Nurhadi irit bicara usai diperiksa KPK
6 November 2018 17:02 WIB
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman (kiri) berjalan memasuki Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan di Jakarta, Selasa (6/11/2018). Nurhadi Abdurrachman, diperiksa sebagai saksi untuk tersangka mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro, dalam tindak pidana korupsi memberi hadiah atau janji terkait pengajuan Peninjauan Kembali (PK) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. ANTARA FOTO/Reno Esnir/aww.
Jakarta (AANTARA News) - Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi memilih irit bicara usai diperiksa sebagai saksi di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi Jakarta, Selasa.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa memeriksa Nurhadi sebagai saksi untuk tersangka Eddy Sindoro (ESI) dalam penyidikan kasus suap terkait pengajuan Peninjauan Kembali (PK) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
"Sama seperti yang dulu, sama," kata Nurhadi.
Ia pun mengaku tidak pernah bertemu dengan tersangka Eddy Sindoro yang merupakan mantan petinggi Lippo Group.
"Sama sekali tidak ada, tanya penyidik saja lah," ucap Nurhadi yang diperiksa sekitar 6 jam tersebut.
Terkait pemeriksaan Nurhadi tersebut, KPK mendalami hubungan antara Nurhadi dengan Eddy Sindoro.
"Kami perlu mendalami hubungan langsung atau tidak langsung saksi dengan dengan tersangka dalam konteks kasus ini. Apa yang diketahui dan apa yang pernah dilakukan Nurhadi saat masih menjabat dulu tentu menjadi perhatian kami," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa.
Sebelumnya, tersangka Eddy Sindoro telah menyerahkan diri ke KPK pada Jumat (12/10) setelah sebelumnya sejak April 2016 sudah tidak berada di Indonesia.
KPK sudah menetapkan Eddy Sindoro sebagai tersangka sejak November 2016.
Eddy diduga memberikan hadiah atau janji kepada penyelenggara negara terkait pengurusan perkara di Pengadilan Jakarta Pusat (PN Jakpus) terkait dengan permohonan bantuan pengajuan Peninjauan Kemabali di PN Jakpus.
Sudah ada dua orang yang menjalani vonis terkait perkara ini yaitu panitera panitera sekretaris PN Jakpus Eddy Nasution dan perantara suap Dody Arianto Supeno. Doddy sudah divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan sedangkan Edy Nasution sudah divonis 5,5 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 2 bulan kurungan.
Dalam putusan Edy Nasution, disebutkan bahwa uang 50 ribu dolar AS untuk pengurusan Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) yang diputus pailit oleh mahkamah agung melawan PT First Media. Edy pun menerima uang dari salah satu kuasa hukum yang baru dari Law Firm Cakra & Co, yaitu Austriadhy 50 ribu dolar AS yang terbungkus dalam amplop warna coklat
Eddy Sindoro pernah bertemu dengan mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan menanyakan kenapa berkas perkara belum dikirimkan. Nurhadi sempat menelepon Edy Nasution untuk mempercepat pengiriman berkas perkara PK namun Nurhadi mengatakan itu dalam rangka pengawasan.
Edy Nasution juga mengakui menerima 50 ribu AS dari Dody dimana uang tersebut ada kaitannya dengan pengurusan dengan perkara Lippo.
Dalam perkembangan penanganan perkara tesebut, KPK juga telah menetapkan advokat Lucas (LCS) sebagai tersangka merintangi penyidikan dengan tersangka Eddy Sindoro.
Baca juga: KPK mendalami hubungan Nurhadi dengan Eddy Sindoro
Baca juga: Mantan Sekretaris MA Nurhadi penuhi panggilan KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa memeriksa Nurhadi sebagai saksi untuk tersangka Eddy Sindoro (ESI) dalam penyidikan kasus suap terkait pengajuan Peninjauan Kembali (PK) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
"Sama seperti yang dulu, sama," kata Nurhadi.
Ia pun mengaku tidak pernah bertemu dengan tersangka Eddy Sindoro yang merupakan mantan petinggi Lippo Group.
"Sama sekali tidak ada, tanya penyidik saja lah," ucap Nurhadi yang diperiksa sekitar 6 jam tersebut.
Terkait pemeriksaan Nurhadi tersebut, KPK mendalami hubungan antara Nurhadi dengan Eddy Sindoro.
"Kami perlu mendalami hubungan langsung atau tidak langsung saksi dengan dengan tersangka dalam konteks kasus ini. Apa yang diketahui dan apa yang pernah dilakukan Nurhadi saat masih menjabat dulu tentu menjadi perhatian kami," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa.
Sebelumnya, tersangka Eddy Sindoro telah menyerahkan diri ke KPK pada Jumat (12/10) setelah sebelumnya sejak April 2016 sudah tidak berada di Indonesia.
KPK sudah menetapkan Eddy Sindoro sebagai tersangka sejak November 2016.
Eddy diduga memberikan hadiah atau janji kepada penyelenggara negara terkait pengurusan perkara di Pengadilan Jakarta Pusat (PN Jakpus) terkait dengan permohonan bantuan pengajuan Peninjauan Kemabali di PN Jakpus.
Sudah ada dua orang yang menjalani vonis terkait perkara ini yaitu panitera panitera sekretaris PN Jakpus Eddy Nasution dan perantara suap Dody Arianto Supeno. Doddy sudah divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan sedangkan Edy Nasution sudah divonis 5,5 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 2 bulan kurungan.
Dalam putusan Edy Nasution, disebutkan bahwa uang 50 ribu dolar AS untuk pengurusan Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) yang diputus pailit oleh mahkamah agung melawan PT First Media. Edy pun menerima uang dari salah satu kuasa hukum yang baru dari Law Firm Cakra & Co, yaitu Austriadhy 50 ribu dolar AS yang terbungkus dalam amplop warna coklat
Eddy Sindoro pernah bertemu dengan mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan menanyakan kenapa berkas perkara belum dikirimkan. Nurhadi sempat menelepon Edy Nasution untuk mempercepat pengiriman berkas perkara PK namun Nurhadi mengatakan itu dalam rangka pengawasan.
Edy Nasution juga mengakui menerima 50 ribu AS dari Dody dimana uang tersebut ada kaitannya dengan pengurusan dengan perkara Lippo.
Dalam perkembangan penanganan perkara tesebut, KPK juga telah menetapkan advokat Lucas (LCS) sebagai tersangka merintangi penyidikan dengan tersangka Eddy Sindoro.
Baca juga: KPK mendalami hubungan Nurhadi dengan Eddy Sindoro
Baca juga: Mantan Sekretaris MA Nurhadi penuhi panggilan KPK
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018
Tags: