Jakarta (ANTARA News) - "Ini bukan tentang kesehatan, bukan tentang lingkungan. Ini soal reputasi," kata Pietro Paganini, seorang peneliti dari John Cabot University, Roma, Italia.

Hal itu dikemukakannya pada saat menjadi pembicara dalam konferensi internasional “14th Indonesia Palm Oil Conference & 2019 Outlook” yang dihadiri lebih dari 1.127 peserta dari 26 negara di Nusa Dua, Bali, 1-2 November 2018.

Ia mengatakan citra minyak sawit di pasar Eropa sangat buruk, karena dikaitkan dengan isu kesehatan antara lain minyak sawit bisa menyebabkan beragam penyakit seperti kanker dan jantung.

Padahal belum ada bukti secara ilmiah, minyak sawit menyebabkan beragam penyakit tersebut, mengingat banyak lemak hewan dan nabati lainnya yang juga bisa memicu penyakit degeneratif tersebut.

Tidak hanya isu kesehatan, minyak sawit juga dicitrakan sebagai produk yang tidak ramah lingkungan, yang dikaitkan dengan deforestasi hingga isu pelanggaran hak hidup orang utan.

Citra buruk itu seakan menjadi momok, sehingga ada produk makanan yang sampai memberi label pada kemasan bagian depan, yang dengan tegas menyebutkan "tanpa minyak sawit." Hal itu terlihat dalam sejumlah produk makanan yang beredar di Eropa antara lain di Italia dan Spanyol.

Padahal, menurut Pietro, citra buruk minyak sawit tersebut tidak lepas dari perang dagang dengan komoditas minyak nabati lain di Eropa seperti minyak zaitun, minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan rapeseed.

Produsen makanan berkolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerintahan dan parlemen di Eropa seakan bersatu melawan minyak sawit untuk melindungi petani minyak nabati mereka.

Akhirnya konsumen mendapat informasi yang menyesatkan, karena "mengira" minyak sawit benar-benar berbahaya dan tidak berkelanjutan. Padahal, ketika produsen minyak sawit bisa memenuhi standar keberlanjutan, produsen makanan di Eropa menggunakan minyak yang diinformasikan ke masyarakat berbahaya terhadap kesehatan.

"Hal ini merupakan diskriminasi dan menyesatkan konsumen," kata Pietro yang juga dosen di John Cabot University itu.
Contoh produk makanan di Italia yang menggunakan label “senza olio di palma” (tanpa minyak sawit) pada kemasan di depan, yang mudah didapatkan di Roma, Italia, Rabu (Risbiani)


Berita baik

Dalam penelitiannya, Pietro menemukan kini sudah banyak produsen pangan menyerap minyak sawit berkelanjutan yang telah tersertifikasi baik untuk pangan maupun non-pangan seperti energi (biofuel).

Namun serangan terhadap minyak sawit khususnya dari Eropa tidak pernah berhenti, dan isu yang diangkat juga terus berubah.

Ketika produsen sawit sudah memenuhi satu standar keberlanjutan seperti sertifikasi Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) atau membuktikan isu kesehatan yang digembar-gemborkan tidak benar, selalu saja ada standar baru yang dikenakan, misalnya kini terkait tenaga kerja. "Jadi Jangan habiskan energi untuk itu," ujar Pietro.

Menurut dia, Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar harus membangun reputasi langsung ke konsumen, karena mereka yang menentukan apakah produk yang mengandung minyak sawit dibeli atau tidak ketika dijajakan di pasar-pasar swalayan di Eropa. "Jadikan konsumen tim," ujar Pietro.

Hal senada dikemukan Ketua Umum Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono. Ia mengatakan daripada terus bereaksi terhadap setiap kampanye negatif LSM terutama dari luar negeri, lebih baik menyebarkan berita baik tentang sawit.

"Habis tenaga kita kalau hanya untuk beraksi terhadap aksi LSM. Lebih baik sampaikan pencapaian-pencapaian kita dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang digagas PBB," ujarnya.

SDGs atau Sustainable Development Goals merupakan program PBB dengan 17 tujuan yang harus dicapai negara terkait lingkungan, sosial, dan ekonomi, termasuk di dalamnya terkait kemiskinan, kelaparan, kehidupan sehat dan sejahtera, pendidikan berkualitas, kesetaraan gender, air bersih, energi, pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, kesenjangan, kota dan komunitas berkelanjutan, produksi berkelanjutan, perubahan iklim, biodiversiti, laut, kelembagaan, dan kemitraan.

Dari jumlah itu, peranan perkebunan dan industri minyak sawit untuk mencapai SDGs cukup besar, mengingat sekitar 17 juta petani terlibat dalam bisnis tersebut.

Sebanyak 41 persen lahan kelapa sawit yang mencapai 14 hektare merupakan perkebunan rakyat, sisanya perusahaan swasta dan BUMN.

Joko mengakui memanfaatkan pencapaian SDGs untuk “melawan” kampanye negatif LSM internasional terkait masalah keberlanjutan (sustainability) minyak sawit.

"Sampai-sampai mereka bilang kok SDGs terus," ujarnya. Namun memang SDGs dengan ukuran yang jelas lebih rasional untuk dikemukakan, apalagi program itu digagas oleh PBB.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita (tengah) bersama jajaran pimpinan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) jumpa pers di sela-sela konferensi international 14th IPOC & 2019 Outlook di Nusa Dua, Bali, Kamis (Risbiani Fardaniah)


Dukungan Pemerintah

Produsen sawit tidak berjuang sendirian melawan kampanye negatif tersebut. Pemerintah Indonesia juga ikut terlibat, dengan membuat aturan yang mengarah pada bisnis sawit yang berkelanjutan.

Salah satunya dengan mandatori sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang sudah diberlakukan sejak 2011 dan akan diperkuat dengan peraturan presiden.

"Kami pastikan ISPO sejalan dengan SDGs sampai akhir nanti," kata Deputi Menko Perekonomian Bidang Pangan dan Pertanian Musdhalifah Machmud pada IPOC 2018 yang dihadiri kalangan LSM dan pemain bisnis sawit internasional.

Oleh karena itu ISPO akan diperkuat parameternya untuk mencapai tujuan keberlanjutan dan pemerintah tidak akan lagi terlibat dalam urusan sertifikasi minyak sawit.

Tidak hanya itu, pemerintah yang menilai minyak kelapa sawit sebagai industri yang strategis karena menghasilkan devisa ekspor sekitar 22 miliar dolar AS tahun lalu atau sekitar Rp300 triliun, nampak mendukung penuh pengembangan komoditas ini, meski tidak mencabut moratorium.

Presiden Joko Widodo pada peresmian IPOC 2018 menegaskan bahwa pemerintah mengutamakan antara lain intensifikasi kelapa sawit antara lain melalui percepatan replanting atau peremajaan kebun sawit rakyat agar memiliki produktivitas tinggi, hilirisasi produk sawit dan penerapan mandatori biodiesel 20 persen (B20) guna meningkatkan penyerapan minyak sawit dalam negeri.

Tentu yang terpenting, Presiden juga menekankan pengelolaan perkebunan dan industri kelapa sawit yang makin ramah lingkungan dengan memaksimalkan penggunaan teknologi, dan mencari pasar baru untuk ekspor.

Untuk memperluas pasar ekspor dukungan pemerintah tidak main-main. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sampai menempatkan minyak sawit menjadi prioritas dalam negosiasi perjanjian perdagangan internasional.

"Pada perundingan IEFTA (Indonesia-Eropa Free Trade Association) dengan Swiss, salah satu prioritasnya minyak sawit. Sampai ada angka tertentu baru kami ambil kesepakatan," katanya pada jumpa pers di sela IPOC 2018.

Senada dengan Presiden, ia pun meminta para pemilik perkebunan dan industri harus serius memperhatikan tuntutan konsumen dunia yang semakin cerdas terkait produk yang sehat, aman, dan ramah lingkungan.

"Sebagai pemerintah, kami juga melakukan berbagai upaya terbaik pada setiap saluran diplomasi untuk menghentikan berbagai kampanye negatif dan membuat citra yang obyektif tentang minyak sawit," kata Enggartiasto yang semakin menegaskan dukungan pemerintah membangun reputasi minyak sawit di mata dunia. ***3***

Baca juga: 52 persen minyak sawit berkelanjutan dunia dari Indonesia

Baca juga: Sertifikasi ISPO mulai diakui pengguna minyak sawit di Eropa

Baca juga: Minyak sawit di mata media Rusia