Penyandang disabilitas wujudkan mimpi punya rumah sendiri
16 Oktober 2018 00:54 WIB
Penyandang disabilitas asal Jepara, Jawa Tengah, Sumadi, yang mampu mewujudkan mimpi punya rumah sendiri sejak bergabung dengan Go-Massage, salah satu layanan dari Go-Jek. (Dok. Go-Jek)
Jakarta (ANTARA News) - Cerita penyandang disabilitas asal Jepara, Jawa Tengah, Sumadi, yang mampu mewujudkan mimpi punya rumah sendiri sejak bergabung dengan Go-Massage, salah satu layanan dari Go-Jek.
Sumadi menjadi mitra Go-Massage sejak 2015 hingga saat ini cukup aktif menawarkan jasanya melalui media sosial ini tidak perlu diberi rasa iba dan jangan dipandang sebelah mata, namun hanya butuh peluang yang sama.
”Walaupun seorang tunanetra, bukan berarti saya tidak bisa melakukan hal yang berarti bagi orang terdekat saya, atau bukan berarti saya tidak dapat bersosialisasi dengan banyak orang. Karena tunanetra bukanlah akhir dari segalanya,” ucap Sumadi seperti dikisahkan dalam platform resmi talent Go-Jek yang dikutip, Senin.
Melalui teknologi seperti Go-Massage lah, kata dia, hal itu bisa diwujudkan dan dia berprinsip bahwa keterbatasan tidak boleh membatasi keadaannya. Ia percaya bahwa tunanetra bukan seharusnya dikasihani, tapi dipercaya bisa mandiri.
”Terus terang kalau saya melihat teman disabilitas yang ingin dikasihani, terus terang saya nggak suka. Karena sikap mereka yang seperti itu yang membuat orang jadi ragu. Sebenarnya apapun pekerjaan bisa, asal ada kemauan,” tegasnya.
Sejak bergabung Go-Massage, ayah dari dua orang anak itu menerima pemesanan (order) Go-Massage secara rata-rata tiga order di setiap harinya,
Dengan rata-rata orderan itu, Sumadi sudah mampu menyisihkan sebagian penghasilan untuk menyicil rumah dengan cara Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Cileungsi, Jawa Barat. Memanfaatkan program hasil kerjasama Go-Jek dengan lembaga keuangan perbankan.
Penghasilannya selama bergabung di Go-Massage setelah dipotong untuk cicilan KPR itu, menurutnya, sudah bisa untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Pencapaian Sumadi saat ini buah dari perjalanan panjang setelah sebelumnya melewati perjalanan berliku ketika memutuskan mengadu nasib ke Jakarta pada 1990.
Saat itu, Sumadi bertekad mencari rezeki sebagai tukang pijat di ibukota. Sumadi kehilangan penglihatannya sejak berusia 10 tahun lantaran mengalami penurunan kualitas penglihatan (low vision) walau tidak mengalami kecelakanan atau sakit di bagian matanya.
Berbekal semangat dan cita-cita, Sumadi belajar pijat di panti pijat Dinas Sosial DKI Jakarta. ”Sejak saat itu saya mulai menekuni pijat memijat,” ujar Sumadi
Selain di Dinas Sosial DKI Jakarta, kemampuan memijatnya juga didapat dari Panti Sosial Bina Netra.
Berbagai kesulitan melanda karena pada awalnya jumlah pelanggan masih sedikit. Sebaliknya kebutuhan hidup di Jakarta berjalan normal dan relatif tinggi.
Keberuntungan sempat menghampiri Sumadi ketika bertemu salah satu pelanggan yang mengajaknya bergabung dengan sebuah panti pijat. Sejak itu ia pun mulai cari kontrakan sendiri di Pademangan, Jakarta Utara.
Pria yang menikah pada tahun 1993 itu kemudian mampu mengembangkan usaha panti pijat secara swadaya. Secara perdana panti pijat miliknya dibuka di Tebet, Jakarta Selatan.
Panti pijat sekaligus kediaman Sumadi dan keluarganya (kontrakan) itu kerapkali dikunjungi pelanggan setia. “Mengingat rumah saya di gang sempit, jadi beberapa lebih nyaman bila dipijat di rumahnya,” kenang Sumadi.
Sumadi berharap masyarakat bisa mengubah persepsi terhadap disabilitas. Ia ingin batasan antara disabilitas dan non disabilitas bisa dikikis menjadi kepercayaan. Bukan keraguan.
”Hingga saat ini saya bertahan. Tapi saya paham, belum semua bisa melihat kami mampu. Kita memang minoritas tapi kita ada. Jadi semoga rasa kasihan itu tidak membatasi rezeki kami. Kalau ragu, silakan dicoba karena saya juga melewati banyak pelatihan,” tuturnya.
Tapi percayalah, menurut dia, difabel juga berusaha untuk masa depan lebih baik. ”Prinsip saya, kalau saya mau berusaha, pasti Allah kasih rezeki. Saya bisa sekolahin anak saya, kuliah. Hidup ini tantangan, kita harus menghadapi apapun itu,” tuturnya.
Hal sama dirasakan Heru Widyanto (39 tahun). Penyandang tuna netra yang bergabung di Go-Massage sejak 2015 itu bersyukur karena akhirnya meraih kecukupan penghasilan.
Saat ini kecukupan penghasilan itu dia manfaatkan untuk kuliah anaknya yang baru saja menyelesaikan program D3.
”Alhamdulillah bisa kuliahkan anak. Dulu jangankan buat kuliah, nggak bisa kemana-mana. Sekarang bisa ajak jalan-jalan istri sama anak-anak ke mal,” ucapnya, lantas tertawa kepada media, belum lama ini.
Nanik, isteri Heru, menyebut penghasilan suaminya saat ini lebih tinggi dibandingkan ketika hanya membuka jasa memijit di rumahnya. “Sekarang sudah bisa menabung,” ucapnya.
Baca juga: Hidangan terpilih Go-Food akan ramaikan Jakarta Culinary Feastival 2018
Sumadi menjadi mitra Go-Massage sejak 2015 hingga saat ini cukup aktif menawarkan jasanya melalui media sosial ini tidak perlu diberi rasa iba dan jangan dipandang sebelah mata, namun hanya butuh peluang yang sama.
”Walaupun seorang tunanetra, bukan berarti saya tidak bisa melakukan hal yang berarti bagi orang terdekat saya, atau bukan berarti saya tidak dapat bersosialisasi dengan banyak orang. Karena tunanetra bukanlah akhir dari segalanya,” ucap Sumadi seperti dikisahkan dalam platform resmi talent Go-Jek yang dikutip, Senin.
Melalui teknologi seperti Go-Massage lah, kata dia, hal itu bisa diwujudkan dan dia berprinsip bahwa keterbatasan tidak boleh membatasi keadaannya. Ia percaya bahwa tunanetra bukan seharusnya dikasihani, tapi dipercaya bisa mandiri.
”Terus terang kalau saya melihat teman disabilitas yang ingin dikasihani, terus terang saya nggak suka. Karena sikap mereka yang seperti itu yang membuat orang jadi ragu. Sebenarnya apapun pekerjaan bisa, asal ada kemauan,” tegasnya.
Sejak bergabung Go-Massage, ayah dari dua orang anak itu menerima pemesanan (order) Go-Massage secara rata-rata tiga order di setiap harinya,
Dengan rata-rata orderan itu, Sumadi sudah mampu menyisihkan sebagian penghasilan untuk menyicil rumah dengan cara Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Cileungsi, Jawa Barat. Memanfaatkan program hasil kerjasama Go-Jek dengan lembaga keuangan perbankan.
Penghasilannya selama bergabung di Go-Massage setelah dipotong untuk cicilan KPR itu, menurutnya, sudah bisa untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Pencapaian Sumadi saat ini buah dari perjalanan panjang setelah sebelumnya melewati perjalanan berliku ketika memutuskan mengadu nasib ke Jakarta pada 1990.
Saat itu, Sumadi bertekad mencari rezeki sebagai tukang pijat di ibukota. Sumadi kehilangan penglihatannya sejak berusia 10 tahun lantaran mengalami penurunan kualitas penglihatan (low vision) walau tidak mengalami kecelakanan atau sakit di bagian matanya.
Berbekal semangat dan cita-cita, Sumadi belajar pijat di panti pijat Dinas Sosial DKI Jakarta. ”Sejak saat itu saya mulai menekuni pijat memijat,” ujar Sumadi
Selain di Dinas Sosial DKI Jakarta, kemampuan memijatnya juga didapat dari Panti Sosial Bina Netra.
Berbagai kesulitan melanda karena pada awalnya jumlah pelanggan masih sedikit. Sebaliknya kebutuhan hidup di Jakarta berjalan normal dan relatif tinggi.
Keberuntungan sempat menghampiri Sumadi ketika bertemu salah satu pelanggan yang mengajaknya bergabung dengan sebuah panti pijat. Sejak itu ia pun mulai cari kontrakan sendiri di Pademangan, Jakarta Utara.
Pria yang menikah pada tahun 1993 itu kemudian mampu mengembangkan usaha panti pijat secara swadaya. Secara perdana panti pijat miliknya dibuka di Tebet, Jakarta Selatan.
Panti pijat sekaligus kediaman Sumadi dan keluarganya (kontrakan) itu kerapkali dikunjungi pelanggan setia. “Mengingat rumah saya di gang sempit, jadi beberapa lebih nyaman bila dipijat di rumahnya,” kenang Sumadi.
Sumadi berharap masyarakat bisa mengubah persepsi terhadap disabilitas. Ia ingin batasan antara disabilitas dan non disabilitas bisa dikikis menjadi kepercayaan. Bukan keraguan.
”Hingga saat ini saya bertahan. Tapi saya paham, belum semua bisa melihat kami mampu. Kita memang minoritas tapi kita ada. Jadi semoga rasa kasihan itu tidak membatasi rezeki kami. Kalau ragu, silakan dicoba karena saya juga melewati banyak pelatihan,” tuturnya.
Tapi percayalah, menurut dia, difabel juga berusaha untuk masa depan lebih baik. ”Prinsip saya, kalau saya mau berusaha, pasti Allah kasih rezeki. Saya bisa sekolahin anak saya, kuliah. Hidup ini tantangan, kita harus menghadapi apapun itu,” tuturnya.
Hal sama dirasakan Heru Widyanto (39 tahun). Penyandang tuna netra yang bergabung di Go-Massage sejak 2015 itu bersyukur karena akhirnya meraih kecukupan penghasilan.
Saat ini kecukupan penghasilan itu dia manfaatkan untuk kuliah anaknya yang baru saja menyelesaikan program D3.
”Alhamdulillah bisa kuliahkan anak. Dulu jangankan buat kuliah, nggak bisa kemana-mana. Sekarang bisa ajak jalan-jalan istri sama anak-anak ke mal,” ucapnya, lantas tertawa kepada media, belum lama ini.
Nanik, isteri Heru, menyebut penghasilan suaminya saat ini lebih tinggi dibandingkan ketika hanya membuka jasa memijit di rumahnya. “Sekarang sudah bisa menabung,” ucapnya.
Baca juga: Hidangan terpilih Go-Food akan ramaikan Jakarta Culinary Feastival 2018
Pewarta: Joko Susilo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018
Tags: