Karena itu, Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan dua calon presiden harus dapat fokus dalam program terkait ketahanan pangan yang sekarang juga menjadi sorotan di tingkat global.
"Salah satu hal yang layak untuk diprioritaskan dalam program para calon presiden adalah mengenai ketahanan pangan. Ketahanan pangan yang dimaksud adalah keadaan pangan tersedia mencukupi untuk memenuhi kebutuhan setiap orang," kata Hizkia Respatiadi, di Jakarta, Senin (15/10).
Dengan peringatan Hari Pangan Sedunia yang dirayakan setiap tanggal 16 Oktober lalu, Hizkia juga menekankan bahwa ketahanan pangan sangat berkaitan erat dengan ketersediaan pangan, stabilitas pangan, dan juga aksesibilitas atau keterjangkauan oleh masyarakat.
Ketiga hal inilah, lanjutnya, harus fokus dibenahi para capres dan cawapres dalam program mereka terkait pangan.
Selain itu, untuk mencapai ketahanan pangan, pemerintah sebaiknya tidak lagi menjadikan swasembada pangan sebagai tujuan utama pembangunan sektor pertanian Indonesia.
"Para capres dan cawapres sebaiknya fokus pada ketersediaan komoditas pangan yang berkualitas baik dan bisa dijangkau oleh segala lapisan masyarakat. Selama komoditas pangan yang dibutuhkan masyarakat tersedia dalam jumlah yang memadai, maka harganya akan stabil. Hal ini juga akan memengaruhi angka inflasi yang selama ini sering disumbangkan oleh tingginya harga kebutuhan pangan," ujar Hizkia lagi.
Penyediaan pangan, lanjutnya, kini tidak hanya soal memenuhi kebutuhan masyarakat saja, namun juga termasuk bagaimana menyediakan pangan yang bergizi untuk masyarakat.
Solusi malnutrisi
Peneliti CIPS Assyifa Szami Ilman mengingatkan bahwa solusi untuk mencegah malnutrisi di Indonesia adalah dengan mendorong kebijakan dengan harga pangan yang terjangkau.
Ilman mengemukakan bahwa harga pangan yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat penting diwujudkan, di mana salah satu manfaatnya adalah untuk mencegah peningkatan angka malnutrisi.
Ia mengingatkan, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan, kasus kekurangan nutrisi pada anak seperti stunting (kerdil) dan wasting (kurus) masih berada dalam kondisi kronis dan akut mengingat dua kasus ini menimpa 37,2 persen dan 12,1 persen balita di Indonesia.
Menurut dia, tingginya harga pangan pada akhirnya memang berdampak pada masyarakat, terutama masyarakat prasejahtera, karena 74 persen pengeluaran rumah tangga prasejahtera hanya dialokasikan untuk komoditas makanan.
Ketidakmampuan masyarakat yang tergolong prasejahtera dalam membeli makan akan mendorong perubahan pada pola konsumsi, di mana pilihan jenis pangan semakin terbatasi oleh harga dan pada akhirnya memengaruhi asupan gizi masyarakat tersebut.
Untuk itu, ujar dia, dalam meningkatkan asupan nutrisi bagi masyarakat, diperlukan kerja sama dan tindakan kolektif dari semua pihak, serta masyarakat juga perlu mengubah pola makan agar lebih bernutrisi.
Selain itu, lanjut Ilman, pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi mengenai pedoman gizi seimbang tersebut.
"Namun akan sangat disayangkan apabila makanan bernutrisi yang dibutuhkan tersebut pada akhirnya tidak akan mampu terbeli oleh masyarakat. Di sinilah peran harga pangan menjadi penting untuk diperhatikan pemerintah," urainya.
Permasalahan lahan
Hizkia juga mengingatkan kepada pemerintah bahwa kebanyakan petani tidak memiliki lahan sehingga visi untuk mewujudkan swasembada pangan juga harus dilakukan dengan hati-hati dan terukur.
Menurut dia, kalangan petani kerap membeli lebih banyak bahan pangan daripada yang mereka tanam, sehingga seharusnya bahan pangan yang lebih terjangkau jadi prioritas.
Untuk itu, pemerintah harus bisa membenahi rantai distribusi bahan pangan yang terlalu panjang dan merugikan petani, serta penting guna menguatkan kapasitas petani untuk meningkatkan produktivitas lahan yang sudah terbatas. Dengan penggunaan teknologi pertanian yang efisien, diharapkan hasil produksi bisa meningkat.
Ia mengatakan banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendorong peningkatan kapasitas petani, seperti mengadakan pelatihan, memberikan penyuluhan dan bimbingan soal penggunaan alat-alat pertanian yang lebih efisien dan pembaharuan metode tanam.
"Pemerintah seharusnya fokus pada peningkatkan efisiensi lahan yang sudah ada, peningkatan kapasitas petani dan revitalisasi alat pertanian serta pabrik-pabrik yang sudah tua. Alih fungsi lahan relatif sulit dicegah oleh karena itu kita harus bisa bertahan dengan cara lain," jelas Hizkia.
Menurut Hizkia, beberapa hal yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan di antaranya gencarnya industrialisasi dan pembangunan infrastruktur, yang tidak jarang harus mengorbankan lahan pertanian.
Selain itu, ujar dia, bertambahnya jumlah populasi menyebabkan semakin pesatnya industrialisasi dan diperlukannya pembangunan infrastruktur untuk menghubungkan satu daerah dengan daerah lain.
Ia juga mengemukakan bahwa peningkatan kapasitas petani juga sangat berkaitan dengan tingkat efisiensi pada komoditas pangan yang panen.
"Indonesia memiliki tingkat efisiensi yang rendah pada proses pascapanennya. Dari sekitar 57 juta ton padi yang dihasilkan, sekitar 8,5 juta ton-nya (15 persen) terbuang percuma dalam proses pascapanen," paparnya.
Inefisiensi ini diakibatkan oleh beberapa faktor, lanjut Hizkia, misalnya panjangnya rentang waktu antara panen dengan proses perontokan bulir padi dan juga proses pengeringan yang masih tradisional (dijemur) dan belum menggunakan mesin.
Ia menegaskan petani sebagai tulang punggung sektor pertanian Indonesia seharusnya juga dibangun dan diberikan nilai tambah melalui peningkatan kapasitasnya.
Amnesti data
Sementara itu, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon menekankan pentingnya amnesti data sebagai upaya mewujudkan kedaulatan pangan nasional.
Menurut Fadli Zon, tanpa ada konsolidasi data, maka tidak akan bisa merumuskan kebijakan pangan yang benar.
Politisi Gerindra itu berpendapat bahwa fenomena kekacauan data terindikasi dari adanya perbedaan antara satu instansi dengan instansi yang lain. "Ketidaksinkronan data juga banyak terjadi di sektor pertanian," ucapnya.
Ia menyebutkan, pada Januari lalu, misalnya, Kementerian Pertanian menyebutkan produksi beras surplus, tapi Kementerian Perdagangan ternyata menyatakan perlu impor beras.
Fadli mengingatkan bahwa bila datanya saja sudah tidak akurat maka bagaimana akan dapat dirumuskan sebuah kebijakan publik yang tepat.
"Pemerintah seharusnya merasa dirugikan oleh silang sengkarut data tersebut, karena bisa dipastikan semua kebijakan pemerintah jadi tak efektif," ujarnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, untuk memperbaiki data demi agenda kedaulatan pangan, HKTI mengusulkan perlu diadakan kebijakan semacam pengampunan data, atau amnesti data.
Kebijakan itu, jelas dia, mirip kebijakan amnesti pajak sebenarnya. Karena penggunaan data berimplikasi hukum tertentu, sebab akan menjadi dasar kebijakan publik, maka kebijakan amnesti data perlu diatur.
Sesudah adanya data baru, maka Fadli menegaskan agar siapapun yang melakukan manipulasi data ke depannya harus dihukum berat.
Ia berkesimpulan bahwa amnesti data ini merupakan kunci penting untuk memperbaiki kebijakan di sektor pangan dan pertanian, karena tanpa adanya amnesti data, maka kebijakan pangan nasional gampang sekali dimanipulasi.
BPS perbaharui
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution meminta Badan Pusat Statistik (BPS) memperbarui dan menerbitkan data statistik dasar mengenai tanaman pangan.
Darmin di Jakarta, Rabu (26/9), menyoroti data statistik untuk komoditas jagung, ubi, dan padi yang terakhir tercatat pada 2015.
"Saya lihat data statistik, ada cabai dan bawang itu datanya terakhir 2017. Saya lihat lagi ada jagung, singkong, dan beras datanya terakhir 2015. Jadi kelihatannya BPS tidak melanjutkan publikasi data pangan dan bahan makanan setelah 2015," ujar dia.
Merujuk pada laman resmi BPS, data mengenai luas panen, jumlah produksi, dan produktivitas beberapa tanaman pangan disajikan dalam kurun 1993 hingga 2015.
Menurut data tersebut, jumlah produksi padi nasional pada 2015 sebanyak 75,39 juta ton, atau lebih tinggi dibandingkan 70,84 juta ton pada 2014.
Sementara untuk jagung, jumlah produksi komoditas tersebut secara nasional pada 2015 sebanyak 19,61 juta ton atau lebih banyak dibandingkan produksi 2014 yang sebanyak 19 juta ton.
Sedangkan terkait dengan pembangunan infrastruktur, dilaporkan bahwa pembangunan 65 bendungan di berbagai daerah bila telah selesai akan memperbesar jaminan pasokan air ke lahan irigasi untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional.
"Saat ini dari sekitar 7,2 juta hektare lahan irigasi, hanya 11 persen yang mendapatkan jaminan air dari bendungan. Nanti, setelah 65 bendungan rampung akan bertambah menjadi 19-20 persen," kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono.
Ia menyebutkan bahwa pembangunan bendungan juga didukung oleh program pembangunan satu juta hektare jaringan irigasi baru dan rehabilitasi tiga juta hektare jaringan irigasi.
Menurut dia, pencapaian program ketahanan pangan membutuhkan dukungan ketahanan air, dan pembangunan 65 bendungan tersebut juga dalam upaya meningkatkan suplai air irigasi secara berkelanjutan.
Bila kedua capres dapat benar-benar fokus dalam mewujudkan program untuk mengatasi permasalahan pangan nasional, maka ke depannya siapapun yang bakal menjadi pemimpin bangsa ini juga diharapkan akan betul-betul mewujudkan swasembada pangan di bumi Nusantara.*
Baca juga: Kadin kumpulkan Bulog-Kemendag-Kementan bahas ketahanan pangan
Baca juga: Anggota DPR pertanyakan validitas data kebijakan ekspor jagung