Jakarta (Antara/Jacx) - Siapa yang bertanggung-jawab atas persebaran kabar bohong dan ujaran kebencian di lini media sosial yang meresahkan masyarakat dewasa ini?
Mereka yang membikin hoax atau perusahaan pemilik platform media sosial yang menjadi sarana penyebaran hoaks? Dalam urusan ini, kita sering berhadapan dengan analogi tentang “jalan raya”.
Layanan-layanan media-sosial seperti Facebook, Youtube, Twitter, Instagram sering diumpamakan sebagai “jalan raya” yang disediakan secara gratis untuk semua orang.
Digambarkan dengan dermawan dan tanpa pretensi, perusahaan penyedia layanan media-sosial itu telah “mewakafkan” teknologi terbaru dan fasilitas penyimpanan data yang mereka miliki untuk digunakan secara cuma-cuma oleh semua orang di seluruh penjuru dunia.
Tak bisa disangkal, media-sosial memang menimbulkan kegembiraan, gairah dan kemudahan-kemudahan baru bagi masyarakat.
Sebuah mode interaksi sosial baru telah lahir dan menghentakkan dunia. Masyarakat menikmatinya dan berasyik-masyuk dengan mainan baru itu saban hari. Penguna media-sosial terus mengalami lompatan tajam. Hingga pada suatu titik, kita mendapati ada yang mabuk-kepayang dan lupa diri.
Mereka menggunakan media-sosial bukan untuk menguatkan empati sosial dan saling-pengertian antar sesama, bukan hanya untuk bereuni dengan kawan lama, tetapi juga untuk bertindak jahat kepada orang lain.
Media-sosial belakangan begitu lekat dengan gambaran tentang sarana untuk menghujat, menghakimi, merendahkan dan memfitnah orang lain. Media-sosial begitu identik dengan hoaks.
Ketika masalah yang muncul pada aras ini semakin kompleks dan meresahkan masyarakat, siapa yang mesti bertanggung-jawab? Apakah hanya si pembuat hoaks? Atau perusahaan media-sosial yang telah menyediakan sarana “jalan-raya” yang konon gratis itu dan menjadi sarana persebaran hoaks?
Analagi platform media-sosial sebagai “jalan raya” gratis adalah sebuah versi penjelasan yang bermuara pada kesimpulan: tidak sepatutnya Facebook, Youtube, Twitter, Instagram dipersalahkan atas hoaks dan ujaran kebencian yang terjadi pada lini media-sosial yang mereka sediakan.
Layanan media-sosial itu telah disediakan secara gratis. Padahal menggunakan teknologi yang tinggi dan melibatkan investasi yang mahal. Semua orang dapat menggunakannya secara cuma-cuma.
Tidak ada paksaaan untuk menggunakannya. Lalu jika ada masalah di “jalan raya” itu karena ulah penggunanya, apakah si dermawan yang menyediakan jalan raya itu mesti bertanggung-jawab?
Karena sifat gratis itu, juga karena konsumsi media-sosial diasumsikan berdasar pada kebebasan penggunanya dan tidak ada paksaan, maka jika ada percekcokan di antara pengguna “jalan raya”, semestinya bukan tanggung-jawab penyedia “jalan-raya” lagi.
Jika ada hoaks yang menyebar di sana dan menimbulkan perselisihan, semestinya tanggung-jawab ada pada pembuat hoax. Semestinya perselisihan itu direduksi sekedar sebagai masalah antara si pembuat hoaks dan korban hoaks.
Perusahaan penyedia layanan media-sosial yang dianalogikan dengan “jalan raya” gratis itu sepatutnya imun dari tanggung-jawab.
Analogi media-sosial sebagai “jalan-raya” gratis ini kedengarannya masuk-akal. Tak heran, banyak pihak terkecoh dan mendukungnya. Sebagian dari mereka bahkan menjadi pendukung cukup fanatik dari Facebook, Twitter dan lain-lain manakala perusahaan ini menghadapi gugatan terkait dengan peran mereka dalam penyebarluasan hoaks.
Pengguna internet pada umumnya, tidak melihat relevansi tanggung-jawab perusahaan penyedia layanan media-sosial itu dalam urusan hoax. Demikian juga yang terjadi pada aras penegakan hukum atas hoaks.
Perspektif korporasi absen dalam diskursus tentang penanggulangan hoax di indonesia. Yang dianggap mesti bertanggung jawab atas persebaran hoaks dewasa ini hanya si pembuat hoaks saja.
Korporasi penyedia layanan media-sosial sama sekali tidak dipersoalkan secara hukum oleh Polisi. Polisi hanya sibuk menindak para pembuat hoaks. Padahal, tanpa banyak disadari, Facebook, Twitter dan lain-lain sebenarnya diuntungkan dengan kontroversi hoaks.
