Jakarta (ANTARA News) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai eksekusi mati terhadap pekerja migran asal Majalengka (Jawa Barat) Tuti Tursilawati di Arab Saudi merupakan akumulasi dari persoalan kekerasan berbasis gender.

Dalam siaran pers komisi pada Rabu, Komisioner Komnas Perempuan Taufiek Zulbahri menuturkan Tuti berangkat menjadi buruh migran untuk menopang ekonomi keluarga setelah menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Nahasnya, menurut penuturan keluarga Tuti kepada Komnas, setelah bekerja di Arab Saudi pun Tuti mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari majikannya.

"Tuti mengalami pelecehan seksual oleh majikan, dan ekspresi kekerasannya merupakan akumulasi kemarahan maupun pertahanan yang dapat dia lakukan," kata Taufiek.

Putusan eksekusi mati yang telah diterima Tuti sejak 2010 pun tak hanya berdampak pada dirinya tetapi juga keluarganya di Tanah Air.

Komnas Perempuan sejak 2016 memantau dampak hukuman mati pada pekerja migran terhadap keluarganya, dan menemukan fakta bahwa tuntutan terhadap Tuti membuat keluarganya di Majalengka karut marut.

Ayah Tuti yang sakit jantung sehingga harus berhenti bekerja sebagai juru kunci selalu merasa bersalah dan keluarga Tuti saling menyalahkan berkenaan dengan sebab Tuti bekerja di luar negeri. Ibu Tuti juga menghadapi stigma sosial sehingga lebih memilih lebih banyak berada di rumah.

"Belum lagi trauma menonton TV, menjadi sasaran eksploitasi oknum yang berjanji akan menyelamatkannya, takut kepada media dikarenakan khawatir sikap atau pernyataan keluarga yang terekspos di media akan menghambat upaya pemaafan," kata Taufiek.

Baca juga:
Indonesia protes eksekusi mati terhadap Tuti Tursilawati
Menaker diminta pertangungjawabannya atas eksekusi mati Tuti