Bandarlampung (ANTARA News) - Kerusakan hutan bakau (mangrove) di kawasan pesisir pada umumnya negara di dunia ini diperkirakan berlangsung cukup pesat yang belum efektif terbendung, seperti di kawasan Amerika Latin yang lebih dari 50 persen hutan bakaunya telah rusak. Kenyataan itu diungkapkan Lider Gongora dari Redmanglar Internacional di Ekuador, kepada wartawan pada akhir pertemuan Konsultasi Utara-Selatan diikuti utusan 17 negara, di Bandarlampung, Jumat. Linger didampingi Henderson Colina dari Venezuela, menyebutkan keberadaan 362.000 Ha hutan bakau yang semula hidup di negara itu, namun saat ini hanya tersisa sekitar 108.000 hektare. Kerusakan hutan bakau di negara-negara di Amerika Latin itu rata-rata mencapai di atas 50 persen, bahkan ada yang mencapai 70-an persen. Kondisi kerusakan hutan bakau yang cukup serius juga dialami beberapa negara di Asia, seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Indonesia. Mohd Nizam Mahshar dari Malaysia (Sahabat Alam Malaysia/SAM) menyebutkan ancaman kerusakan lebih parah terhadap hutan bakau di negaranya, akibat program ekspansi tambak udang skala besar di pesisir Malaysia antara tahun 2006 hingga 2009 yang ditargetkan meningkat 300 hingga 400 persen dari sebelumnya. "Kalau dibiarkan saja, `nak jadi apa pesisir laut di Malaysia itu," kata Nizam pula. Kondisi serupa juga dialami Indonesia, menurut , Manajer Kampanye Pesisir dan Kelautan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), M Riza Damanik bahwa setiap tahun sekitar 400.000 hektare hutan bakau "hilang" dari pesisir Indonesia, terutama untuk diubah menjadi kawasan tambak intensif. "Tiap tahun sekitar 14 persen bakau yang masih tersisa menjadi terkikis, rusak atau sampai hilang, kebanyakan berganti menjadi areal tambak," kata Damanik pula. Padahal pada hampir semua negara produsen udang di dunia, termasuk Indonesia, perluasan (ekspansi) areal pertambakan menjadi salah satu program utama. Indonesia bahkan mendapatkan dukungan pembiayaan dari hutang luar negeri mencapai 33 juta dolar AS yang diperuntukkan menopang pembukaan dan pengembangan kawasan tambak baru terutama di wilayah Pulau Sumatera dan beberapa tempat lainnya di luar Pulau Jawa. "Di beberapa tempat pesisir Pulau Jawa, sejumlah hamparan tambak yang semula produktif, kini mulai ditinggalkan karena kondisi kerusakan lingkungan dan pencemaran air laut yang terjadi setelah hutan bakau di sekelilingnya musnah," demikian Damanik, didampingi Direktur Eksekutif WALHI Lampung, Mukri Friatna. (*)