Jakarta (ANTARA News) - Persatuan Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional (INSA) menyoroti pengenaan tarif pelabuhan yang tidak sesuai dengan praktik internasional dan tidak memiliki dasar kesepakatan antara pelayaran dan operator pelabuhan.

"Pengenaan tarif yang dimaksud adalah tarif jasa barang dan tarif progresif. Tarif jasa barang merupakan tarif yang dikenakan operator pelabuhan untuk consignee atau shipper," kata Ketua Umum INSA Carmelita Hartoto dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis.

Namun, pada praktik di lapangan, katanya, operator pelabuhan mengenakaannya kepada pelayaran. Alasannya, operator pelabuhan kerap memakan waktu yang lama untuk menerima pembayaran tarif jasa barang dari consignee atau shipper.

Dia menambahkan bahwa pelayaran harus menanggung lebih dulu beban biaya tarif jasa barang, untuk selanjutnya pihak pelayaran yang menagih kepada consignee ataupun shipper.

Bahkan, katanya, pelayaran harus menanggung lebih dulu tarif jasa barang di pelabuhan, yang tentunya memberatkan pelayaran karena mengeluarkan biaya lebih besar di awal. Padahal hal ini tidak lazim dalam praktek bisnis di dunia pelayaran internasional.

"Pada tarif progresif yang juga memberatkan pelayaran karena penerapannya tanpa berdasarkan service level agreement (SLA) atau service level guarantee (SLG) antara pelayaran dan operator pelabuhan. Kesepakatan SLA atau SLG dibuat dengan menimbang kondisi pelabuhan dan pelayaran," katanya.

Carmelita juga mengatakan bahwa jika lambatnya produksifitas pelabuhan disebabkan oleh kondisi operator pelabuhan maka tarif progresif tidak bisa dibebankan kepada pelayaran. Namun jika keterlambatan disebabkan pihak pelayaran tentunya tarif progresif menjadi beban pelayaran.

"Untuk itu, penerapan tarif progresif di pelabuhan tanpa adanya kesepakatan SLA atau SLG sulit diterapkan dan merugikan pelayaran. Kalau tidak ada SLA atau SLG, maka tarif tersebut sulit diterapkan," katanya.

Mengenai investasi di sektor pelayaran nasional, dia mengatakan, sebenarnya mengalami tren positif sejak diterapkannya asas cabotage pada 2005, yang tentunya berdampak pada industri terkait lainnya seperti galangan, asuransi hingga sekolah SDM pelaut.

"Untuk kondisi saat ini, fluktuasi nilai tukar rupiah yang telah mencapai sekitar Rp15 ribu per dolar Amerika, tentunya berdampak signifikan terhadap iklim investasi pada semua lini bisnis, tidak hanya pada industri sektor pelayaran," katanya.

Salah satu dampaknya, kata Carmelita, yang dirasakan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap industri pelayaran ini adalah penaikan sejumlah komponen untuk pembangunan atau reparasi kapal, yang masih didominasi komponen impor.

Industri pelayaran dan juga banyak bisnis industri lainnya memilih untuk "wait and see" menunggu stabil, baik nilai tukar rupiah dan juga kondisi politis menjelang pemilu.

Baca juga: INSA berharap pemerintah pertahankan asas cabotage
Baca juga: Pelaku maritim desak pemerintah optimalkan pelabuhan Marunda