Pengamat sarankan baiknya komunikasi Jokowi tidak "menyerang"
Survei Elektabilitas Pilkada DKI Pengamat Komunikasi Universitas Paramadina Hendri Satrio (kanan), Ketua DPP PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno (kedua kiri), Wasekjen Partai Demokrat Andi Nurpati (kedua kanan) serta Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono (kiri) menanggapi hasil survei yang dilakukan Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai KOPI), di Jakarta, Minggu (30/10/2016). Dalam survei yang dilakukan terhadap 694 responden dari enam wilayah di Jakarta, termasuk Kepulauan Seribu pada 19-24 Oktober 2016 tersebut, elektabilitas calon petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat masih yang tertinggi 27,5 persen, Anies Baswedan-Sandiaga Uno 23,9 persen, dan Agus Harimurti Yodhoyono-Sylviana Murni 21 persen. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
"Bila mengacu pada teori fungsi kampanye, seharusnya Jokowi 'acclaim', mempromosikan diri atau minimal 'defense', bertahan bukan ikut 'attack' atau menyerang, " kata Hendri Satrio kepada Antara di Jakarta, Jumat.
Kondisi ini menurutnya kemungkinan terjadi karena tiga hal, pertama Jokowi terpengaruh "buzzer", pembisiknya sehingga terpancing keluar.
Kedua, kubu Jokowi panik sehingga memaksakan diri keluar karena percaya bahwa pertahanan terbaik adalah menyerang.
"Ketiga, atau memang aslinya gaya komunikasi politik Jokowi yang agresif sehingga memang inginnya muncul di permukaan," kata Hendri.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan politik dan pesta demokrasi itu sudah semestinya disambut dan dihinggapi rasa gembira oleh masyarakat Indonesia, bukan untuk menakut-nakuti.
Presiden melihat bahwa sekarang ini banyak politikus yang pandai memengaruhi masyarakat, namun yang amat disayangkan olehnya, para pelaku politik cenderung tidak memandang etika berpolitik dan keberadaban.
"Coba kita lihat politik dengan propaganda menakutkan, membuat ketakutan dan kekhawatiran. Setelah takut, yang kedua membuat sebuah ketidakpastian. Masyarakat emang digiring untuk ke sana. Dan yang ketiga, masyarakat akan menjadi ragu-ragu," kata Presiden saat acara penyerahan sertifikat hak atas tanah untuk masyarakat Kabupaten Tegal.
Presiden memiliki satu istilah khusus untuk menggambarkan perilaku berpolitik tak beretika yang menebar ketakutan dan kekhawatiran di tengah masyarakat.
Berangkat dari mitos Jawa mengenai makhluk halus, ia menyebut hal itu sebagai "Politik Genderuwo", politik yang menakut-nakuti.
"Cara-cara seperti ini adalah cara-cara politik yang tidak beretika. Masak masyarakatnya sendiri dibuat ketakutan? Itu namanya 'Politik Genderuwo', menakut-nakuti," kata Jokowi seperti yang dirilis oleh Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin.
Baca juga: "Politik Genderuwo", cara Jokowi ingatkan berpolitik harus gembira
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2018