Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) membahas upaya peningkatan manajemen konflik melalui penyusunan data pemetaan potensi konflik.

“Sudah ada dokumen terkait pemetaan potensi konflik di daerah-daerah tersebut,” ungkap Plt. Direktur Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu (Dirjen PDTu) Aisyah Gamawati dalam siaran pers yang diterima Antara Jakarta, Selasa.

Aisyah menyampaikan pernyataan tersebut dalam pertemuan yang diselenggarakan pada 15 Oktober 2018 di Hotel Grand Cemara Jakarta dan dihadiri banyak pihak mulai dari Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Ditjen PPMD dari sektor pemerintah, selain juga dari LSM Institut Titian Perdamaian.

Lebih lanjut Aisyah menjelaskan Dirjen PDTu melalui Direktorat Penanganan Daerah Pasca Konflik telah memiliki data pemetaan potensi konflik yang berada di 41 kabupaten Daerah Tertinggal. Dan Aisyah menekankan tindak lanjutnya setelah data terkumpul.

“Jangan hanya disimpan di balik bantal," canda Aisyah.

Aisyah menerangkan data pemetaan potensi konflik tersebut, selanjutnya dicocokkan dengan desa-desa yang diprioritaskan oleh Kemendes PDTT, termasuk 5.000 dan 2.000 desa yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019.

“Overlay tidak hanya dengan data dari KL lain, penting juga melakukan overlay dengan internal Kemendes PDTT utamanya unit yang membidani persoalan desa seperti Ditjen PPMD dan Ditjen PKP," kata Aisyah.

Perdamaian dan Konflik

Data pengelolaan konflik yang menjadi acuan nasional mengacu pada Undang Undang nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan data yang dikeluarkan Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, yaitu Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK). SNPK tersebut mencatat kejadian di tingkat nasional.

Baca juga: Kemendes PDTT dorong penerapan program inovasi desa

Sementara itu, daerah pascakonflik kerap merasa enggan disebut sebagai daerah konflik karena dianggap dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

“Seperti kemarin, ketika kami lakukan penguatan pranata adat di Kabupaten Landak, Bupati setempat berkeberatan dengan terminologi itu, namun kami coba jelaskan bahwa pasca konflik itu tidak selalu terkait dengan pada saat konflik, namun pernah mengalami konflik, akhirnya beliau menerima”, terang Direktur Penanganan Daerah Pasca Konflik Sugito.

Ia menjelaskan direktoratnya melakukan hal itu untuk menciptakan Daerah Tangguh Konflik (DTK) yang disusun dalam tiga indikator.

“Kita punya tiga indikator utama untuk mencapai itu, yaitu kapasitas ketahanan masyarakat, kepasitas kelembagaan, dan tata kelola cegah konflik," tambah Sugito.

Menurutnya, beragam fasilitas sudah mulai dijalankan sejak 2015 lalu, termasuk penguatan pranata adat yang masih menyisakan dua lokasi lagi untuk tahun ini.

“Tahun depan akan kami sasar 24 Kabupaten untuk kami perkuat supaya menjadi Daerah Tangguh Konflik,” pungkasnya.(KR-KAT)