Ekonomi Indonesia 2018-2019 diprediksi tumbuh 5,1 persen
17 Oktober 2018 22:41 WIB
JAKARTA, 31/1 - TANTANGAN EKONOMI INDONESIA. Ekonom dari Universitas Atma Jaya A. Prasetyantoko berbicara dalam diskusi ekonomi pada peluncuran harian Indonesia Finance Today di Jakarta, Senin (31/1) . Diskusi tersebut membahas tentang prospek dan tantangan ekonomi Indonesia. FOTO ANTARA/Rosa Panggabean/ss/ama/11.
Jakarta (ANTARA News) - Ekonomi Indonesia diprediksi tumbuh 5,1 persen sepanjang 2018 dan 2019 mendatang seiring masih berlanjutnya ketidakpastian ekonomi global yang akan memengaruhi perekonomian domestik.
"Ekonomi Indonesia tahun depan tidak akan sekencang yang diperkirakan. Tahun depan 5,1 persen dan tahun ini juga 5,1 persen," kata pengamat ekonomi Agustinus Prasetyantoko di Jakarta, Rabu.
Menurut Rektor Universitas Katolik Atma Jaya itu, normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat dan juga pertumbuhan ekonomi AS yang meningkat namun menyebabkan pelebaran defisit fiskal di Negeri Paman Sam itu, menjadi ancaman tersendiri bagi ekonomi global terutama bagi negara-negara berkembang.
"Ada ketidakpastian dari sisi keuangan global, dan di sisi lain ada ketidakpastian dari sisi perdagangan. Likuiditas akan semakin ketat di domestik kita," ujar Prasetyantoko.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya tumbuh 5,1 persen, lanjutnya, maka implikasinya bagi dunia bisnis secara umum yaitu stagnasi di mana tidak ada peluang untuk tumbuh lebih tinggi.
"Tapi di luar ini, tentu ada beberapa sektor spesifik yang punya peluang baru. Misalnya juga soal pasar Afrika yang belum tergarap dengan baik dan di sana ada "demand" akan produk konsumsi yang tinggi mulai dari produk barang sampai jasa. Kalau bisa identifikasi negara apa butuhapa, pemerintah bisa dorong ekspor kita ke sana lebih tinggi," katanya.
Selain itu, kendati ke depannya likuiditas diperkirakan akan semakin ketat dan berkurangnya suplai valas, namun suplai teknologi dan inovasi diproyeksikan akan meningkat. Hal ini juga perlu dimanfaatkan oleh Indonesia.
"Problematika kita bagaimana kita memanfaatkan suplai teknologi dan inovasi yang naik itu untuk memperkuat kita di sektor keuangan misalnya inklusi keuangan. Kemudian bisnis misalnya e-commerce dan logistik. Jadi kalau itu disistematiskan, itu bisa jadi pengungkit dan bisa jadi harapan baru ekonomi kita di depan," ujar Prasetyantoko.
Direktur Grup Surveillans dan Stabilitas Sistem Keuangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Dody Arifianto mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini dan tahun depan diproyeksikan akan mencapai masing-masing 5,1 persen.
Perkiraan tersebut sama dengan prediksi Dana Moneter Internasional (IMF) yang memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,1 persen pada 2018 dan 2019, dari prediksi sebelumnya 5,3 persen.
Sementara itu, pemerintah sendiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2018 akan berada di kisaran 5,14-5,21 persen. Sedangkan dalam RAPBN 2019 pertumbuhan ekonomi ditargetkan 5,3 persen. "Kita harus akui faktor-faktor sekrang ini memberatkan dan jelang tahun politik biasanya pengusaha juga agak ngerem. 5,1 persen juga sudah baik," kata Dody.
Dody menyoroti masalah defisit neraca transaksi berjalan (CAD) yang memang menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah, karena para investor melihat hal tersebut sebagai salah satu indikator penting sebelum menanamkan investasinya di suatu negara.
"Kita masih punya masalah CAD. CAD ini harus bisa kita "handle" mengingat situasi global saat ini. Investor sendiri untuk masuk ke negara berkembang sendiri masih agak grogi," ujar Dody.
Baca juga: IMF tegaskan Indonesia punya kapasitas dorong pertumbuhan ekonomi
"Ekonomi Indonesia tahun depan tidak akan sekencang yang diperkirakan. Tahun depan 5,1 persen dan tahun ini juga 5,1 persen," kata pengamat ekonomi Agustinus Prasetyantoko di Jakarta, Rabu.
Menurut Rektor Universitas Katolik Atma Jaya itu, normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat dan juga pertumbuhan ekonomi AS yang meningkat namun menyebabkan pelebaran defisit fiskal di Negeri Paman Sam itu, menjadi ancaman tersendiri bagi ekonomi global terutama bagi negara-negara berkembang.
"Ada ketidakpastian dari sisi keuangan global, dan di sisi lain ada ketidakpastian dari sisi perdagangan. Likuiditas akan semakin ketat di domestik kita," ujar Prasetyantoko.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya tumbuh 5,1 persen, lanjutnya, maka implikasinya bagi dunia bisnis secara umum yaitu stagnasi di mana tidak ada peluang untuk tumbuh lebih tinggi.
"Tapi di luar ini, tentu ada beberapa sektor spesifik yang punya peluang baru. Misalnya juga soal pasar Afrika yang belum tergarap dengan baik dan di sana ada "demand" akan produk konsumsi yang tinggi mulai dari produk barang sampai jasa. Kalau bisa identifikasi negara apa butuhapa, pemerintah bisa dorong ekspor kita ke sana lebih tinggi," katanya.
Selain itu, kendati ke depannya likuiditas diperkirakan akan semakin ketat dan berkurangnya suplai valas, namun suplai teknologi dan inovasi diproyeksikan akan meningkat. Hal ini juga perlu dimanfaatkan oleh Indonesia.
"Problematika kita bagaimana kita memanfaatkan suplai teknologi dan inovasi yang naik itu untuk memperkuat kita di sektor keuangan misalnya inklusi keuangan. Kemudian bisnis misalnya e-commerce dan logistik. Jadi kalau itu disistematiskan, itu bisa jadi pengungkit dan bisa jadi harapan baru ekonomi kita di depan," ujar Prasetyantoko.
Direktur Grup Surveillans dan Stabilitas Sistem Keuangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Dody Arifianto mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini dan tahun depan diproyeksikan akan mencapai masing-masing 5,1 persen.
Perkiraan tersebut sama dengan prediksi Dana Moneter Internasional (IMF) yang memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,1 persen pada 2018 dan 2019, dari prediksi sebelumnya 5,3 persen.
Sementara itu, pemerintah sendiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2018 akan berada di kisaran 5,14-5,21 persen. Sedangkan dalam RAPBN 2019 pertumbuhan ekonomi ditargetkan 5,3 persen. "Kita harus akui faktor-faktor sekrang ini memberatkan dan jelang tahun politik biasanya pengusaha juga agak ngerem. 5,1 persen juga sudah baik," kata Dody.
Dody menyoroti masalah defisit neraca transaksi berjalan (CAD) yang memang menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah, karena para investor melihat hal tersebut sebagai salah satu indikator penting sebelum menanamkan investasinya di suatu negara.
"Kita masih punya masalah CAD. CAD ini harus bisa kita "handle" mengingat situasi global saat ini. Investor sendiri untuk masuk ke negara berkembang sendiri masih agak grogi," ujar Dody.
Baca juga: IMF tegaskan Indonesia punya kapasitas dorong pertumbuhan ekonomi
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2018
Tags: