Mulai banyak layanan psikososial di pengungsian Palu
9 Oktober 2018 20:41 WIB
Relawan mengajak bermain anak-anak korban gempa dan tsunami Palu-Donggala, di kantor Dinas Sosial, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (5/10/2018). Aktivitas tersebut merupakan salah satu bentuk terapi untuk menghilangkan rasa trauma (trauma healing) yang dialami anak-anak korban gempa dan tsunami Palu-Donggala. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/kye
Palu (ANTARA News) - Layanan psikososial mulai banyak dilakukan di sejumlah pos pengungsian besar di Kota Palu, Donggala dan Kabupaten Sigi setelah sepekan lebih pascagempa yang mengguncang Sulawesi Tengah.
Hingga Selasa, beberapa institusi dan organisasi kemanusiaan banyak menyelenggarakan pemulihan trauma untuk anak-anak maupun orang dewasa.
Kementerian Sosial menjadi yang pertama dalam hal penanganan trauma pascabencana melaksanakan program pemulihan trauma di pos pengungsian Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Tengah.
Pemerhati anak sekaligus Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi sejak Jumat (5/10) telah mendarat ke Palu untuk menghibur anak-anak di pos pengungsian.
Dia mengatakan anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan terguncang jiwanya saat terjadi bencana, namun juga paling cepat pulih bila dilakukan penanganan pemulihan trauma dengan tepat.
Seiring kondisi Kota Palu yang berangsur pulih dan kebutuhan dasar para pengungsi yang kini sudah terpenuhi, kini beralih pada kebutuhan psikis yang harus sehat.
Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto sebelumnya juga telah memprediksikan penanganganan kesehatan secara fisik akan berlangsung pada masa tanggap darurat di dua minggu pascabencana.
Sementara pada minggu ketiga mulai menangani kondisi psikis para korban dengan pemulihan trauma.
Kini layanan psikososial menjadi perhatian para relawan. Mulai dari Palang Merah Indonesia, organisasi kemanusiaan seperti Dompet Dhuafa, bahkan Polisi Wanita juga memberikan layana psikososial bagi para pengungsi lansia.
Hingga saat ini, masih banyak masyarakat Palu yang mengalami trauma gempa. Mereka bisa saja melompat dan berlari ketika mendengar kardus ditendang, ketakutan saat melihat dan mendengar pemberitaan tentang gempa atau terdiam tiba-tiba jika mengingat suasana kejadian.
Karena itu penanganan psikis para penyintas gempa di pengungsian menjadi perhatian yang sangat penting di masa pascabencana.
Baca juga: Lurah-lurah di Palu diminta evaluasi data pengungsi
Baca juga: RSD Madani menjemput korban gempa
Baca juga: Pengungsi Sibalaya, Sigi berharap segera dapat listrik
Hingga Selasa, beberapa institusi dan organisasi kemanusiaan banyak menyelenggarakan pemulihan trauma untuk anak-anak maupun orang dewasa.
Kementerian Sosial menjadi yang pertama dalam hal penanganan trauma pascabencana melaksanakan program pemulihan trauma di pos pengungsian Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Tengah.
Pemerhati anak sekaligus Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi sejak Jumat (5/10) telah mendarat ke Palu untuk menghibur anak-anak di pos pengungsian.
Dia mengatakan anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan terguncang jiwanya saat terjadi bencana, namun juga paling cepat pulih bila dilakukan penanganan pemulihan trauma dengan tepat.
Seiring kondisi Kota Palu yang berangsur pulih dan kebutuhan dasar para pengungsi yang kini sudah terpenuhi, kini beralih pada kebutuhan psikis yang harus sehat.
Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto sebelumnya juga telah memprediksikan penanganganan kesehatan secara fisik akan berlangsung pada masa tanggap darurat di dua minggu pascabencana.
Sementara pada minggu ketiga mulai menangani kondisi psikis para korban dengan pemulihan trauma.
Kini layanan psikososial menjadi perhatian para relawan. Mulai dari Palang Merah Indonesia, organisasi kemanusiaan seperti Dompet Dhuafa, bahkan Polisi Wanita juga memberikan layana psikososial bagi para pengungsi lansia.
Hingga saat ini, masih banyak masyarakat Palu yang mengalami trauma gempa. Mereka bisa saja melompat dan berlari ketika mendengar kardus ditendang, ketakutan saat melihat dan mendengar pemberitaan tentang gempa atau terdiam tiba-tiba jika mengingat suasana kejadian.
Karena itu penanganan psikis para penyintas gempa di pengungsian menjadi perhatian yang sangat penting di masa pascabencana.
Baca juga: Lurah-lurah di Palu diminta evaluasi data pengungsi
Baca juga: RSD Madani menjemput korban gempa
Baca juga: Pengungsi Sibalaya, Sigi berharap segera dapat listrik
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018
Tags: