Jakarta (ANTARA News) - Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Melky Nahar menyarankan agar Kementerian Pertanian (Kementan) mengevaluasi berkurangnya lahan pertanian di Indonesia.

Hal tersebut diungkapkan Melky pasalnya, banyak lahan di Indonesia karena dikoversikan ke industri lainnya, dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Jumat malam.

“Kurang tepat kalau mentan gunakan rawa sebagai lahan pertanian. Kalau pemanfaatan rawa karena keterbatasan lahan, itu karena banyak lahan tani yang menjadi areal pertambangan,” kata Melky.

Hasil kajian Jatam menunjukkan konsesi industri ekstraktif mencakup 19 persen dari lahan pertanian padi Indonesia yang sudah dipetakan.

Sebanyak 23 persen lahan yang diidentifikasi mampu diolah untuk pertanian padi. Jatam juga mempertanyakan realisasi program cetak sawah.

Menurutnya, Kementan diminta untuk lebih tegas dalam menangani masalah tersebut, termasuk persoalan cetak sawah.

Dikesempatan terpisah, Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Wahyu A. Perdana mengingatkan Kementan soal rencana rawa gambut dijadikan lahan produktif pernah gagal di era orde baru.

Wahyu menuturkan, pada zaman Soeharto, proyek lahan gambut satu juta hektar berakhir dengan kegagalan. Rawa gambut merupakan ekosistem esensial yang terbentuk jutaan tahun, bukan hanya memiliki fungsi hidrologis, tetapi juga sebagai penyimpan karbon, jika rusak maka akan menyebabkan perubahan iklim.

“Pada akhirnya perubahan iklim akan berdampak pada produksi pertanian,” ujarnya.

Ia mengaku belum mendapat detail program yang dimaksud Kementan tersebut. Untuk itulah Walhi mewanti-wanti agar Kementan menerapkan prinsip kehati-hatian dini, yang juga dikenal dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Kami berharap Kementan berhati-hati dan belajar dari pengalaman sebelumnya,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa pada 1995 melalui Keppres No. 82 mengenai Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah, tidak berakhir mulus, bahkan hampir setengah dari 15.594 keluarga transmigran yang dahulu ditempatkan pada kawasan tersebut meninggalkan lokasi.

Pemanfaatan lahan rawa tandasnya harus diletakkan secara hati-hati. Kemampuan ekosistem, kata Wahyu, tidak bisa dipandang terpisah-pisah. Menurutnya, fungsi dan dampaknya terhadap ekosistemdan produksi pangan harus dipertimbangkan secara matang.

Baca juga: DPR apresiasi kebijakan Pemerintah soal inovasi pemanfaatan lahan rawa

Baca juga: Produsen pupuk siapkan teknologi peningkatan produksi padi di lahan rawa