Pengamat: Kesalahan data beras tanggung jawab Mentan
24 Oktober 2018 23:55 WIB
Ilustrasi: Petugas menunjukan stok beras di Gudang Bulog Jawa Barat. Perum Bulog menyatakan Indonesia tahun ini mengalami surplus beras hingga mencapai 4,2 juta ton, 1,8 juta ton di antaranya beras impor yang diperkirakan akan cukup hingga 2019 mendatang. (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi Lana Soelistianingsih menilai kesalahan data pengadaan beras dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi tanggung jawab Menteri Pertanian (Mentan).
Lana dalam pernyataannya di Jakarta, Rabu, menyatakan kurang akuratnya data luas panen dan produksi padi menyebabkan pemerintah tidak bisa membuat kebijakan yang tepat.
Menurut dia, kondisi tersebut telah menimbulkan implikasi berupa pasokan beras yang tidak memadai sehingga terjadi kelangkaan dan kenaikan harga.
"Makanya harga berasnya bisa melompat-lompat, tidak stabil. Padahal, itu merupakan pangan yang paling dibutuhkan oleh masyarakat kita," ujar pengajar dari Universitas Indonesia ini.
Lana mengingatkan klaim produksi yang terlalu tinggi akibat perkiraan luas lahan baku sawah yang salah bisa membuat defisit beras semakin besar dan meningkatkan ketergantungan impor.
Untuk itu, ia memberikan apresiasi atas upaya Badan Pusat Statistik (BPS) yang ingin mengeluarkan data produksi beras terbaru secara rutin.
Lana memastikan data ini bisa menjadi langkah awal untuk perbaikan pasokan pangan kedepan serta terciptanya kebijakan penyediaan beras yang lebih memadai.
"Semua pihak harus menerima. Kementerian Pertanian juga tidak bisa ngotot. Kalau memang kondisinya kayak begini, apa yang mesti dilakukan. Kementerian Pertanian mesti punya program yang lebih jelas," ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi meminta adanya pengusutan potensi kerugian negara dalam pengelolaan anggaran di Kementerian Pertanian.
Menurut dia, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menelisik penyerapan belanja untuk program swasembada pangan yang kurang optimal.
Selama ini, pemerintah sudah mengalokasikan dana subsidi untuk pembelian pupuk maupun kebutuhan lainnya, namun impor untuk memenuhi pasokan tetap dilakukan.
"Supaya memang kelihatan jelas, kemana saja anggaran yang dikelola Kementan," kata Uchok.
Sebelumnya, BPS memastikan akan melakukan perbaikan metodologi perhitungan data produksi beras dengan metode kerangka sampel area.
Metode ini merupakan perhitungan luas panen, khususnya tanaman padi, dengan memanfaatkan teknologi citra satelit dan peta lahan baku sawah.
Untuk penyediaan data ini, BPS bekerja sama dengan BPPT, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Badan Informasi dan Geospasial serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
Melalui metode ini, BPS mencatat luas panen padi Januari-Desember 2018 telah mencapai 10,9 juta hektar dengan potensi produksi padi sebesar 56,54 juta ton gabah kering giling atau setara 32,42 juta ton beras.
Baca juga: Darmin: data beras untuk keputusan lebih tepat
Baca juga: Pengamat : Polemik data beras baiknya diselesaikan akarnya
Lana dalam pernyataannya di Jakarta, Rabu, menyatakan kurang akuratnya data luas panen dan produksi padi menyebabkan pemerintah tidak bisa membuat kebijakan yang tepat.
Menurut dia, kondisi tersebut telah menimbulkan implikasi berupa pasokan beras yang tidak memadai sehingga terjadi kelangkaan dan kenaikan harga.
"Makanya harga berasnya bisa melompat-lompat, tidak stabil. Padahal, itu merupakan pangan yang paling dibutuhkan oleh masyarakat kita," ujar pengajar dari Universitas Indonesia ini.
Lana mengingatkan klaim produksi yang terlalu tinggi akibat perkiraan luas lahan baku sawah yang salah bisa membuat defisit beras semakin besar dan meningkatkan ketergantungan impor.
Untuk itu, ia memberikan apresiasi atas upaya Badan Pusat Statistik (BPS) yang ingin mengeluarkan data produksi beras terbaru secara rutin.
Lana memastikan data ini bisa menjadi langkah awal untuk perbaikan pasokan pangan kedepan serta terciptanya kebijakan penyediaan beras yang lebih memadai.
"Semua pihak harus menerima. Kementerian Pertanian juga tidak bisa ngotot. Kalau memang kondisinya kayak begini, apa yang mesti dilakukan. Kementerian Pertanian mesti punya program yang lebih jelas," ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi meminta adanya pengusutan potensi kerugian negara dalam pengelolaan anggaran di Kementerian Pertanian.
Menurut dia, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menelisik penyerapan belanja untuk program swasembada pangan yang kurang optimal.
Selama ini, pemerintah sudah mengalokasikan dana subsidi untuk pembelian pupuk maupun kebutuhan lainnya, namun impor untuk memenuhi pasokan tetap dilakukan.
"Supaya memang kelihatan jelas, kemana saja anggaran yang dikelola Kementan," kata Uchok.
Sebelumnya, BPS memastikan akan melakukan perbaikan metodologi perhitungan data produksi beras dengan metode kerangka sampel area.
Metode ini merupakan perhitungan luas panen, khususnya tanaman padi, dengan memanfaatkan teknologi citra satelit dan peta lahan baku sawah.
Untuk penyediaan data ini, BPS bekerja sama dengan BPPT, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Badan Informasi dan Geospasial serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
Melalui metode ini, BPS mencatat luas panen padi Januari-Desember 2018 telah mencapai 10,9 juta hektar dengan potensi produksi padi sebesar 56,54 juta ton gabah kering giling atau setara 32,42 juta ton beras.
Baca juga: Darmin: data beras untuk keputusan lebih tepat
Baca juga: Pengamat : Polemik data beras baiknya diselesaikan akarnya
Pewarta: Satyagraha
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2018
Tags: