APTRI apresiasi serapan gula Bulog
16 Oktober 2018 23:16 WIB
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (kiri) saat menemui Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Salim (kanan) di Kantor Bulog, Jakarta, Kamis (19/7/2018). (ANTARA/Afut Syafril)
Jakarta, (ANTARA News) - Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengapresiasi Bulog telah menyerap tebu dari para petani.
Pengurus DPP APTRI, Sunardi Edy Sukamto melalui keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Selasa, mengatakan telah menyepakati harga jual kepada Bulog dan konsisten atas kebijakan yang telah diambil tersebut.
Ia menjelaskan, saat ini sebagian besar tebu petani telah selesai tertebang. Dan gula petani telah di beli oleh Bulog atas penugasan dari Pemerintah. Edi mengatakan, gula petani sebagian telah terserap oleh pedagang sebelum penugasan Bulog.
"Kami paham, meski berat, Bulog tetap jalan, dalam proses ada pembayaran yang kurang lancar, itu memang ada, karena mungkin ada proses administrasi dan jumlah dana yang tersedia di Bulog. Apalagi itu jumlahnya tidak sedikit, sekitar Rp 1,2 Triliun," kata dia.
Namun demikian, lanjut dia kurang tepat ketika gula sudah dibeli namun ada pihak yang menginginkan harga dinaikkan.
"Ketika petani sudah billing (penagihan), gula sudah di beli Bulog, dan gula produsen dibeli pedagang dan gula ada ditangan pedagang, lalu ada demo minta harga jadi tinggi, jadi yang menikmati keuntungan jelas bukan petani," tuturnya.
Ia menjelaskan, gula petani di bawah perusahaan gula non BUMN atau swasta juga sebagian besar telah diserap oleh pedagang dan gula dikuasai pedagang.
Terkait impor gula, kata dia, sudah diijinkan dan sudah masuk. Sehingga petani tidak terimbas karena sudah dibeli.
Sementara itu, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebutkan kebutuhan konsumsi gula secara nasional ternyata belum tercukupi oleh produksi dalam negeri ditambah dengan impor yang telah dilakukan oleh pemerintah.
"Dari riset yang dilakukan untuk gula, statistiknya memang agak ganjil karena konsumsinya lebih tinggi dari produksi ditambah dengan impor gula," ujar Kepala Bidang Penelitian di Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hizkia Respatiadi.
Jika dilihat dari data tersebut, artinya ada suplai yang tidak tercacat untuk pemenuhan konsumsi gula di pasaran. Ada kemungkinan, jumlah kebutuhan itu tertutup dari stok gula rafinasi, yang sejatinya gula tersebut diperuntukkan bagi industri makanan.
Menurutnya, hal itu sesuai dengan data bahwa terjadi kebocoran gula rafinasi sekitar 300 juta ton setiap tahunnya, yang diduga lari ke pasar konsumen. Adapun sebagian besar gula rafinasi didapat dari impor. Selain itu, jika dilihat sulit dibedakan antara gula konsumsi dengan gula rafinasi.
"Artinya ada kebutuhan yang tidak terpenuhi, dimana konsumen masih membutuhkan gula, tapi di pasar tidak ada, akhirnya yang mengisi gula rafinasi yang seharusnya tidak dijual kepasaran konsumen," paparnya.
Terkait dengan keluhan para petani tebu yang merasa bahwa produksinya tidak terserap oleh pasar, menurut Hizkia hal itu perlu dilakukan telaah lebih lanjut. Pasalnya, ketidakserapan produksi para petani bukan disebabkan karena ada kebijakan impor.
Baca juga: APTRI: 600.000 ton gula petani belum terjual
Pengurus DPP APTRI, Sunardi Edy Sukamto melalui keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Selasa, mengatakan telah menyepakati harga jual kepada Bulog dan konsisten atas kebijakan yang telah diambil tersebut.
Ia menjelaskan, saat ini sebagian besar tebu petani telah selesai tertebang. Dan gula petani telah di beli oleh Bulog atas penugasan dari Pemerintah. Edi mengatakan, gula petani sebagian telah terserap oleh pedagang sebelum penugasan Bulog.
"Kami paham, meski berat, Bulog tetap jalan, dalam proses ada pembayaran yang kurang lancar, itu memang ada, karena mungkin ada proses administrasi dan jumlah dana yang tersedia di Bulog. Apalagi itu jumlahnya tidak sedikit, sekitar Rp 1,2 Triliun," kata dia.
Namun demikian, lanjut dia kurang tepat ketika gula sudah dibeli namun ada pihak yang menginginkan harga dinaikkan.
"Ketika petani sudah billing (penagihan), gula sudah di beli Bulog, dan gula produsen dibeli pedagang dan gula ada ditangan pedagang, lalu ada demo minta harga jadi tinggi, jadi yang menikmati keuntungan jelas bukan petani," tuturnya.
Ia menjelaskan, gula petani di bawah perusahaan gula non BUMN atau swasta juga sebagian besar telah diserap oleh pedagang dan gula dikuasai pedagang.
Terkait impor gula, kata dia, sudah diijinkan dan sudah masuk. Sehingga petani tidak terimbas karena sudah dibeli.
Sementara itu, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebutkan kebutuhan konsumsi gula secara nasional ternyata belum tercukupi oleh produksi dalam negeri ditambah dengan impor yang telah dilakukan oleh pemerintah.
"Dari riset yang dilakukan untuk gula, statistiknya memang agak ganjil karena konsumsinya lebih tinggi dari produksi ditambah dengan impor gula," ujar Kepala Bidang Penelitian di Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hizkia Respatiadi.
Jika dilihat dari data tersebut, artinya ada suplai yang tidak tercacat untuk pemenuhan konsumsi gula di pasaran. Ada kemungkinan, jumlah kebutuhan itu tertutup dari stok gula rafinasi, yang sejatinya gula tersebut diperuntukkan bagi industri makanan.
Menurutnya, hal itu sesuai dengan data bahwa terjadi kebocoran gula rafinasi sekitar 300 juta ton setiap tahunnya, yang diduga lari ke pasar konsumen. Adapun sebagian besar gula rafinasi didapat dari impor. Selain itu, jika dilihat sulit dibedakan antara gula konsumsi dengan gula rafinasi.
"Artinya ada kebutuhan yang tidak terpenuhi, dimana konsumen masih membutuhkan gula, tapi di pasar tidak ada, akhirnya yang mengisi gula rafinasi yang seharusnya tidak dijual kepasaran konsumen," paparnya.
Terkait dengan keluhan para petani tebu yang merasa bahwa produksinya tidak terserap oleh pasar, menurut Hizkia hal itu perlu dilakukan telaah lebih lanjut. Pasalnya, ketidakserapan produksi para petani bukan disebabkan karena ada kebijakan impor.
Baca juga: APTRI: 600.000 ton gula petani belum terjual
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018
Tags: