Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) secara ketat tampaknya akan terus memantau pergerakan rupiah agar tetap berada pada level di bawah Rp9.400 per dolar AS, sehingga kisaran rupiah tersebut tidak terlalu melemah. "Ketatnya pengawasan BI di pasar uang mengakibatkan rupiah berada dalam kisaran yang tidak melebar. Pada pekan depan rupiah diperkirakan bergerak pada kisaran Rp9.375 sampai Rp9.400 per dolar AS," kata pengamat pasar uang, Edwin Gunawan, di Jakarta, akhir pekan ini. Menurut dia, gejolak pasar uang global yang menekan rupiah membuat BI harus berada di pasar untuk mengantisipasinya agar volatilitas rupiah tidak melebar, meski saat ini agak berkurang. Gejolak pasar uang itu sebenarnya belum reda, masih mengkhawatirkan karena suatu saat bisa kembali bergejolak, ucapnya. Menurut dia, kasus "subprime mortgage" (krisis gagal bayar kredit perumahan di AS) memang berdampak luar biasa karena hampir semua mata uang utama Asia merosot, terutama rupiah. Ia mengatakan BI akan selalu menjaga rupiah tanpa diminta, karena itu memang sudah merupakan tugasnya untuk menstabilkan agar tidak bergejolak. Dalam pandangan otoritas moneter, rupiah sebenarnya masih aman dalam kisaran antara Rp8.500 hingga Rp9.500 per dolar AS, namun kepanikan pelaku pasar membuat rupiah tertekan, katanya. Situasi pasar uang, menurut Edwin, pada dasarnya makin kondusif dan `manageable` (dapat dikendalikan) yang didukung oleh membaiknya perekonomian, sehingga nilai tukar rupiah akan kembali ke level yang cukup baik. "Apalagi investor asing berencana akan kembali ke Indonesia menempatkan dananya baik dalam jangka pendek maupun panjang, akibat kasus `subprime mortgage` yang menghambat pertumbuhan ekonomi AS," katanya. Selain itu, rupiah akan makin membaik, bila rencana bank sentral AS (The Fed) jadi menurunkan suku bunga the Fed fund. Menurutnya, nilai tukar rupiah akan kembali stabil, dan saat ini sedang mencari titik keseimbangan baru, sehingga untuk menjaganya Bank Indonesia akan tetap berada di pasar. Ia mengatakan, rupiah selama ini melemah, karena intervensi yang dilakukan BI terhadap pasar uang tidak terlalu besar. (*)