Nusa Dua, Bali (ANTARA News) - Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pengembangan (OECD) merekomendasikan 10 kebijakan bagi pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia.

Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria saat peluncuran OECD-Indonesia Policy Review on SME and Entrepreneurship Review 2018 dalam rangkaian Pertemuan Tahunan IMF-WBG Bali di Nusa Dua, Bali, Rabu, memaparkan usaha kecil yang mempekerjakan kurang dari 20 tenaga kerja jumlahnya mencapai tiga perempat seluruh penyedia lapangan kerja secara nasional di Indonesia.

"Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan negara OECD lainnya," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, diperlukan kebijakan untuk mendorong pemberdayaan UKM, yang direkomendasikan menjadi prioritas utama bagi Pemerintah Indonesia.

OECD merekomendasikan 10 kebijakan bagi Pemerintah Indonesia agar UKM di Tanah Air bisa didorong pertumbuhannya.

"Beberapa poin penting rekomendasi OECD bagi Pemerintah Indonesia sesuai dengan hasil review (tinjauan) kebijakan antara lain menyusun database UKM Indonesia dengan menggunakan kriteria tenaga kerja sebagai basis identifikasi UKM agar data UKM dapat disandingkan dengan negara-negara lain khususnya negara anggota OECD," katanya.

Rekomendasi kedua yakni menyusun strategi nasional UKM yang memuat tujuan, sasaran, dan langkah-langkah program serta pengaturan mengenai pembagian tanggung jawab dan tugas kementerian/lembaga dalam pengembangan UKM.

Rekomendasi ketiga yakni melakukan integrasi dan penggabungan antarprogram-program UKM yang serupa dalam rangka penyederhanaan kebijakan misalnya penggabungan sejumlah sistem layanan BDS dengan sistem PLUT.

Selanjutnya, rekomendasi keempat yaitu meningkatkan dukungan dalam hal pengembangan produktivitas UKM, contohnya pengembangan inovasi, internasionalisasi, dan pelatihan manajerial serta tenaga kerja, melalui peningkatan belanja pemerintah terkait peningkatan produktivitas UKM.

Kemudian, rekomendasi kelima yakni meningkatan optimalisasi program KUR dengan sasaran khususnya bagi first-time borrowers atau pelaku UKM di daerah tertinggal, maupun UKM di sektor yang sulit mendapatkan akses pembiayaan.

Rekomendasi keenam OECD yakni melakukan monitoring terhadap pinjaman kredit UKM yang dilakukan melalui bank maupun lembaga keuangan lainnya, untuk menghindari adanya risiko non-performing loan serta terjadinya penurunan daya saing di sektor perbankan.

Lalu rekomendasi yang diajukan berikutnya yakni menjalin kerja sama antara lembaga inkubator bisnis dengan sektor swasta, lembaga BDS, perguruan tinggi, lembaga riset, maupun lembaga keuangan.

"Kami juga merekomendasikan penyusunan kebijakan untuk mendorong pemanfaatan teknologi digital bagi UKM, selain e-commerce, terutama dalam penggunaan software program yang mendukung profesionalisme dan kinerja UKM," kata Gurria.

OECD pun merekomendasikan perkuatan dan peningkatan partisipasi UKM dalam global value chains melalui kerja sama yang dilakukan antara UKM dengan perusahaan multinasional yang diberi insentif pajak.

Rekomendasi terakhir yang disampaikan organisasi itu yakni melakukan amendemen UU Nomor 23/2014 terutama pada aturan mengenai pembagian tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan UKM, mengingat sulitnya implementasi dari aturan ini serta berisiko terjadinya ketimpangan antardaerah maju dengan daerah tertinggal.

Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Meliadi Sembiring menyambut baik rekomendasi tersebut.

"Indonesia menyambut baik rekomendasi ini sebagai pijakan untuk menyusun kebijakan ke depan," katanya.

Baca juga: IMF-WB - Survei: UMKM Indonesia paling banyak serap tenaga kerja
Baca juga: ADB-OECD tanda tangani perjanjian perdalam kemitraan di Asia-Pasifik