Semakin kontroversial hoaks, semakin banyak pengguna atau pengunjung mereka, semakin banyak data-perilaku-pengguna-internet (internet user behavior data-red) yang mereka peroleh, semakin cerdas algoritma dan produk kecerdasan-buatan mereka, semakin besar potensial pendapatan iklan mereka.
Namun sekali lagi sejauh ini, mereka imun dari tanggung jawab. Penegak hukum belum menempatkan mereka sebagai subyek hukum yang semestinya juga bertanggung-jawab dalam permasalahan hoaks. Para penegak hukum tampaknya juga telah tersihir oleh analogi “jalan-raya” gratis tadi.
Kalaupun analogi media-sosial dengan “jalan raya” itu tetap digunakan, yang digambarkan di atas adalah analogi yang tidak utuh. Analogi yang hanya diceritakan separuh jalan. Memang media-sosial dapat digunakan oleh semua orang dan memberi manfaat yang tidak sedikit.
Namun apakah media-sosial itu benar-benar gratis? Apa benar kita menikmati media-sosial secara cuma-cuma? Pada titik ini, ada dua variable yang perlu ditambahkan pada analogi media-sosial sebagai “jalan raya” di atas.
Pertama, kita mesti membayangkan di kiri-kanan “jalan raya” itu telah dipasang dipasang CCTV yang berjejer-jejer dari awal hingga ujung jalan. CCTV itu mengawasi dan merekam semua gerak-gerik semua pengguna “jalan-raya”.
Hasilnya adalah catatan yang rinci tentang siapa setiap individu pengguna “jalan-raya” itu, dengan siapa mereka bergaul, bagaimana perilaku konsumsi mereka, bagaimana keyakinan ideologi mereka, apa masalah kesehatan mereka dan seterusnya.
Catatan-catatan ini adalah harta-karun bernilai tinggi yang secara sepihak dimiliki perusahaan-perusahaan layanan media-sosial. CCTV itu adalah analogi dari algoritma perusahaan-perusahaan layanan media-sosial. Catatan rinci itu adalah analogi dari data-perilaku-pengguna-internet yang digunakan perusahaan media-sosial untuk mengembangkan produk kecerdasan-buatan, machine-learning dan iklan digital tertarget.
Kedua, kita juga mesti membayangkan di sepanjang “jalan-raya” itu dipasang spanduk, baliho, papan reklame dan lain-lain. Isinya adalah pesan-pesan komersial, sosial dan politik yang terus-menerus menarik dan mengusik perhatian pengguna jalan.
Tak jarang, pesan-pesan itu memasuki ranah pribadi si pengguna jalan. Spanduk, baliho dan papan reklame itu adalah analogi dari iklan-iklan digital yang berseliweran di lini media-sosial. Dari iklan digital itu, perusahaan layanan media- sosial menangguk keuntungan ekonomi yang luar-biasa besar.
Singkat kata, analogi media-sosial sebagai “jalan raya” gratis itu adalah analogi yang cacat. Tidak ada yang benar-benar gratis dalam jagad media-sosial. Perusahaan layanan media-sosial memberikan banyak hal kepada penggunanya, tetapi juga mengambil banyak hal: privasi, kebebasan dan kedaulatan diri.
Tanpa banyak didasari, telah terjadi proses instrumentalisasi pengguna media-sosial sebagai obyek pengawasan dan periklanan digital. Telah terjadi pertukaran antara layanan digital gratis dengan data-perilaku-pengguna-internet gratis yang menurut banyak pakar tidak transparan dan tidak adil.
Revolusi digital seperti terepesentasikan oleh penetrasi media-sosial pada gilirannya menampakkan diri sebagai sebuah aporia.
Dia menawarkan kebebasan tetapi secara laten juga menghadirkan kontrol. Dia menyajikan kemungkinan-kemungkinan deliberasi sekaligus memperlihatkan tendensi instrumentalisasi.
Dia melahirkan peluang-peluang yang menjanjikan tentang ekonomi kreatif sekaligus juga bertendensi untuk menciptakan struktur kapitalisme baru di mana surplus ekonomi digital di berbagai negara sedemikian rupa diserap dalam porsi yang berlebihan oleh kekuatan-kekuatan raksasa digital yang memusat pada satu negara saja.
*Agus Sudibyo, Direktur Indonesia New Media Watch
Anti Hoax
Media Sosial Bukan "Jalan Raya" Yang Gratis
10 November 2018 10:13 WIB
- (Flickr/ATLAS Social Media)
Pewarta: Agus Sudibyo*
Editor: Panca Hari Prabowo
Copyright © ANTARA 2018
Tags: