Matahari baru terbit ketika burung Cendrawasih Mati Kawat jantan alias Twelve Wired Bird of Paradise (Seleucidis Melanoluca) yang dalam bahasa lokal disebut Kwok berusaha menarik perhatian sang betina. "Kuk kuk, kuk kuk, kuk kuk, kuk kuk", demikian suara yang muncul dari pucuk pohon teratas.

Burung dengan bulu hitam mengkilat di bagian dada, kepala sebagian punggungnya itu juga punya "mantel" panjang di bagian sayap dan sebagian besar bagian belakang tubuhnya, berikut dengan ekor yang menyerupai antena/kawat berjumlah 12 serta kaki berwarna merah.

Si pejantan berukuran 60-75 cm itu pun masih khusyuk memanggil sang betina untuk dapat bermain di pohon Paraserianthes falcataria alias Jeungjing setinggi sekitar 7 meter, seolah tidak menyadari ada sekelompok manusia yang membayanginya di lantai hutan yang lembab habis hujan semalam.

Untuk dapat melihat lebih jelas si pejantan, pengunjung hutan Rhepang Muaif di kabupaten Jayapura harus menaiki menara pantau dengan tinggi sekitar 4 meter secara perlahan. Dengan bantuan teropong, terlihat jelaslah sang Kwok jantan masih belum berhasil menarik minat betina untuk bermain bersamanya, tapi ia tak putus asa dan terus bernyanyi.

"Sekarang lagi musim kawin, jadi setiap hari pangil-panggil pasangannya untuk kawin di sini setiap pagi dan sore, dia bernyanyi dan menari untuk betinanya, kalau betina malah tidak menari," kata Alex Waisimon pada pertengahan Oktober 2018 lalu.

Adalah Alex Waisimon (57) yang mendirikan menara bagi para pengunjung untuk melihat burung surga itu lebih dekat. Alex juga menjadi pemandu dan menceritakan mengenai perilaku serta kondisi burung-burung di Papua dan habitatnya.

Alex adalah pemilik Isio Hill’s Bird Watching yang berlokasi di kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua.

Meski lahir di di Kampung Yenggu Akwa masih di Distrik Nimbokrang, Alex bersekolah di luar tempat lahirnya. Ia bahkan sempat kuliah di jurusan ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana, namun tak selesai.

Ia lalu berkelana menjajal berbagai pekerjaan seperti pekerja bangunan, pemetik apel, pemandu wisata hingga bergabung dengan Red Cross Asia Pasific dan International Labour Organization (ILO) yang mengantarkannya keliling dunia. Fiji, Vanuatu, Australia, India, Tiongkok, Thailand, Birma, Laos, Prancis, Belanda hingga Amerika Latin

Namun pada 2014 ia kembali ke kampung halamannya dan membangun tempat pengamatan burung di hutan milik suku Waisimon seluas 15 ribu hektare lahan dari total 98 ribu hektare hutan adat milik 9 suku.

Padahal saat itu keluarga dan masyarakat sekitarnya sedang giat-giatnya melakukan penebangan kayu.

"Orang-orang mengatakan saya gila karena mau masuk hutan padahal sudah lama di Jawa, tapi saya tetap membangun tempat ini. Saya ingat pasti tanggalnya, 6 April 2014," kata Alex.

Sejak 2014, ia berupaya membuka jalan di hutan milik keluarganya selama 8 bulan. Ia mulai bekerja sekitar pukul 04.30 WIB dengan membawa bekal dan kembali berkenalan dengan hutan masa kecilnya itu.

Alex juga mempelajari burung dengan segala tingkah laku. Buku yang jadi panduannya adalah Birds of New Guinea yang ditulis Bruce M. Beehler, Thane K. Pratt, dan Dale A. Zimmerman.

Ia pun mulai membuat menara maupun pondok dari kayu-kayu bekas di hutan. Dengan teliti Alex menentukan lokasi-lokasi menara pengamatan agar turis dapat memantau maupun memotre burung dan kekayaan hutan Papua lainnya dengan leluasa tapi di sisi lain tidak sampai mengganggu apalagi melukai flora dan fauna tersebut.

Setidaknya ada 6 menara pengamatan yang ia bangung dan sudah memperhitungkan di mana saja para burung biasa diam mapun bermain.

"Tapi khusus untuk burung cendrawasih, tidak pernah ada manusia yang tahu di mana sarang mereka, coba saja profesor terkenal dari luar negeri atau dari mana saja, tidak pernah ada yang tahu sarang burung cendrawasih itu di mana," ungkap Alex.
Salah satu menara pemantau yang dibangun oleh Alex Waisimon di kawasan Isio Hill’s Bird Watching (Desca Lidya Natalia)


Masyarakat menurut Alex juga masih kerap salah tanggap mengenai burung cendrawasih hanyalah cendrawasih ekor kuning yang sering dilihat di televisi maupun di kebun binatang. Padahal menurut Alex, ada 42 spesies cendrawasih yang 29 di antaranya merupakan hewan endemik tanah Papua dan 5 di antaranya ada di hutan kabupaten Jayapura.

Spesies cendrawasih yang tinggal di hutan Rhepang Muaif selain cendrawasih Mati Kawat adalah cendrawasih Raja (Cincinnurus regius). Meski bernama Raja, namun cendrawasih ini adalah yang paling kecil di antara jenisnya karena tingginya hanya 25-30 cm untuk jantan sedangkan betinyanya 25 cm.

Burung pejantan dengan nama lokal Kringswa itu punya bulu merah menyala dengan kaki biru dan paruh kuning, sedangkan betinanya berbulu putih dengan sayap cokelat dan sama-sama berkaki biru. Pejantan juga punya 2 antena yang melingkar pada pangkal ekornya.

Masih ada juga cendrawasih paruh sabit (epimachus bruijnii) yang sekilas mirip burung rangkong karena memiliki paruh putih panjang dan bengkok. Bulunya hitam namun punya sembarut putih di bagian dada. Baik jantan dan betina punya bulu biru yang melingkari mata mereka.

Jenis cendrawasih lain adalah cendrawasih jobiensis (Paradisasea minor jobiensis) dan cendrawasih kecil (Paradise minor) alias lesser bird of paradise. Dari sekian banyak cendrawasih, mungkin jenis ini yang paling banyak dikenal orang karena memiliki warna merah kecoklatan dengan mahkota kuning dan punggung atas kuning kecoklatan, leher berwarna hijau zamrud tua, sepasang ekor yang panjang dan dihiasi dengan bulu hiasan sayap yang berwarna kuning dan putih.

"Kebanyakan orang hanya tahu cendrawasih kecil atau cendrawasih ekor kuning ini saja," ungkap Alex.

Saat berbincang dengan Alex di hutan, tiba-tiba saja ada suara burung besar seperti teriakan pria dewasa disusul dengan gelegar kepakan sayap.

"Itu burung rangkong, tempat mainnya mereka," ucap Alex sambil menunjuk salah satu pohon tinggi.


Sekolah Hutan

Alex sesungguhnya adalah salah satu penerima Kalpataru pada 2017 lalu. Sebelum ia menerima Kalpataru, ia mulai usaha "bird watching" tesebut dengan uang Rp100 juta yang ia dapat dari Kick Andy Foundation.

Pria dengan empat orang anak itu pun mulai mendirikan balai untuk menerima tamu, penginapan sederhana yang dilengkapi dengan toilet dan yang terbaru adalah sekolah alam. Bangunan itu terbuat dari kayu Merbau atau lazim disebut kayu besi karena keras dan beratnya kayu tersebut.

Ketika ia mulai membangun, istri dan anak-anaknya masih tinggal di Bali untuk bersekolah.

Alex juga mengajak keluarganya yang tadinya menebangi kayu untuk bekerja bersamanya sebagai pemandu lokal. Jika sedang tak ada tamu, dia akan berkeliling hutan mempelajari burung bersama para pemandu.
Alex Waisimon, pemilik Isio Hill’s Bird Watching dan menerima penghargaan Kalpataru 2017 karena jasanya mengajak keluarga dan orang-orang di sekelilingnya untuk menjaga kawasan hutan adat seluas 98.000 hektare (Desca Lidya Natalia)


Selain membangun "bird's watching", Alex juga mendirikan sekolah alam untuk siapapun yang ingin belajar alam Papua. Ia berharap masyarakat dapat belajar alam dan kekayaannya, bahasa dan budaya.

Dalam kawasan hutan adat seluas 98.000 hektare itu memang tersimpan kekayaan alam sangat banyak. Ada belasan danau, air terjun, aliran sungai, juga berbagai jenis hewan dan tumbuhan khas wilayah pasifik ada di tempat ini.

Saat ini, hutan tersebut makin hijau dari tadinya mulai "botak-botak" karena penebangan hutan dan penyerahan lahan untuk ladang kelapa sawit. Volume suara burung yang terdengar dari hutan itu pun meningkat drastis.

Kondisi tersebut terjadi karena Alex bekerja sama dengan WWF-Indonesia menyerahkan tanah milik marganya untuk keperluan konservasi. Kesembilan kepala suku, termasuk Alex menandatangani sebuah dokumen yang menyatakan harapan dan komitmen mereka untuk menyerahkan 98.000 hektare lahan demi kepentingan konservasi dan dokumen itu disampaikan ke Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
Penginapan di Isio Hill’s Bird Watching kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua (Desca Lidya Natalia)


Keajaiban Papua

Alex sendiri mengaku meski sudah berkelana ke berbagai penjuru dunia tidak menemukan tempat seindah tempat kelahirannya.

Memang sejak penjelajah Inggris William Dampier menginjakkan kaki di pulau Papua pada 1699 di sekitar selat antara kepala burung dan Waigeo, ia tahu bahwa Papua adalah pulau tersendiri yang punya keistimewaan. Namun pengetahuan tentang Papua masih terbatas dan penuh sterotype mengenai keganasan dan kekejaman suku asli.

Baru pada 1858, ilmuwan Inggris Alfred Russel Walace mulai mengumpulkan data mengenai serangga dan burung di dekat teluk Dore, Manokwari, dekat kepala burung Papua, termasuk burung cendrawasih alias "birds of paradise".

Perdagangan bulu burung cendrawasih punya sejarah panjang sejak 5000 tahun lalu di segitiga perdagangan Indoensia, Filipina dan dataran Asia Tenggara.

Adalah penjelajah Spanyol Juan Sebastián Elcano pada 1521 membawa dua kulit burung cendrawasih yang dikeringkan untuk dipersembahkan ke raja Spanyol satu tahun kemudian. Kulit itu terpotong dari bagian kaki sehingga orang Eropa berpikir bahwa burung tersebut tidak punya kaki, mengambang di udara dan meminum embun dari awan.

Nama latin burung cendrawasih pun menjadi Paradisaea apoda, kata terakhir berarti tanpa kaki. Bulu burung cendrawasih menjadi asesoris fashion yang sangat diinginkan dan ketika sarana transportasi meningkat pada sekitar 1900, burung cendrawasih dewasa dalam jumlah besar dibantai dan dikirim ke Eropa dan Amerika.

Pada 1904-1908 sekitar 155 ribu kulit burung cendrawasih dijual lewat lelang di London. Harga kulit tersebut 50 gulden di Merauke pada 1919 atau seharga 285 poundsterling pada 2012 (sekitar Rp4,4 juta).

Pelarangan penjualan bulu cendrawasih baru dilakukan pada 1906 di bagian timur Papua namun terus berlangsung di bagian barat, barulah pada 1928, bulu cendrawasih dinyatakan ilegal sepenuhnya. Namun penelitian terbaru menunjukkan perdagangan burung hidup dan bagian tubuh cendrawasih meningkat tajam pada 2006-2009 yaitu sebanyak 830 ekor burung.

Pengetahuan mengenai perilaku burung cendrawasih baru terungkap pada pertengahan abad ke-20. Burung cendrawasih terdiri dari 42 spesies yang 29 di antaranya ditemukan di tanah Papua dan 5 dari jumlah itu hanya ada di kawasan kepala burung. Burung cendrawasih juga hanya hidup di hutan tropis alami.

Alfred Walace, bahkan membuat satu bab khusus mengenai burung cendrawasih di bukunya "The Malay Archipelago". Dalam buku tersebut ia megnaku sebagsatu-satunya orang Inggris yang saat itu melihat burung cendrawasih di habitat aslinya dan mendeskripsikan pengalamannya dalam kalimat berikut "... mereka memiliki kulit yang luar biasa indah, yang tidak dapat dibandingkan dengan jenis burung lainnya...intensitas warga dan kilau metaliknya terpancar jelas di bulu mereka, sungguh tidak dapat tertandingi burung lain."

Baca juga: Ada dua Cendrawasih endemik Raja Ampat