Jakarta (ANTARA News) - Sekjend Komite Independen Pemantau Pemilu Kaka Suminta menilai pertimbangan Mahkamah Agung (MA) terkait putusan uji materi pasal 60A PKPU no 26/2018 tentang larangan pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD, bertentangan dengan logika hukum.

Menurut ia, di Jakarta, Kamis, PKPU no 26/2018 khususnya pasal 60 A sesuai amanat putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak lagi perlu ditafsirkan, sehingga pertimbangan Mahkamah Agung untuk meloloskan uji materi sehingga menganulir pasal tersebut tidak tepat.

MA menyatakan dalam pertimbangannya, Pasal 60A PKPU 26/2018 mengatur keharusan bagi pengurus partai politik untuk mengundurkan diri dari jabatannya bila mendaftar sebagai calon senator, tidak tepat diberlakukan untuk pemilu 2019.

Menurut MA, sesuai dengan prinsip Putusan Mahkamah Konstitusi yang berlaku prospektif ke depan sebagaimana tercermin dalam ketentuan pasal 47 UU MK.

PKPU yang diterbitkan saat tahapan telah dilaksanakan tidak sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu harus dapat dilaksanakan karena memperhitungkan efektivitas peraturan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

Pasal 60A PKPU 26/2018 juga dinilai MA bertentangan dengan asas ketertiban dan kepastian hukum, yang artinya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.

"Jelas pertimbangan MA bertentangan dengan logika hukum, yang diamanatkan putusan Mahkamah Konstitusi justru mempertegas posisi PKPU 26/2018, khususnya pasal 60 A," kata Kaka

Kaka mengatakan, Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 terkait pengujian Pasal 182 huruf I UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menegaskan larangan pengurus Partai Politik menjadi calon anggota DPD.

Hal itu juga dikuatkan dengan konferensi pers Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Kamis 20 September 2018, yang menegaskan bahwa MK tidak pernah menyatakan putusan tersebut baru berlakukan pada pemilu 2024.

Bahwa keputusan itu berlaku sejak diputuskan dan selesai diucapkan dalam sidang yang berlangsung untuk umum pada 23 Juli 2018. Hal itu berarti berlaku mulai pemilu 2019.

Untuk itu, Kaka Suminta meminta agar KPU tetap berpegang teguh pada putusan MK dan tidak perlu ragu.

"Sebuah amanat yang tak bisa ditafsirkan selain harus dilaksanakan dengan serta merta sepanjang menyangkut pemisahan antara domain DPD sebagai representasi daerah dan Parpol sebagai representasi warga negara," katanya.

Hal senada diungkapkan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR) Sunarto. Ia mengatakan, KPU tetap berpegang pada putusan Mahkamah Konstitusi.

"Putusan MK telah jelas, dan statusnya adalah UU. KPU tetap lanjut, putusan MA dapat dinafikan, KPU tidak usah melaksankan putusan tersebut, tidak ada yang salah," katanya.