Raut bahagia tak henti-hentinya terpancar di wajah Suharni malam itu, bagaimana tidak ia didapuk menjadi salah satu keluarga hebat pada malam penganugerahan Apresiasi Pendidikan Keluarga yang digelar pada pekan terakhir Oktober 2018.

Perjuangan beratnya sebagai orang tua tunggal dengan lima orang anak tak sia-sia. Sempat kebingungan bagaimana caranya bisa menghidupi kelima anaknya sepeninggal suaminya, Suharni menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan jalan jika mau berusaha.

Pada 2005, suaminya tercinta, Slamet, yang bekerja sebagai konsultan transportasi meninggal dunia. Meninggalkan dirinya dan lima putri buah cinta mereka.

Harta yang ditinggalkan suaminya tak banyak, hanya rumah dan sepetak sawah. Sebelum suaminya meninggal, ia sudah mempunyai usaha dari berdagang kelontong di rumahnya.

"Suami waktu itu kerja di luar Jawa, kalau saya kerja kantoran, tidak ada yang mengurus anak. Makanya saya berjualan di rumah sembari mengurus lima anak," kata Suharni.

Saat suaminya meninggal, anaknya sulung duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan anaknya yang bungsu berumur dua tahun. Penghasilan dari dagang kelontong, tak seberapa. Suharni mengaku sempat bingung, namun hidup harus tetap berlanjut.

Lima orang anak harus diberi makan dan diberikan haknya sebagai anak. Ia punya cita-cita, menghantarkan kelima anaknya itu ke jenjang perguruan tinggi.

Suharni tak putus asa, saat itu Bahasa Jawa ditetapkan sebagai muatan lokal, Suharni menjadi guru honorer di SMK Muhammadiyah 6 Gemolong. Usaha toko kelontongnya tetap dilanjutkan sepulang mengajar. Gajinya sebagai guru honorer waktu itu hanya Rp165.000.

Untuk makan, dicukupi dari beras dari sepetak sawah peninggalan suaminya. Ia dan anak-anaknya yang menanami, kemudian pematangnya ditanami sayuran dan untuk lauk sering mereka makan hanya dengan ikan asin.

Sebagai guru honorer dengan penghasilan tak seberapa, tentu saja ia tak mampu membiayai anaknya les di bimbingan belajar. Sebagai gantinya, ia sendiri yang mengajari kelima anaknya saat menjaga warung kelontong.

Beban hidup Suharni semakin bertambah, saat anak sulungnya Retno Wahyu Nurhayati diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur prestasi. Setiap bulan, ia harus mengirimkan uang sebesar Rp300.000.

Pada masa itu, tak jarang ia tak bisa tidur memikirkan biaya kuliah anaknya. Beruntung adiknya membantu ditambah Retno mendapatkan beasiswa.

Tak lama setelah Retno kuliah, anak nomor duanya Novia Dyah Kusumadewi menyusul kuliah di Universitas Sebelas Maret Solo. Beban Suharni, semakin berat.

Saat anak pertamanya lulus kuliah, anak ketiganya, Agustin Ayu Kusumawati diterima di Universitas Diponegoro Semarang.

"Kami terbiasa hidup sederhana, jadi meski terbatas biasa saja menjalaninya," kata dia lagi.

Saat ini, dua anaknya yakni Yuliana Dyah Kusumawardani yang sedang menyusun skripsi di Universitas Sebelas Maret Solo dan Janita Dyah Kusuma Ratna kuliah di Universitas Diponegoro Semarang.

Kini, anaknya yang sulung berhasil meraih gelar doktor dari Universitas Osaka, Jepang, dan bekerja sebagai peneliti di Universitas Indonesia. Pada tahun lalu, Retno bahkan menjadi pemenang National Fellowship L’Oréal-UNESCO for Women in Science 2017 dan mendapatkan pembiayaan riset senilai Rp80 juta.

Anak kedua dan ketiganya bekerja sebagai guru dan Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Suharni mengaku tak mudah menghantarkan anak-anaknya ke gerbang kesuksesan. Banyak cemoohan dari tetangganya, namun Suharni tak patah arang. Niatnya satu, menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi.

Berkat keberhasilan anaknya pula, Suharni bisa menunaikan ibadah umrah dan berkunjung ke Jepang hingga dua kali. Suatu hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Suharni memberi saran agar para orang tua selalu mendampingi anak-anaknya belajar, terutama pada masa sekolah.

"Jangan dibiarkan anak belajar sendirian, selalu dampingi anak," saran Suharni.

Untuk makanan pun, Suharni mengatakan karena keterbatasan dana ia lebih banyak memberikan sayur-mayur.

"Saya hanya berusaha dan berserah diri kepada Allah dalam membesarkan anak-anak," katanya lirih.




Komitmen Kuat

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan pihaknya pada tahun ini memberikan penghargaan kepada 10 keluarga hebat. Tujuannya untuk menularkan pola asuh yang baik pada keluarga lainnya di Tanah Air.

"Meskipun setiap orang tua memiliki caranya tersendiri dalam mendidik anak," kata Muhadjir.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Tembise mengatakan bahwa upaya pemenuhan hak anak memerlukan komitmen yang kuat, tak hanya dari orang tua tetapi juga orang dewasa yang ada di rumah.

Yohana mengatakan anak-anak tumbuh optimal jika keluarga memahami dan mendukung pemenuhan hak anak dalam keluarga masing-masing.

"Hak anak, harus menjadi prioritas utama untuk mendukung tumbuh kembang anak," kata doktor lulusan Universitas Newcastle itu.

Menurut Yohana, hak anak yang terpenuhi secara optimal akan mendukung pertumbuhan dan perkembangannya di kemudian hari.

Data pada 2017 menyebutkan, Indonesia memiliki 69 juta keluarga yang diharapkan dapat memiliki komitmen untuk memenuhi hak anak-anak.

Salah satunya upaya yang dilakukan Kementerian PPPA adalah memberikan penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) 2018 kepada daerah yang mendukung pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak. Tujuannya agar pemerintah daerah setempat dapat mendorong keluarga, masyarakat, hingga media memahami upaya pemenuhan hak anak.

"Kami juga mendorong pemerintah daerah melakukan berbagai kebijakan, program, dan kegiatan yang menjamin agar hak-hak anak dapat dipenuhi," imbuh Menteri Yohana.*


Baca juga: Kemdikbud kembangkan bahan ajar pendidikan orangtua

Baca juga: Orang tua hebat pencetak anak berprestasi