Pengemudi tuding aplikator pakai tarif predator
8 November 2018 17:34 WIB
Pengemudi angkutan umum seperti taksi dan bajaj berdemonstrasi di depan Balai Kota DKI Jakarta untuk meminta pemerintah menertibkan layanan transportasi berbasis aplikasi. (ANTARA News/Natisha)
Jakarta (ANTARA News) - Kelompok mitra pengemudi ojek daring menuding perusahaan penyedia aplikasi (aplikator) banyak menerapkan sistem tarif predator.
"Kami melihat tarif terlalu rendah dan promo terlalu banyak dari aplikator. Ini kan tindakan 'predatory pricing' dan bisa mematikan angkutan alternatif lain," kata Presidium Gerakan Aksi Roda Dua (GARDA) Igun Wicaksana kepada pers di Jakarta, Kamis.
Igun memberikan contoh, salah satu promo yang paling fantastis adalah penerapan ongkos Rp1 yang dilakukan oleh Grab.
Oleh karena itu, dia menilai penerapan harga terlalu rendah dari salah satu aplikator, dalam hal ini Grab, membuat iklim bisnis menjadi tidak sehat.
Baca juga: Go-Jek dinilai lebih matang sejahterakan pengemudi
Pengenaan ongkos terlalu murah, menurut dia untuk konsumen akan memicu perang tarif, yang akhirnya lebih banyak merugikan mitra pengemudi.
"Perang tarif bisa membuat tarif terus menukik lebih tajam. Akhirnya yang dikorbankan adalah pengemudi, karena dipaksa kerja lebih ekstra," ujar Igun.
Selama ini, Igun melanjutkan, mitra pengemudi Grab Bike terpaksa harus menempuh kilometer lebih jauh dan jam kerja lebih lama untuk mendapatkan penghasilan harian yang memadai.
Akibatnya, berdampak pada penurunan kualitas pelayanan, keselamatan dan keamanan para mitra pengemudi.
"Faktor ini menyebabkan tingginya kemungkinan kecelakaan karena kelelahan dan akhirnya juga berdampak pada pengguna," kata dia.
Merasa Dieksploitasi
Pengamat transportasi dari Information Communication Technology (ICT) Institute, Heri Sutadi, sependapat dengan pernyataan Igun.
Menurutnya, mitra pengemudi akan merasa dieksploitasi dengan penerapan harga yang terlampau murah.
"Pengemudi kan juga manusia. Jadi, aspek-aspek ekonomi dan pendapatan perlu perhatian serius. Sebab ada pihak yang merasa mendapatkan perlakuan tidak adil secara bisnis, yakni para pengemudi," katanya.
Baca juga: YLKI dukung pemerintah bekukan operator transportasi daring
Heru juga melihat adanya hubungan tak saling menguntungkan antara aplikator yang menerapkan promo fantastis dengan mitra pengemudinya. Salah satu contohnya adalah ketika aplikator mendapat pendanaan besar, tapi ini tidak menetes ke pengemudinya.
“Malah aplikatornya sibuk memberikan promo untuk konsumen, padahal tulang punggung mereka ini kan pengemudinya," ujar dia.
Para mitra pengemudi Grab sempat melakukan demonstrasi di depan kantor Grab Indonesia, di Kuningan, Jakarta, beberapa waktu lalu. Dalam demo yang sempat ricuh itu, massa aksi menuntut soal skema penarifan, transparansi perjanjian kemitraan, serta aturan suspensi pengemudi kepada perusahaan penyedia layanan transportasi online berbasis aplikasi asal Malaysia tersebut.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebelumnya mengapresiasi ancaman pemerintah yang akan membekukan izin operator jasa angkutan daring berbasis aplikasi jika tak mampu menjamin keamanan dan keselamatan penggunanya.
”Dari perspektif YLKI, perlindungan, keselamatan, dan kenyamanan konsumen transportasi online itu bukan hanya tanggung jawab mitra driver tapi juga perusahaan aplikator,” ungkap Sekretaris YLKI, Agus Suyanto.
Baca juga: Kementerian Perhubungan ancam bekukan operator transportasi daring
Baca juga: Ini kata Kemenhub soal aksi ricuh pengemudi Grab
"Kami melihat tarif terlalu rendah dan promo terlalu banyak dari aplikator. Ini kan tindakan 'predatory pricing' dan bisa mematikan angkutan alternatif lain," kata Presidium Gerakan Aksi Roda Dua (GARDA) Igun Wicaksana kepada pers di Jakarta, Kamis.
Igun memberikan contoh, salah satu promo yang paling fantastis adalah penerapan ongkos Rp1 yang dilakukan oleh Grab.
Oleh karena itu, dia menilai penerapan harga terlalu rendah dari salah satu aplikator, dalam hal ini Grab, membuat iklim bisnis menjadi tidak sehat.
Baca juga: Go-Jek dinilai lebih matang sejahterakan pengemudi
Pengenaan ongkos terlalu murah, menurut dia untuk konsumen akan memicu perang tarif, yang akhirnya lebih banyak merugikan mitra pengemudi.
"Perang tarif bisa membuat tarif terus menukik lebih tajam. Akhirnya yang dikorbankan adalah pengemudi, karena dipaksa kerja lebih ekstra," ujar Igun.
Selama ini, Igun melanjutkan, mitra pengemudi Grab Bike terpaksa harus menempuh kilometer lebih jauh dan jam kerja lebih lama untuk mendapatkan penghasilan harian yang memadai.
Akibatnya, berdampak pada penurunan kualitas pelayanan, keselamatan dan keamanan para mitra pengemudi.
"Faktor ini menyebabkan tingginya kemungkinan kecelakaan karena kelelahan dan akhirnya juga berdampak pada pengguna," kata dia.
Merasa Dieksploitasi
Pengamat transportasi dari Information Communication Technology (ICT) Institute, Heri Sutadi, sependapat dengan pernyataan Igun.
Menurutnya, mitra pengemudi akan merasa dieksploitasi dengan penerapan harga yang terlampau murah.
"Pengemudi kan juga manusia. Jadi, aspek-aspek ekonomi dan pendapatan perlu perhatian serius. Sebab ada pihak yang merasa mendapatkan perlakuan tidak adil secara bisnis, yakni para pengemudi," katanya.
Baca juga: YLKI dukung pemerintah bekukan operator transportasi daring
Heru juga melihat adanya hubungan tak saling menguntungkan antara aplikator yang menerapkan promo fantastis dengan mitra pengemudinya. Salah satu contohnya adalah ketika aplikator mendapat pendanaan besar, tapi ini tidak menetes ke pengemudinya.
“Malah aplikatornya sibuk memberikan promo untuk konsumen, padahal tulang punggung mereka ini kan pengemudinya," ujar dia.
Para mitra pengemudi Grab sempat melakukan demonstrasi di depan kantor Grab Indonesia, di Kuningan, Jakarta, beberapa waktu lalu. Dalam demo yang sempat ricuh itu, massa aksi menuntut soal skema penarifan, transparansi perjanjian kemitraan, serta aturan suspensi pengemudi kepada perusahaan penyedia layanan transportasi online berbasis aplikasi asal Malaysia tersebut.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebelumnya mengapresiasi ancaman pemerintah yang akan membekukan izin operator jasa angkutan daring berbasis aplikasi jika tak mampu menjamin keamanan dan keselamatan penggunanya.
”Dari perspektif YLKI, perlindungan, keselamatan, dan kenyamanan konsumen transportasi online itu bukan hanya tanggung jawab mitra driver tapi juga perusahaan aplikator,” ungkap Sekretaris YLKI, Agus Suyanto.
Baca juga: Kementerian Perhubungan ancam bekukan operator transportasi daring
Baca juga: Ini kata Kemenhub soal aksi ricuh pengemudi Grab
Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018
Tags: