Tembok-tembok tinggi yang mengelilingi rumah dan pekarangan dengan luasnya sekitar satu hektare itu secara otomatis menggambarkan kekuatan finansial si pemilik. Hebatnya, ada puluhan rumah seperti ini di Kelurahan Laweyan.
Konon Kampung Laweyan sudah ada sejak abad ke-15 pada masa pemerintahan Kerajaan Pajang. Namun puncak kejayaannya terjadi pada awal tahun 1900-an saat seorang pengusaha batik KH Samanhudi mendirikan Serikat Dagang Islam. Kala itu, pendapatan Samanhudi per hari mencapai 8.000 gulden, sementara gaji presiden hanya 800 gulden per bulan.
Awalnya, kawasan ini ditumbuhi pohon kapas dan merupakan sentra industri benang yang kemudian berkembang menjadi sentra industri kain tenun dan bahan pakaian.
Kain-kain hasil tenun dan bahan pakaian ini sering disebut dengan Lawe, sehingga daerah ini kemudian disebut dengan Laweyan. Kemudian, industri dan perdagangan di Laweyan semakin berkembang semenjak digunakannya Kali Kabangan sebagai jalur transportasi dari dan menuju Kerajaan Pajang.
Bukan hanya melahirkan kain batik yang bagus, daerah ini juga melahirkan sejumlah tokoh pergerakan nasional, seperti Kyai Ageng Henis yang merupakan keturunan Brawijaya V yang kemudian mempunyai keturunan Ki Ageng Pemanahan yang mendirikan Kerajaan Mataram di Kotagede.
Karena letaknya yang strategis, Laweyan pun menjadi salah satu kota perdagangan yang maju ketika itu.
Sebagai kota perdagangan, dibangunlah sebuah bandar (pelabuhan) yang berada di sisi selatan kampung dan di sebelah timur masjid di pinggir Kali Kabangan. Namun, peninggalan bandar ini sudah tidak dapat ditemukan lagi.
Kehidupan masyarakat di Laweyan ini dapat dilihat dari bentuk-bentuk bangunan yang ada. Setiap rumah saudagar biasanya dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi, tujuannya demi alasan keamanan dan tidak saling mengetahui rahasia perusahaan.
Namun walau setiap rumah dibatasi dengan tembok, antarrumah terdapat pintu yang menghubungkan rumah satu dengan yang lainnya sehingga silaturahmi tetap terjaga.
Bentuk bangunan di kawasan tengah dan utara Laweyan kebanyakan membentuk jalan mati, di mana jalan ini terkesan sepi karena berada di antara tembok-tembok rumah yang saling membelakangi.
Sedangkan kawasan di daerah selatan yang dekat dengan Kali Kabangan, rumahnya cenderung terbuka dan membentuk jalan hidup di mana pintu-pintu bagian depan rumah saling berhadap-hadapan sehingga memungkinkan interaksi.
Laweyan Kini
Namun, siapa sangka, industri batik tulis dan cap di Laweyan sempat kolaps ketika masuknya batik-batik sablon (printing).
Proses pembuatan batik yang lebih cepat dan massal membuat harga batik sablon menjadi murah. Tentu saja ini menghantam industri batik tulis dan cap yang ada di Laweyan, apalagi ada ekspansi dari produk asal China.
Akibatnya sejumlah pengusaha batik di Laweyan pun gulung tikar sekitar tahun 70-an. Bisnis batik di Laweyan yang dilakukan secara turun temurun pun terputus, dan para pemuda Laweyan justru banyak yang keluar dari area dan mencoba peruntungan di luar Laweyan.
Namun pada tahun 2000-an industri batik Laweyan pun kembali bangkit. Apalagi semenjak dibentuknya forum Kampung Batik Laweyan mencoba mengangkat kembali potensi wisata kampung cagar budaya ini.
Jika dulu para pengusaha batik hanya menjadi produsen dan suplier, kini mereka juga membuka kamar pameran di rumahnya masing-masing. Saat ini tercatat terdapat 92 unit butik rumahan di Laweyan yang memajang busana-busana berbahan batik yang sedang trendy. Jika berkeliling menyusuri lorong-lorong Laweyan dan blusukan masuk ke rumah-rumah saudagar batik untuk melihat dengan lebih dekat proses pembuatan batik.
Waktu yang dianjurkan untuk melihat aktivitas di kampung ini adalah pagi hari. Mulai dari pembuatan, pencelupan, hingga penjemuran kain-kain batik dapat kita lihat hingga tengah hari. Akivitas ini kerap dijadikan sarana untuk mendatangkan wisatawan yang ingin mengecap wisata budaya dan wisata sejarah.
Salah seorang pengusaha batik di Laweyan, Andiyansah mengatakan cukup sulit bagi mereka untuk bertahan dengan gempuran produk-produk impor dari China.
Maklum saja, batik tulis dan batik cap dibandingkan batik jenis printing jauh lebih mahal. Hal ini karena terdapat proses yang harus dilalui dan sebagian besar dilakukan secara handmade.
Sebagai gambaran, harga satu lembar kain batik tulis berkualitas sedang berkisar Rp250.000, sementara batik printing hanya Rp50.000-Rp100.000.
Kondisi ini membuat pangsa pasarnya menyempit sehingga produk batik tulis ini hanya diinginkan segmen tertentu yang sudah memahami bahwa kain batik itu `mahal karena ada proses yang harus dilalui.
"Jadi caranya, kami terus memberikan edukasi ke konsumen bahwa kain batik yang asli itu seperti ini cara buatnya. Umumnya, wisatawan-wisatan manca negara yang lebih menghargai," kata dia.
Untuk tetap bertahan di kondisi ini, mau tidak mau, Andiyansa dan teman-temannya berinovasi melahirkan produk yang lebih murah sesuai keinginan pasar. Salah satunya, melahirkan kain batik modifikasi antara batik tulis batik cap. Bahkan ada juga yang melahirkan produk batik printing.
"Jadi harus jual ketiga-tiganya, mulai dari tulis, cap dan printing jika mau bertahan saat ini," kata dia.
Selain itu, yang tak kalah penting yakni melakukan model penjualan secara online untuk menjajal konsumen yang lebih luas. Ia pun bisa meraih pesanan dari negara-negara di Eropa, Amerika Serikat, hingga kota-kota lain di Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Dengan inovasi dan semangat untuk selalu beradaptasi dengan kemajuan teknologi, Andiyansah optimistis bahwa Laweyan akan tetap eksis di masa datang. Namun untuk kembali ke masa kejayaan KH Samanhudi, ia hanya tersenyum simpul apalagi saat ini mereka juga dihadapkan persoalan sulitnya mendapatkan tenaga kerja karena pebatik pada umumnya enggan anaknya berprofesi yang sama.*
Baca juga: Festival Laweyan ajak masyarakat belajar membatik