa juga berkelakar atau Presiden Sukarno yang juga pernah diserang rasa malas.
Jamaknya, surat-surat yang ditampilkan adalah surat asli dan ditulis dalam Bahasa Belanda meski ada beberapa surat yang ditulis dalam Bahasa Indonesia, seperti surat Mohammad Hatta kepada anaknya Gemala Hatta yang sedang sekolah di Sydney, Australia.
Hatta sepintas terlihat sebagai tokoh yang kaku dan serius bahkan dia bertekad tak menikah sebelum Indonesia Merdeka. Namun sikapnya yang kaku seakan luntur saat kita membaca suratnya kepada Gemala.
Dalam dua surat untuk Gemala yang dipamerkan tersebut, Hatta selalu mengawali surat dengan menuliskan "Gemala yang manis" dan mengakhiri pesan dengan kata "Peluk-cium dari ayah", tak lupa dia selalu berpesan kepada Gemala untuk rajin belajar agar tujuannya di Australia berhasil dengan baik.
Dia juga berkelakar kepada Gemala, pada surat yang ditulis di Jakarta 24 Juni 1974, dia bercerita bahwa Eddie (suami Meutia Hatta) mengatakan dirinya dan Gemala saat di Sydney makan di restoran Padang.
"Ayah tak mengira di Sydney juga ada restoran Padang. Menurut Eddie malahan ada 3. Mungkin hanya di bulan yang belum ada restoran Padang." tulis Hatta.
Sementara Sukarno, sempat meminta maaf kepada sekretaris Java-Instituut Samuel Koperberg karena dalam waktu setengah tahun hanya bisa menyelesaikan 25 halaman tentang riwayat mentor politiknya, HOS Tjokroaminoto yang diminta Sam. Untuk diketahui, Java Insitituut secara berkala menerbitkan majalah Djawa.
"Saya merasa malu karena untuk 25 hal yang kecil ini, saya lewatkan setengah tahun karena... malas. Kalau kamu mau memarahi saya, saya ikhlas menerima itu," kata Soekarno dalam surat yang ditulis di pengasingan Ende pada 28 November 1936 itu
Baca juga: Ada koleksi surat Soekarno di Museum Pasifika Badung Bali
Kisah-kisah lain mengenai para tokoh bangsa ini pun tersaji dengan baik bukan hanya karena surat-surat itu ditulis oleh sumber pertama sejarahnya lengkap dengan sisi lainnya tetapi juga karena tata letak pameran yang membuat isi dari surat-surat tersebut semakin mudah dipahami.
Surat-surat itu dipajang di atas meja sekaligus bingkai berkaki satu serupa podium yang dibentuk menjadi sebuah lingkaran. Selain itu, disertakan pula terjemahan dari beberapa surat yang berbahasa Belanda dan profil dari penerima surat tersebut.
Belum lagi gambar para tokoh yang dipasang memutar di langit-langit ruang pameran lengkap dengan latar belakang peristiwa yang menyelubungi kisah dalam surat dan kutipan menarik dari surat-surat tersebut.
Menurut Bonnie, surat-surat ini dia kumpulkan lewat beberapa sumber seperti Arsip Nasional Republik Indonesia Jakarta, Museum Taman Siswa Yogyakarta, Museum Pernakan Tionghoa Serpong, Nationaal Archief Den Haag, dan International Insitituut voor Sociale Geschiedenis Amsterdam.
Beberapa surat juga dia dapatkan dari keluarga seperti surat Hatta untuk Gemala Hatta, surat Tan Malaka dari sejarawan Harry Poeze yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari tahu tentang Bung Tan, atau surat Sjahrir yang diperoleh dari guru besar sastra dan peradaban Belanda di Universitas Sorbone, Perancis, Kees Snoek.
"Semoga pameran surat Pendiri Bangsa ini menjadi cara menarik belajar sejarah bagi generasi muda Indonesia," kata Bonnie.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud RI Hilmar Farid menyebut surat pribadi adalah salah satu arsip primer yang sangat penting untuk mengenali pemikiran dan mendapatkan kisah tentang pengalaman para pendiri bangsa langsung dari tangan pertama.
Dia pun berharap lewat pameran yang disiapkan dengan riset menyeluruh ini bisa menjadi budaya masyarakat ke depannya.
"Kebiasaan membaca serta memeriksa sumber informasi secara kritis seyogianya bisa menjadi budaya masyarakat. Karena belajar sejarah bisa jadi alternatif untuk meningkatkan minat generasi muda membaca, tentu dengan penyajian yang menarik dan mudah dipahami," kata dia.
Baca juga: Sejarawan ungkap efek kolonialisme-feodalisme di Nusantara
Baca juga: Sejarawan: Indonesia miliki 173 pahlawan nasional
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018
Tags: