Menyanyikan Indonesia Raya indikasi keberhasilan rehabilitasi eks napi teroris
25 Oktober 2018 16:44 WIB
Narapidana terorisme ikut upacara Hari Pahlawan. Narapidana teroris, yakni Umar Patek, Asep Jaya, dan Ismail Yamsehu (baris depan) menunjukkan ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan mengikuti Upacara Hari Pahlawan, Jumat. (10/11/2017)(istimewa)
Bekasi (ANTARA News) - Salah satu indikator keberhasilan dalam program rehabilitasi sosial bagi mantan narapidana teroris (eks napiter) adalah mereka sudah mau menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
"Ada indikator-indikator yang bisa diukur, paling gampang adalah sikap mereka terhadap negara, sikap mereka terhadap aparat dan sikap terhadap paham takfiri," kata Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI Edi Suharto di Bekasi, Kamis.
Edi pada Rakornas Kemensos dalam rangka sinkronisasi dan keterpaduan program rehabilitasi sosial bagi eks narapidana teroris mengatakan, rehabilitasi sosial yang dilakukan Kemensos yang paling utama adalah terkait pemahaman mereka para eks napiter, termasuk anak-anak yang menjadi korban terorisme.
Ia mencontohkan, terkait anak-anak korban terorisme, sikap mereka yang bisa diukur terhadap aparat misalnya, apakah benci atau tidak. Dari pendalaman yang dilakukan tim Kemensos, rata-rata rasa benci terhadap aparat tinggi.
Sikap terhadap negara yang bisa diukur, apakah mau menyanyikan lagu Indonesia Raya, Pancasila atau terkait kebangsaan lainnya.
Sedangkan sikap pada paham takfiri, yang mengkafirkan orang lain yang tidak sepaham atau tidak seagama juga bisa diukur.
"Memang tidak banyak-banyak, hanya beberapa indikator saja," ujar Edi seraya menambahkan biasanya setelah tiga bulan sikap mereka mulai berubah.
Menurut Edi, proses rehabilitasi eks napiter tidak selalu dilakukan berbasis lembaga, namun ada tahapan-tahapan mulai dari sosialisasi, pengembalian ke ideologi ujungnya pada pemberdayaan ekonomi.
"Kita buat pendekatan psikososial, perubahan perilaku. Ada juga yang menolak ada yang mengharamkan uang dan lain-lain. Tidak mudah memang," kata Direktur Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang Kemensos Sonny W Manalu.
Untuk anak-anak diberikan terapi bermain karena tidak bisa dilakukan dengan pendekatan keamanan. Terapi bermain diberikan sesuai tahapan usia anak.
Saat ini Kementerian Sosial telah merehabilitasi 80 dari 550 eks napiter dan mereka sudah mulai mandiri. Dalam program pemberdayaan ekonomi, mereka diberikan modal usaha sebesar Rp5 juta per orang dan akan mendapatkan program-program komplementer lainnya
Baca juga: Mantan napi teroris: terorisme bukan produk instan
Baca juga: Napi teroris ikut upacara Hari Pahlawan
"Ada indikator-indikator yang bisa diukur, paling gampang adalah sikap mereka terhadap negara, sikap mereka terhadap aparat dan sikap terhadap paham takfiri," kata Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI Edi Suharto di Bekasi, Kamis.
Edi pada Rakornas Kemensos dalam rangka sinkronisasi dan keterpaduan program rehabilitasi sosial bagi eks narapidana teroris mengatakan, rehabilitasi sosial yang dilakukan Kemensos yang paling utama adalah terkait pemahaman mereka para eks napiter, termasuk anak-anak yang menjadi korban terorisme.
Ia mencontohkan, terkait anak-anak korban terorisme, sikap mereka yang bisa diukur terhadap aparat misalnya, apakah benci atau tidak. Dari pendalaman yang dilakukan tim Kemensos, rata-rata rasa benci terhadap aparat tinggi.
Sikap terhadap negara yang bisa diukur, apakah mau menyanyikan lagu Indonesia Raya, Pancasila atau terkait kebangsaan lainnya.
Sedangkan sikap pada paham takfiri, yang mengkafirkan orang lain yang tidak sepaham atau tidak seagama juga bisa diukur.
"Memang tidak banyak-banyak, hanya beberapa indikator saja," ujar Edi seraya menambahkan biasanya setelah tiga bulan sikap mereka mulai berubah.
Menurut Edi, proses rehabilitasi eks napiter tidak selalu dilakukan berbasis lembaga, namun ada tahapan-tahapan mulai dari sosialisasi, pengembalian ke ideologi ujungnya pada pemberdayaan ekonomi.
"Kita buat pendekatan psikososial, perubahan perilaku. Ada juga yang menolak ada yang mengharamkan uang dan lain-lain. Tidak mudah memang," kata Direktur Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang Kemensos Sonny W Manalu.
Untuk anak-anak diberikan terapi bermain karena tidak bisa dilakukan dengan pendekatan keamanan. Terapi bermain diberikan sesuai tahapan usia anak.
Saat ini Kementerian Sosial telah merehabilitasi 80 dari 550 eks napiter dan mereka sudah mulai mandiri. Dalam program pemberdayaan ekonomi, mereka diberikan modal usaha sebesar Rp5 juta per orang dan akan mendapatkan program-program komplementer lainnya
Baca juga: Mantan napi teroris: terorisme bukan produk instan
Baca juga: Napi teroris ikut upacara Hari Pahlawan
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018
Tags: